My Family

Jumat, 19 Desember 2008

Penelitian Psikologi Islami

MODEL PENELITIAN DALAM PSIKOLOGI ISLAMI


Oleh:

Rahmat Aziz, M.Si

Dipublikasikan pada jurnal:

Psikoislamika, Jurnal Psikologi dan Keislaman,

Vol 3, No 1, Januari 2006

Abstract

Human being is unique being and typical, therefore, when comprehending human being only by using scientific method, it will not be adequate enough, for that reason it has been raised a confidence method, ratiocination method, authority method, and intuition method as alternative method beside of scientific method. Furthermore, the existence of those alternative methods emerged four model of research that can be conducted in line to development of Islamic psychology.

Keywords: scientific method and Islamic psychology method

Psikologi Islami sebagai suatu aliran baru dalam bidang psikologi diharapkan mampu memberikan sumbangan yang signifikan dalam memajukan sekaligus mensejahterakan umat manusia, karena itu teori-teori yang lahir diharapkan mampu menjawab berbagai tantangan umat manusia dewasa ini. Suatu teori akan teruji keandalannya bila mampu mengenali dan memahami realitas dilapangan.[1] Untuk memahami realitas lapangan diperlukan suatu metode penelitian yang mampu melakukan peran seperti diatas. Berkaitan dengan metode penelitian tentang manusia sebagai kajian dari psikologi, sekurang-kurangnya ada dua pandangan yang berbeda yaitu:

Pertama, kelompok yang beranggapan bahwa seluruh ilmu pengetahuan yang mencoba memahami manusia, termasuk psikologi, haruslah menggunakan metode yang digunakan oleh ilmu pengetahuan modern, yaitu suatu ilmu pengetahuan yang tumbuh dan berkembang dengan menggunakan metode ilmiah (scientific method). Asumsi yang diajukan adalah kebenaran sangat bergantung pada metode yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, tanpa menggunakan metode ilmiah, pengetahuan yang diperoleh manusia tidak dapat disebut sebagai science (ilmu pengetahuan).

Para ahli yang sependapat dengan pandangan ini menganggap bahwa begitu penting fungsi dari metode ilmiah sehingga mereka menjadi kaku dalam menerapkannya, seakan-akan mereka menganut motto: Tak ada sains tanpa metode, yang lama kelamaan berubah menjadi: sains adalah metode. Sikap seperti ini mencerminkan bahwa mereka berlebihan dalam menilai metodologi khususnya metode ilmiah, tanpa menyadari bahwa semua hanyalah salah satu sarana dari sains untuk memahami suatu fenomena.

Kedua, kelompok yang menyadari sepenuhnya bahwa manusia adalah mahluk yang mempunyai ciri-ciri yang unik dan khas, maka dari itu untuk memahaminya diperlukan metode yang beragam. Metode ilmiah hanyalah salah satu metode yang bisa digunakan untuk memahami manusia, karena masih ada metode lain yang bisa dipergunakan seperti metode keyakinan, metode intuisi, metode otoritas, atau bahkan metode lain yang mungkin saja dapat dipergunakan dalam memahami manusia.

Dari dua pendapat diatas, nampaknya para peminat dan pengkaji psikologi islami bersepakat untuk memilih pendapat yang kedua, mereka beranggapan bahwa manusia adalah mahluk yang sangat unik dan khas sehingga bila memahami manusia hanya dengan menggunakan metode ilmiah seperti yang sering digunakan sekarang ini, maka hal itu tidak akan cukup memadai karena itulah dimungkinkan untuk digunakan metode lain. Dengan adanya penggunaan metode yang beragam, maka pemahaman terhadap objek kajiannya (manusia) akan menjadi semakin utuh dan memadai.

Metode ilmiah sebagai salah satu metode dalam psikologi diartikan sebagai suatu pendekatan dalam memahami suatu fenomena dengan menggunakan kaidah-kaidah keilmuan. Ukuran kebenaran dalam metode ilmiah dikembalikan pada ukuran objektif, rasional dan emfiris, karena itu pola pikir yang dirujuk adalah berfikir induktif yang dalam praktek penelitiannya dipakai dalam pendekatan kuantitatif, dan pola pikir deduktif yang dalam praktek penelitiannya dipakai dalam pendekatan kualitatif. Baik pendekatan kuantitatif maupun kualitatif, keduanya mengkaji fenomena atau fakta yang bersifat kasat-mata (observable).

