My Family

Senin, 23 Februari 2009

Reward dan Punishment


MEMUJI ATAU MENGHUKUM,
MANA YANG LEBIH EFEKTIF DALAM MENDIDIK ANAK?


Makalah ini disampaikan pada seminar nasional dengan tema: "Pendidikan Tanpa Kekerasan" yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Agama Islam UII (Universitas Islam Indonesia) Yogyakarta pada tanggal 21 Februari 2009.


A. Pengantar
Pada tahun 1982, Jack Canfield (salah seorang penulis chicken soup for the soul) pernah melakukan observasi kehidupan seorang anak sejak mulai bangun tidur sampai tidur kembali. Hasil observasinya menyatakan bahwa rata-rata dalam sehari anak menerima 460 komentar negatif dan hanya 75 komentar positif. Bayangkan, apa yang akan terjadi jika seandainya keadaan ini berlangsung terus menerus dalam kehidupan seorang anak?

Dalam praktik pendidikan, pernah dilakukan eksperimen yang bertujuan membandingkan antara reward dan punishment dalam meningkatkan prestasi belajar. Eksperimen ini dimulai dengan menentukan tiga kelompok yang akan diberi perlakuan pembelajaran dengan metode berupa dibiarkan, diberi reward, dan diberi punishment. Pada awal pembelajaran seluruh subjek mempunyai prestasi belajar yang relatif sama. Setelah diberi perlakuan pada satu semester ternyata kelompok yang diberi punishment mempunyai prestasi belajar yang lebih tinggi dibanding kelompok yang diberi reward, apalagi dengan kelompok yang dibiarkan.

Hasil penelitian diatas, ternyata membuat penelitinya menjadi heran karena hipotesis yang diajukan tidak sesuai dengan data empirik. Akhirnya, untuk memahami lebih lanjut tentang keadaan ini, maka penelitian dilanjutkan pada semester berikutnya. Hasil yang ditemukan ternyata kelompok yang diberi perlakuan punishment memperoleh prestasi belajar yang jauh lebih rendah dibanding dua kelompok lainnya dan kelompok yang diberi reward memperoleh skor yang paling tinggi. Pertanyaannya, mengapa reward lebih efektif dalam meningkatkan prestasi dibanding punishment?

Burhus Frederick Skiner (seorang ahli psikologi) pernah melakukan eksperimen pada tikus putih yang ada dalam kotak. Tujuan dari eksperimennya adalah untuk menguji tentang perilaku kondisioning. Hasil eksperimennya membuktikan bahwa dalam membentuk suatu perilaku bisa menggunakan reward (reinforcement positif). Dan juga bisa menggunakan punishment (reinforcment negatif). Skinner beranggapan bahwa hukuman dalam jangka waktu panjang tidak akan mempunyai pengaruh, justru banyak segi negatifnya dibandingkan segi positif. Karena itu, untuk membentuk suatu perilaku yang diharapkan, ia menyarankan agar lebih banyak menggunakan reward dibanding punishment.

Islam sebagai agama yang mengajarkan kebaikan dan kemaslahatan pada umat manusia, menyarankan penggunaan kedua metode tersebut sebagai alternatif dalam mendidik anak. Al-Quran dan Hadits sebegai sumber ajaran islam menggunakan beberapa istilah yang berkaitan dengan reward (ganjaran) dan punishment (pahala). Kata yang berkaitan dengan reward misalnya targhib dan tsawab, sedangkan kata yang berkaitan dengan punishment misalnya dikenal kata tarhib, hudud dan ‘iqob.

B. Pembahasan

Dalam bahasa Arab, reward (ganjaran) diistilahkan dengan tsawab. Kata ini banyak ditemukan dalam Al-Quran, khususnya ketika membicarakan tentang apa yang akan diterima oleh seseorang, baik di dunia maupun di akhirat dari amal perbuatannya. Kata tsawab selalu diterjemahkan kepada balasan yang baik. Sebagaimana salah satu diantaranya dapat dilihat dalam firman Allah pada surat Ali Imran: 145, 148, an-Nisa: 134. Dari ketiga ayat di atas, kata tsawab identik dengan ganjaran yang baik. Seiring dengan hal ini, makna yang dimaksud dengan kata tsawab dalam kaitannya dengan pendidikan Islam adalah pemberian ganjaran yang baik terhadap perilaku baik dari anak didik. Dalam pembahasannya yang lebih luas, pengertian istilah reward dapat diartikan sebagai 1) alat pendidikan preventif dan represif yang menyenangkan dan bisa menjadi pendorong atau motivator belajar bagi murid; dan sebagai hadiah terhadap perilaku yang baik dari anak dalam proses pendidikan.