Diantara jenis penelitian yang biasa dilaksanakan dalam penelitian psikologi dan dianggap sebagai sebagai bagian dari metode ilmiah adalah: Penelitian deskriptif, korelasional, komparatif, eksperimen, Quasi-eksperimen, studi kasus, etnografi dan lain sebagainya. Kesemua jenis penelitian tersebut menggunakan kaidah-kaidah ilmiah yang telah disepakati dan objek kajiannya menekankan pada sesuatu yang kasat-mata, padahal dalam kehidupan ini banyak sekali fenomena yang memerlukan penjelasan lebih dari sekedar ilmiah, karena memang fenomena tersebut tidak dalam wilayah observable, tapi ada pada wilayah conceivable atau bahkan ada dalam wilayah unconceivable. Disinilah terdapat keterbatasan metode ilmiah sehingga diperlukan metode yang lain.

Metode Penelitian dalam psikologi Islami

Berdasarkan hasil kajian para ahli dan peminat psikologi islami, maka diajukanlah beberapa metode yang bisa dijadikan alternatif dalam penelitian psikologi islami[2]. Diantara metode tersebut adalah:

1. Metode Keyakinan (method of tenacity)

Metode keyakinan adalah suatu metode yang penekanannya pada kemampuan seseorang untuk meyakini kebenaran sesuatu tanpa keraguan appun di dalamnya. Dalam metode ini, yang absah dijadikan sebagai sumber yang diyakini kebenarannya adalah wahyu ilahi (Al-Quran). Asumsi yang diajukan adalah manusia adalah mahluk ciptaan Allah, karena itu yang lebih mengetahui tentang manusia adalah Allah, karena itulah maka sumber kebenaran dan pengetahuan harus berangkat dari sumbernya yang utama.

Salah satu ciri utama ilmu pengetahuan islam, dalam hal ini adalah psikologi islami, adalah penempatan wahyu Tuhan diatas rasio. Wahyu memperoleh kedudukan yang paling tinggi sehingga dalam upaya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan islam khususnya dalam merumuskan konsep-konsep psikologi islami, haruslah merujuk pada sumber kebenaran mutlak. Pandangan seperti ini, dalam kenyataannya banyak sekali mendapat sanggahan baik dari kalangan ilmuwan non-muslim, maupun dari kalangan ilmuwan muslim itu sendiri, karena adanya anggapan bahwa wahyu dan ilmu itu adalah sesuatu yang berbeda penggunaannya dan tidak dapat dipersandingkan. Tapi akhir-akhir ini, banyak kalangan ilmuwan kontemporer yang menggunakan metode keyakinan sebagai salah satu metode dalam penelitiannya, mereka menggunakan ayat Al-Quran sebagai sumber pengetahuan.

2. Metode Rasiosinasi

Berbeda dengan sains yang mengagungkan rasio, maka ilmu pengetahuan islam, dalam hal ini psikologi islami berpandangan bahwa manusia harus mempergunakan rasionya sambil tetap menyadari adanya keterbatasnnya. Tapi walaupun demikian, Islam tetap menganjurkan pemeluknya untuk tetap menggunakan rasionya secara optimal. Hal ini banyak terungkap dari ayat-ayat Al-Quran atau hadits nabi Muhammad SAW.

Metode ini akan sangat baik ketika digabungkan dengan metode keyakinan, sehingga yang muncul kepermukaan adalah metode keyakinan dan rasiosinasi. Contohnya ketika seorang berusaha memahami suatu fenomena atau realitas, maka sebaiknya ia mempergunakan rasionya sambil tetap meyakini bahwa ada keterbatasan rasio dan adanya keyakinan bahwa wahyu Allah diatas segalanya. Dengan demikian ia tidak akan menjadi seorang rasionalis yang beranggapan bahwa rasiolah sumber dari kebenaran.

3. Metode Otoritas (method of authority)

Dalam metode otoritas (method of authority) seorang menyandarkan kepercayaan kepada orang-orang yang memiliki banyak pengalaman atau pengetahuan dalam suatu bidang tertentu, karena pengalaman dan pengetahuannya itulah dia mempunyai kewenangan (otoritas) di bidangnya. Dalam ilmu tafsir, metode semacam ini biasa digunakan, contohnya ketika menafsirkan suatu ayat maka akan dirujuk pada penjelasan sumber utamanya yaitu Rasulullah atau para sahabatnya yang dianggap mampu memahami ayat tersebut.

Dalam upaya merumuskan psikologi islami, sumber otoritas yang dapat dijadikan rujukan adalah Nabi Muhammad SAW melalui pemahaman terhadap hadits-hadits yang disabdakannya. Selain itu, otoritas lain yang bisa dirujuk adalah para alim ulama yaitu orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan dan sekaligus mengalami peristiwa-peristiwa penting dalam hidupnya dan dapat dijadikan sumber pengetahuan untuk mengetahui dan memahami realitas yang tidak tampak oleh indra. Dikalangan ulama sufi, banyak sekali pengalaman yang bisa dirujuk sebagai sumber pengetahuan untuk memperoleh kebenaran.

4. Metode Intuisi

Metode ini sangat tidak populer dikalangan para ahli psikologi modern, dan ahli-ahli sains modern lainnya, karena dianggap tidak ilmiah. Mereka beranggapan bahwa ilmiah selalu didasarkan kepada kebenaran rasio, padahal psikologi islami mengharapkan agar manusia mempergunakan qolbunya, intuisinya atau nuraninya. Cara untuk memahami dan mengetahui apa yang terjadi dalam diri manusia dengan menggunakan hati nurani inilah yang disebut dengan metode intuisi. Apabila metode ini yang dipakai maka akan terbukalah sesuatu yang menjadi penghalang (kasyful mahjub), yang tak telihat oleh mata. Dalam situasi semacam inilah maka seseorang akan mampu memahami fenomena atau realitas yang tak terjangkau oleh panca indera.

Contoh metode ini dilakukan ketika peristiwa Nabi Khidr yang mampu mengetahui seorang anak yang apabila dibiarkan hidup maka ia akan menjadi durhaka, karena itulah lalu ia membunuh anak tersebut. Walaupun peristiwa ini terjadi pada seorang nabi, tapi bagi orang yang beriman dan shaleh, bahkan dikalangan kaum sufi peristiwa semacam ini menjadi sesuatu yang sangat mungkin dilaksanakan.

Dengan banyaknya alternatif yang bisa dijadikan metode dalam psikologi islami, masalah selanjutnya adalah bagaimana model penelitian yang bisa dilakukan dalam upaya umtuk mengembangkan psikologi islami, karena itu diajukanlah empat model dalam penelitian psikologi islami.

Bagaimana Model Penelitian Psikologi Islami?

Berbicara tentang penelitian dalam psikologi islami, setidaknya ada dua hal penting yang harus diperhatikan, yaitu masalah teori dan masalah metode. Secara ideal, teori yang digunakan semestinya adalah teori yang didasarkan pada pandangan dunia islam, hal ini sejalan dengan pendapat sardar[3] yang menyatakan bahwa islamisasi harus berangkat dari pandangan dunia (world view) yang Islami dan paradigma keilmuannya karena itu teori yang dibangun harus sejalan dengan ajaran-ajaran islam. Pandangan dunia islam bisa diartikan sebagai pandangan islam secara menyeluruh tentang bekerjanya alam semesta dan kehidupan manusia dalam naungan sunnatullah yang tertulis dalam ayat kauniyah dan kauliyah.

Berkaitan dengan masalah metode yang digunakan dalam penelitian psikologi islami, diharapkan sesuai dengan objek kajian psikologi namun tetap dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Dalam kaitan ini Muhadjir[4] berpendapat bahwa teknik dan metodologi penelitian psikologi islami seharusnya dikembalikan pada objek dan karakteristik objek. Karena itu diperlukan banyak metode sesuai dengan objek kajiannya, selain dari metode ilmiah.

Dalam mensikapi dua persoalan tersebut, ada beberapa pertanyaan yang perlu diajukan sehubungan dengan masalah tersebut yaitu: Bagaimanakah wujud dari teori psikologi islami? Apakah bisa disebut psikologi islami jika teori yang digunakannya bersumber dari teori barat? Apakah suatu suatu penelitian yang menggunakan teori barat dengan menggunakan subjek muslim bisa disebut dengan penelitian psikologi islami? Apakah dengan menggunakan istilah-istilah yang diambil dari Al-Quran dan Al-Hadits baru bisa disebut penelitian psikologi islami?

Menurut Nashori[5] Suatu penelitian dapat disebut penelitian psikologi islami bila teorinya berangkat dari pandangan dunia islam atau setidaknya teori tersebut telah mengalami proses islamisasi yaitu suatu upaya untuk menghubungkan kembali antara teori-teori barat dengan ajaran-ajaran islam, karena keduanya adalah merupakan dari ayat-ayat Tuhan, karena itu suatu penelitian dengan menggunakan teori barat tidak dapat dipandang sebagai penelitian psikologi islami, sekalipun subjeknya adalah orang islam, bila sebelumnya teori tersebut tidak mengalami proses islamisasi.