Punishment (hukuman) dalam bahasa Arab diistilahkan dengan ‘iqab. Al-Qur’an memakai kata ‘iqab sebanyak 20 kali dalam 11 surat. Bila memperhatikan masing-masing ayat tersebut terlihat bahwa kata ‘iqab mayoritasnya didahului oleh kata syadiid (yang paling, amat, dan sangat), dan kesemuanya menunjukkan arti keburukan dan azab yang menyedihkan, seperti firman Allah dalam surat Ali Imran: 11 dan al-Anfal: 13. Dari kedua ayat di atas dapat dipahami bahwa kata ‘iqab ditujukan kepada balasan dosa sebagai akibat dari perbuatan jahat manusia. Dalam hubungannya dengan pendidikan Islam, ‘iqab diartikan sebagai 1) alat pendidikan preventif dan refresif yang paling tidak menyenangkan; dan 2) balasan dari perbuatan yang tidak baik yang dilakukan anak.

Selain kata tsawab dan ‘iqob, Al-Quran juga menggunakan kata targhib dan tarhib. Perbedaannya, kalau tsawab dan ‘iqob lebih berkonotasi pada bentuk aktivitas dalam memberikan ganjaran dan hukuman seperti memuji dan memukul, sedangkan kata targhib dan tarhib lebih berhubungan dengan janji atau harapan untuk mendapatkan kesenangan jika melakukan suatu kebajikan atau ancaman untuk mendapatkan siksaan kalau melakukan perbuatan tercela.

Selain berupa konseptual, ajaran islam juga telah memberikan penjelasan tentang teknik penerpan reward dan punishment dalam upaya pembentukan perilaku. Berbagai teknik penggunaan reward yang diajarkan islam diantaranya adalah:
  1. Dengan ungkapan kata. Penggunaan teknik ini dilakukan oleh Rasulullah SAW ketika memuji cucunya, al-Hasan dan al-Husein yang menunggangi punggungnya seraya beliau berkata, “Sebaik-baik unta adalah unta kalian, dan sebaik-baik penunggang adalah kalian.” Oleh karenanya guru diharapkan mengikuti makna-makna dalam rangka memberi ganjaran atau pujian yang akan bermanfaat dan lebih menarik perhatian. Ganjaran-ganjaran yang diberikan dengan mudah terhadap suatu perbuatan akan menghilangkan akibat-akibat yang tidak baik.
  2. Dengan memberikan suatu materi. Cara ini selain untuk menunjukkan perasaan cinta, tetapi juga dapat menarik cinta dari si anak, terutama apabila hal itu tidak diduga. Rasulullah telah mengajarkan hal tersebut dengan mengatakan, “Saling memberi hadiahlah kalian niscaya kalian saling mencintai.” Setiap orang tua hendaknya mengetahui apa yang disukai dan diharapkan oleh anaknya, sehingga hadiah yang diberikan dapat berbeda-beda sesuai dengan kondisi dan keadaan anaknya. Pada praktik pendidikan, cara ini dapat diberikan kepada anak didik dengan syarat benda yang diberikan terdapat relevansi dengan kebutuhan pendidikan.
  3. Dengan memberikan senyuman atau tepukan. Senyuman merupakan sedekah sebagaimana dikatakan oleh Rosulullah: “Senyumanmu terhadap saudaramu adalah sedekah.” Senyuman sama sekali bukan suatu beban vang memberatkannya, tetapi ia mempunyai pengaruh yang sangat kuat, Ketika berbicara dengan anak-anak maupun dengan murid-murid hendaknya seorang ayah atau seorang guru mcmbagi pandangannya secara merata kepada mereka semua, sehingga mereka mendengarkannya dengan perasaan cinta dan kasih sayang serta tidak membenci pembicaraannya. Demikian juga dengan tepukan tangan, misalnya seorang guru menepuk-nepuk pundak siswanya ketika siswa tersebut mampu mengerjakan pekerjaan rumah dengan baik.

Ada beberapa peristiwa yang dilakukan Rosululloh ketika memberikan pujian kepada para sahabatnya, diantaranya pujian kepada Mua’adz ketika ia bertanya tentang perbuatan apa yang bisa memasukannya kedalam syurga. Kala itu Rosululloh menjawab dengan jawaban: Bakhin, bakhin (bagus, bagus) sungguh pertanyaan yang agung. Setelah itu Rosululloh menjawab pertanyaannya. Peristiwa yang hampir sama terjadi ketika Rosululloh menjawab pertanyaan Abu Hurairoh tentang orang yang paling beruntung ketika mendapat syafaat Rosul di hari akhir nanti. Sebelum menjawab pertanyaan tersebut Rosululloh mengatakan: Sudah saya duga, tidak aka nada orang yang bertanya tentang masalah ini selain dirimu.