Pemahaman proses islamisasi, sebagai suatu tahapan yang harus dilalui dalam melakukan penelitian psikologi islami, bisa merujuk pada pengertian islamisasi yang dikemukakan oleh Bastaman[6]. Menurut pendapatnya proses islamisasi setidaknya mengikuti salah satu dari enam proses berikut:

Similarisasi yaitu menyamakan begitu saja konsep-konsep psikologi barat dengan konsep-konsep dalam ajaran islam walaupun belum tentu sama. Contohnya adalah menyamakan konsep dorongan (nafsu) dari Sigmund Freud[7] dianggap sama dengan konsep nafsu dari Al-Ghazali.[8] Proses similarisasi ini dianggap sebagai proses yang paling dangkal dan diharapkan hanya sebagai langkah awal saja dalam melakukan proses islamisasi selanjutnya.

Paralelisasi yaitu menganggap paralel konsep-konsep psikologi barat dengan konsep-konsep dengan ajaran islam karena adanya kemiripan konotasinya. Contohnya adalah paralelisasi tentang teori keberagamaan dari Glock & Strak (keyakinan, ritual, penghayatan, pengamalan, pengetahuan) dengan dimensi-dimensi religiusitas dalam ajaran islam (akidah, ibadah, ihsan, ahlak, ilmu).[9]

Komplementasi yaitu menganggap antara sains dan ajaran islam adalah saling mengisi, saling memperkuat tapi tetap mempertahankan eksistensinya masing-masing.

Komparasi yaitu membandingkan antara konsep psikologi barat dengan konsep dalam ajaran islam mengenai suatu gejala-gejala yang sama untuk dicarikan titik temu antar keduanya.

Induktivikasi yaitu suatu uapaya untuk menterjemahkan temuan lapangan empirik menjadi teori-teori (pemikiran) metafisik, kemudian menghubungkannya dengan ajaran-ajaran islam.

Verifikasi yaitu mengungkapkan hasil-hasil penelitian ilmiah yang menunjang dan membuktikan kebenaran ajaran islam. Contohnya adalah penelitian yang menemukan bahwa shalat mampu membuat lebih sehat bagi para pelakunya.

Selanjutnya, dengan melihat uraian diatas, maka dikembangkanlah model penelitian psikologi islami yang yang terdiri dari empat model yang diharapkan mampu menjadi pedoman bagi para pengkaji dan peneliti yang berminat terhadap penelitian psikologi islami. Keempat model tersebut sebenarnya merupakan pengembangan dari pola-pola psikologi islami. Saat ini ada empat pola yang telah dan harus dilakukan oleh para pengkaji psikologi islami, yaitu pertama, menjelaskan masalah-masalah ajaran islam atau masalah umat islam dengan memanfaatkan konsep psikologi, kedua membandingkan konsep manusia dari ajaran islam dengan konsep psikologi modern, ketiga islam memberikan perspektif terhadap konsep-konsep psikologi, dan keempat mengembangkan pola pengetahuan (teori) yang bersumber dari ajaran islam.

Penjelasan dari masing-masing model tersebut bisa dilihat dari uraian dibawah ini:

Model Penelitian Pertama. Pada model ini, Metode yang digunakan dalam model ini adalah metode ilmiah, tapi variabel penelitian yang diambil harus terlebih dahulu mengalami proses islamisasi, baik berupa proses similarisasi, paralelisasi, komplementasi, komparasi, induktivikasi, ataupun verivikasi. Tanpa proses islamisasi, suatu teori belum dapat dianggap sebagai teori psikologi islami, karena itu langkah pertama untuk melakukan penelitian pada model ini, harus terlebih dahulu melakukan proses islamisasi teori. Dengan kata lain, suatu penelitian tidak bisa dianggap sebagai penelitian psikologi islami bila teori yang dipakai masih tetap menggunakan teori barat sekalipun menggunakan subjek orang islam.

Model Penelitian Kedua. Model ini merupakan model pengembangan dari model yang pertama, karena pada model ini penelitian dilakukan dengan metode ilmiah, dan teori yang dibangun selain dari teori-teori atau konsep-konsep psikologi barat, tapi juga dari teori dan konsep agama islam. Pada fase ini mulai ada upaya eksplorasi terhadap pandangan-pandangan agama islam yang dihubungkan dengan suatu fenomena psikologis tertentu.

Model Penelitian Ketiga. Pada model ini, penelitian dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah tapi teori-teori yang digunakan sepenuhnya diambil dari pandangan dunia islam. Teori-teori tersebut digali dan dirumuskan dari sumber formal islam (Al-Quran, Al-Hadits, dan Khazanah keilmuan islam yang lain). Pengembangan teori tersebut selanjutnya harus didukung oleh berbagai data temuan atau fenomena terakhir dalam kehidupan manusia.

Model Penelitian Keempat. Model ini merupakan kelanjutan dari model ketiga yang mengalami perubahan masalah topik dan juga masalah metode penelitaian yang digunakan. Pada model ini metode penelitian yang digunakan selain metode ilmiah adalah metode-metode lain seperti disebut diatas. Karena metode yang digunakannya semakin beragam, maka bidang kajiannyapun menjadi semakin luas. Fenomena atau realitas yang bisa selain realitas yang bersifat kasat-mata (observabele) maka bisa ditambah dengan realitas yang hanya mampu dipikirkan dan dirasakan (conceivable) atau bahkan realitas yang tidak terpikirkan atau tidak terasakan ((unconceivable area).

Penutup

Pada saat ini, banyak peneliti yang sudah melakukan sesuai dengan model-model penelitian diatas khususnya model pertama dan kedua, padahal kedua model diatas dianggap sebagai model penelitian semi psikologi islami, karena itu masih diperlukan keseriusan dari para pengkaji psikologi islami untuk menggunakan model ketiga dan keempat yang memang memerlukan usaha yang lebih serius sehingga penelitian psikologi islami yang dicita-citakan bisa terwujud.

Akhirnya, untuk membangun sebuah Psikologi Islami sebagai sebuah disiplin keilmuan tentu masih banyak yang harus dilakukan dan diperjuangkan, salah satu cara sederhana yang bisa dilakukan adalah dengan mulai mengadakan penelitian dengan menggunakan model penelitian seperti yang diajukan diatas sehingga psikologi islami yang dicita-citakan dapat terwujud yang pada gilirannya akan menjadi psikologi alternatif yang berfungsi sebagai rahamatan lil’alamin.



Catatan Akhir

[1] Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1991),

[2] Nashor, F, Agenda Psikologi Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002)

[3] Sardar, Z., Menjawab Tantangan Abad 21, terj. A.E Priyono & Ilham Yahya, (Bandung: Mizan, 1986), 11

[4] Muhadjir, N., Landasan Metodologi Psikologi Islami, Dialog Nasional Pakar Psikologi Islami, (Jombang: Fakultas Psikologi Islami),

[5] Ancok, D., & Nashori, F., Psikologi Islami, Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994)

[6] Bastaman, Integrasi Psikologi dan Islam, Menuju Psikologi Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995)

[7] Freud membagi struktur kepribadian kedalam tiga kelompok, yaitu 1) id yaitu dorongan yang bersifat isntingtif 2)ego 3) super-ego

[8] Ghazali, Ihya Al-Ghazali, I, terj. Ismail Yakub, (Jakarta, Faizan, 1984),

[9] Ibid , 5

DAFTAR PUSTAKA

Ancok, D., & Nashori, F., Psikologi Islami, Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994)

Bastaman, Integrasi Psikologi dan Islam, Menuju Psikologi Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995)

Ghazali, Ihya Ulum al-Din, I, terj. Ismail Yakub, (Jakarta, Faizan, 1984),

Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1991),

Muhadjir, N., Landasan Metodologi Psikologi Islami, Dialog Nasional Pakar Psikologi Islami, (Jombang: Fakultas Psikologi Islami),

Nashor, F, Agenda Psikologi Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002)

Sardar, Z., Menjawab Tantangan Abad 21, terj. A.E Priyono & Ilham Yahya, (Bandung: Mizan, 1986)

Membangun Psikologi Islami

MEMBANGUN PSIKOLOGI ISLAMI

Oleh:
Rahmat Aziz, M.Si

Dipublikasikan pada jurnal:
Psikoislamika, Jurnal Psikologi dan Keislaman,
Vol 1, No 1, Januari 2004




Abstract.
It is the fact, that the thought of western psychology has expand speedy, and adopted by many scholars, include us. However, it does not mean that there is no flawed in western psychology. For instance, Freud’s psychoanalysis is considered over simplified and cannot explain some problems such as fitrah in Islam, John Lock’s behaviorist did not admit human intrinsic potencies which empirically cannot be denied, in addition, humanistic of Maslow have ignored factor and the role of God in the human life.
Islamic psychology comes into being to respond for the lack of western psychology theories. There are two ways in developing Islamic psychology; praxis and theoretic. Praxis method means developing Islamic psychology based on what have been developed by western psychology then we filter it and search the legitimacy for it; meanwhile, theoretic method means developing Islamic psychology based on the teaching and resources of Islamic knowledge itself.
Keyword: Psychology, Western, and Islam.


Pengantar
Ada perbedaan cukup tajam antara Ziauddin Sardar dan Ismail Raji al-Faruqi tentang gerakan Islamisasi ilmu. Menurut Sardar, islamisasi harus berangkat dari pandangan dunia (world view) yang Islami dan paradigma keilmuannya, sedang bagi Faruqi gerakan Islamisasi dimulai dari adanya kritik terhadap ilmu-ilmu modern dengan menggunakan Islam sebagai analisisnya, setelah itu baru diadakan sintesis. Kedua pandangan diatas mempunyai kelebihan dan kekurangan tersendiri. Pandangan pertama sangat ideal dalam tatanan teoritis tapi lemah dalam aplikasi karena memerlukan waktu yang sangat lama, sedangkan pandangan kedua unggul dalam aplikasi karena bisa langsung menjawab persoalan-persoalan umat saat ini tapi lemah dalam dataran teoritis karena bisa terjebak dalam gerakan westernisasi ilmu.
Menurut Djamaluddin Ancok & Fuad Nashori, dari kedua pandangan diatas diperkirakan pandangan kedualah yang akan memenangkan pertarungan. Hal ini bisa terlihat dari banyaknya kalangan ilmuwan yang sudah melakukan seperti saran Faruqi. Salah satu diantaranya adalah kalangan ilmuwan psikologi. Para ilmuwan psikologi saat ini merasakan adanya beberapa kelemahan mendasar dari teori-teori psikologi modern sehingga perlu mengajukan satu alternatif psikologi. inilah yang kemudian memuncul alternatif psikologi Islami.

Kritik Terhadap Psikologi Modern
Kritik merupakan bagian dari sikap ilmiah yang melekat pada diri ilmuwan. Ilmuwan sebagai penemu, penguasa, pengembang, pengendali, dan peramal sains, tidak boleh tidak harus membuka diri untuk di kritisi sekaligus mengkritisi. Ilmuwan sebenarnya sudah kehilangan makna keilmuwannya jika sudah tidak memiliki semangat mengkritisi atau tidak tahan dikritisi. Begitu juga teori sebuah ilmu, termasuk teori psikologi modern, akan kehilangan dinamikanya ketika menutup diri dari kritikan.
Dalam sejarah perkembangan psikologi terlihat bahwa lahirnya teori psikologi yang kemudian disusul teori psikologi yang lain adalah karena semangat mengkritik, yaitu mengkritik teori psikologi yang lama untuk kemudian membangun teori psikologi yang baru. Ini sesuai dengan pendapat Kuhn bahwa gelombang revolusi ilmu pengetahuan selalu ditandai oleh pergeseran dan penggantian dominasi paradigma ilmu yang berlaku. Karena itu, menjadi suatu hal yang sangat urgen untuk segera melakukan kritik terhadap teori-teori psikologi modern kemudian memberikan solusi alternatif.
Kerlinger menyatakan bahwa salah satu fungsi sebuah teori adalah sebagai penjelas. Artinya teori tersebut diharapkan mampu memberikan penjelasan terhadap suatu fenomena yang ada, baik berupa hubungan sebab-akibat (kausalitas) atau hubungan yang non sebab-akibat (nir-kausalitas). Suatu teori akan runtuh ketika ia tidak mampu lagi memberikan penjelasan terhadap fenomena yang ada. Demikian juga dalam bidang psikologi. Saat ini banyak fenomena yang tidak mampu lagi dijelaskan dari sudut pandang teori psikologi modern. Untuk menjawab kenyataan diatas, keberadaan teori psikologi yang baru menjadi mutlak diperlukan.
Berbicara tentang psikologi modern, setidaknya ada tiga aliran besar yang biasa dijadikan rujukan. Semua aliran itu lahir di Barat, sehingga menurut Nashori, pola pikir (mode of thought) yang digunakannya juga adalah masyarakat Barat. Jika teori-teori tersebut digunakan untuk menganalisis masyarakat non-Barat (Islam), adanya bias-bias menjadi tidak terelakkan. Kritis atas kelemahan psikologi Barat seprti itu sudah banyak disampaikan, baik oleh kalangan mereka sendiri seperti Ruth Benedict, atau dari kalangan lain.

Kritik Atas Aliran Psikoanalisis.
Aliran psikoanalisis dipelopori oleh Sigmund Freud. Menurutnya, kehidupan manusia ditentukan oleh adanya dorongan-dorongan id (ego) yang bertujuan untuk memuaskan kesenangan (the principle of pleasure). Ego ini sangat ditentukan oleh masa lalunya, khususnya ketika masih balita, sedang hati nurani (super ego) muncul karena adanya interaksi individu dengan lingkungan sosialnya.
Teori Freud tentang dorongan id (libido sexual) termasuk salah satu teori yang mendapat kritik keras karena dianggap terlalu menyederhanakan kompleksitas hidup seseorang. Apalagi jika dilihat dari perspektif Islam, teori ini tidak akan mampu menjelaskan kebutuhan manusia untuk beragama yang dalam ajaran Islam diyakini bahwa manusia punya kecenderungan untuk beragama (fithrah) sebagaimana dijelaskan dalam hadits Nabi, Setiap manusia yang lahir ke dunia membawa bekal fithrah (sikap bertauhid), (HR. Bukhari).
Pandangan Freud yang menyatakan bahwa manusia sangat dipengaruhi masa lalunya juga perlu dikritik. Menurut Freud, untuk memahami perilaku seseorang pada saat ini, kita harus merujuk kehidupannya di masa kecil. Pendapat ini mempunyai kelemahan yang sangat mendasar karena hidup seseorang berarti menjadi determinist yang akhirnya meyebabkan fatalism. Jika kehidupan masa kecilnya tidak baik, maka masa depannya tidak akan jauh berbeda, sehingga seolah-olah tidak ada lagi harapan pada manusia untuk berkembang kearah yang lebih baik. Islam sangat berbeda dengan pandangan diatas. Meski Islam menekankan arti pentingnya masa kanak-kanak, tapi itu bukan segalanya karena masih ada proses yang terus berlangsung untuk menuju kesempurnaan hidup. Islam adalah suatu agama yang memberikan kebebasan pada manusia untuk berbuat sesuai dengan kehendaknya, dengan catatan bahwa semua itu akan diminta pertanggung jawaban.

Kritik Atas Aliran Behavioristik.
Tokoh aliran behavioris diantaranya adalah Watson, Pavlov, Skinner dan Thorndike. Aliran ini dipengaruhi oleh filsafat empiris yang disponsori oleh John Lock. Aliran ini memandang bahwa manusia dilahirkan bagaikan sebuah kertas putih yang tidak ada tulisan apapun. lingkunganlah yang mengisi bentuk dan corak dari kertas tersebut. Berdasarkan pandangan ini kaum behavioris berpendapat bahwa manusia dalam kehidupannya akan berkembang sesuai dengan stimulus yang diterima dari lingkungannya.
Kritik yang diajukan atas aliran ini adalah hilangnya potensi manusia yang ada pada tiap individu. Kenyataanya, manusia lahir dengan potensi ciri khasnya sendiri yang berbeda antara yang satu dengan yang lain, dan inilah yang dilupakan oleh kaum behavioris. Kritik lain adalah kecenderungannya untuk mereduksi nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini terlihat dari cara kaum behavioris memperlakukan seorang anak. Mereka beranggapan bahwa seorang anak akan berperilaku (memberikan respon) sesuai dengan stimulus yang diberikan. Ini berarti manusia dianggap sebagai sebuah mesin sehingga teorinya bersifat mekanistis.

Kritik Atas Aliran Humanistik
Aliran humanistik muncul karena adanya ketidak percayaan terhadap kaum psikoanalisis dan behavioristik. Tokoh yang dianggap sebagai figur aliran ini adalah Maslow, Rogers, dan lain-lain. Dalam beberapa hal, aliran ini tampak sesuai dengan ajaran Islam karena sangat apresiatif terhadap keunikan pribadi, penghayatan subjektifitas, adanya rasa tanggung jawab dan yang paling penting adanya kemampuan pada manusia untuk melakukan aktualisasi diri. Salah satu aliran humanistik yang dikembangkan Victor Frankl dianggap sebagai aliran yang sesuai dengan ajaran Islam.
Namun, itu tidak berarti bahwa aliran ini lepas dari kritik. Kelemahan utama aliran ini justeru terletak pada pandangannya yang terlalu optimistik terhadap manusia itu sendiri yang keadaan ini pada gilirannya akan menyebabkan manusia dianggap menjadi penentu terhadap kehidupannya. Ini bertentangan dengan ajaran Islam yang menyatakan bahwa Tuhanlah yang Maha menentukan, meski manusia mempunyai kuasa usaha.
Dengan demikian, perbedaan mendasar antara aliran humanistik dengan Islam terletak pada pandangannya terhadap manusia. Humanistik beranggapan over optimistik dalam memandang manusia sedang Islam memandang manusia dengan optimist proportional, yang berarti bahwa selain mempunyai kemampuan luhur manusia juga mempunyai keterbatasan sehingga selalu ada tempat kembali dalam hidupnya.

Psikologi Islami Sebagai Alternatif
Uraian diatas menunjukkan bahwa aliran psikologi dewasa ini mempunyai kelemahan mendasar sehingga jika digunakan untuk menjelaskan masalah yang muncul kemungkinan terjadi bias. Keadaan seperti ini tentu harus dicarikan alternatif yang bisa menggantikan kedudukannya, yaitu Psikologi Islami. Kenapa psikologi Islami dan bukan psikologi yang lain? Hal ini sangat tergantung pada siapa pengguna dari ilmu tersebut. Mungkin akan lahir psikologi-psikologi yang lain, Psikologi Kristiani, misalnya. Hal ini sah secara keilmuan. Hanya saja, Psikologi Islami lahir didasarkan atas kenyataan bahwa Islam mempunyai konsep-konsep tersendiri dan berbeda dari yang lainnya. Menurut Kuntowijaya, konsep ini bersumber dari al-Quran, al-Hadits, dan khasanah keilmuan Islam yang lain.
Ada dua pendapat tentang pengertian dari Psikologi Islami itu sendiri. Pendapat pertama mengatakan bahwa psikologi Islami adalah suatu corak (aliran) psikologi yang dihasilkan dari filterisasi terhadap teori-teori psikologi modern, sementara pandangan kedua menyatakan bahwa psikologi Islami adalah suatu aliran psikologi yang dibangun atas dasar konsep-konsep yang ada dalam sumber-sumber ajaran Islam.
Cara pertama, punya keuntungan yang sangat praktis dan bisa digunakan dalam waktu yang singkat, karena hanya dengan mengkritisi teori-teori yang ada (menambah, membuang, mencocokkan) dengan teori-teori yang bersumber dari ajaran Islam, maka jadilah konsep psikologi Islami. Kelemahannya, kemungkinan akan terjadi bias dalam proses pembentukan konsep-konsep yang baru.
Cara kedua, punya keuntungan dalam kematangan suatu konsep karena memang berawal dari sumber utama dari ajaran Islam. Caranya adalah dengan menghadirkan suatu konsep baru dari ajaran Islam kemudian melakukan penelitian ilmiah. Cara ini butuh waktu untuk segera menemukan konsep baru, padahal konsep tersebut sudah sangat urgen untuk segera ditampilkan. Karena itu, akhirnya diambil perpaduan antara keduanya, sehingga yang disebut psikologi Islami adalah suatu corak psikologi dalam pengertian pertama untuk jangka pendek, dan pengertian kedua kedua untuk jangka waktu panjang.
Untuk membangun sebuah Psikologi Islami sebagai sebuah disiplin keilmuan tentu masih banyak yang harus dilakukan dan diperjuangkan, karena adanya tantangan eksternal (para ahli psikologi yang bukan beragama Islam) dan internal (para ahli psikologi yang beragama Islam) yang belum tentu sepakat dengan faham ini. Namun, terlepas dari polemik diatas, penulis beranggapan bahwa psikologi Islami sangat mungkin bisa dimunculkan ke permukaan dengan catatan ada usaha dan komitmen dari para ahli psikologi dan ahli agama untuk terus mengembangkannya sehingga psikologi islami benar-benar lahir sebagai rahamatan lil’alamin.

Pustaka

Ancok, D., & Nashori, F., 1994, Psikologi Islami, Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Faruqi, I.R., 1982, Islamization of Knowledge, General Principles & Workplan, Virginia: International Institute of Islamic Thought

Kuhn, T., 1970, The Structure of Scientific Revolution, Chicago: The University of Chicago Press

Kuntowijoyo, 1991, Paradigma Islam, Interpretasi Untuk Aksi, Bandung: Mizan

Nashori, F., 1994, Membangun Paradigma Psikologi Islami, Yogyakarta: Sipress

Sardar, Z., 1986, Masa Depan Islam, (terjemahan), Bandung: Pustaka Salman