Selanjutnya, pelaksanaan hukuman sebagai salah satu metode pendidikan boleh dilakukan sebagai jalan terakhir dan harus dilakukan secara terbatas dan tidak menyakiti anak. Tujuan utama dari pendekatan ini adalah untuk menyadarkan anak dari kesalahan-kesalahan yang ia lakukan. Pemberian hukuman harus dimulai dari tindakan sebelumnya yang dimulai dari teguran langsung, melalui sindiran, melalui celaan, dan melalui pukulan. Oleh karena itu agar pendekatan ini tidak terjalankan dengan leluasa, maka setiap pendidik hendaknya memperhatikan syarat-syarat dalam pemberian hukuman yaitu: 1) Pemberian hukuman harus tetap dalam jalinan cinta, dan kasih sayang. 2) Harus didasarkan pada alasan keharusan. 3) Harus menimbulkan kesan di hati anak. 4) Harus menimbulkan keinsyafan dan penyesalan kepada anak didik. 5) Harus diikuti dengan pemberian maaf dan harapan serta kepercayaan. Terdapat beberapa cara yang telah digunakan Rasulullah dalam menjalankan hukuman pada anak, diantaranya:

  1. Melalui teguran langsung. Umar bin Abi Salmah r.a. berkata, “Dulu aku menjadi pembantu di rumah Rasulullah. ketika makan, biasanya aku mengulurkan tanganku ke berbagai penjuru. Melihat itu beliau berkata, 'Hai ghulam, bacalah basmallah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah apa yang ada di dekatmu.”
  2. Melalui Pukulan. Ajaran Islam membolehkan pada pendidik atau orang tua untuk memberikan pukulan sebagai salah satu bentuk punishment dalam praktik pendidikan. Namun demikian, terdapat beberapa aturan yang mampu melindungi anak dari efek negitif yang mungkin di timbulkan. Diantara persyaratan yang membolehkan penggunaan pukulan diantaranya adalah sebagai berikut: 1) Jangan terlalu cepat memukul anak, jika kesalahan itu baru pertama kali dilakukan, anak harus diberi kesempatan untuk bertaubat dari perbuatannya; 2) Seorang pendidik tidak boleh memukul kecuali jika seluruh sarana peringatan dan ancaman tidak mempan lagi dan tidak boleh memukul dalam keadaan sangat marah karena dikhawatirkan membahayakan diri anak. Hal ini mengacu pada sabda Rasulullah yang menyatakan, Jangan marah!; 3) Pukulan tidak boleh dilakukan pada tempat-tempat yang berbahaya, seperti kepala, dada, perut, atau muka. Hal ini mengacu pada sabda Rasulullah, Jika salah seorang dari kamu memukul, maka jauhilah muka. Pukulan tidak terlalu keras dan tidak menyakitkan. Sasarannya adalah kedua tangan atau kedua kaki dengan alat pukul yang lunak (tidak keras). Selain itu, hendaklah pukulan-pukulan itu dimulai dari hitungan satu sampai tiga jika si anak belum baligh. Tetapi, jika sudah menginjak masa remaja, sementara sang pendidik melihat bahwa pukulannya tadi tidak membuat jera si anak, dia boleh menambahnya lagi sampai hitungan kesepuluh. Hal itu mengacu pada sabda Rasulullah, Tidak mendera di atas sepuluh deraan kecuali dalam hukuman pelanggaran maksiat (hudud); 4) Hukuman harus dilakukan oleh sang pendidik sendiri, tidak boleh diwakilkan kepada orang lain, agar terhindar dari kedengkian dan perselisihan. Seorang pendidik harus dapat menepati waktu yang sudah ditetapkan untuk mulai memukul, yaitu langsung kctika anak melakukan kesalahan. Tidak dibenarkan, apabila seorang pendidik memukul orang bersalah setelah berselang dua hari dari perbuatan salahnya. Keterlambatan pemukulan sampai hari kedua ini hampir tidak ada gunanya sama sekali; dan 5) Jika sang pendidik melihat bahwa dengan cara memukul masih belum membuahkan hasil yang diinginkan, dia lidak boleh meneruskannya dan harus mencari jalan pemecahan yang lain.
C. Penutup

Sebagai sebuah metode dalam pendidikan, reward mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan metode ini adalah bisa menjadi motivasi untuk melakukan perbuatan yang sama atau bahkan perbuatan yang lebih baik lagi, karena di dalam reward ada arah (tujuan) yang dapat dijadikan pola perilaku berikutnya. Kelemahannya, jika metode ini diberikan secara berlebihan dan kurang tepat, maka anak akan timbul sikap sombong karena menganggap dirinya selalu hebat. Akibat negatif yang mungkin timbul, telah dijelaskan Rosululloh ketika beliau mendengar seorang laki-laki memberi hadiah kepada laki-laki lain, dan hadiahnya itu berlebih-lebihan. Lalu Rosululloh bersabda: “Engkau telah berbuat kerusakan di belakang manusia.”

Selain reward, punishmentpun mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan metode ini adalah bisa menjadi sarana untuk perbaikan perilaku sehingga anak tidak terjerumus pada perilaku yang lebih tercela, selain itu seorang anak akan merasakan akibat dari perbuatannya yang pada akhirnya anak akan mampu menghormati dirinya sendiri. Kelemahan metode ini dapat menimbulkan perasaan takut, tidak percaya diri, dan mengurangi keberanian untuk berbuat.

Reward dan punishment adalah dua jenis metode yang bisa digunakan dalam praktik pendidikan baik dalam lingkup keluarga maupun sekolah. Penggunaan kedua metode tersebut harus dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip yang terdapat dalam ajaran Islam. Penggunaan reward lebih efektif dibanding punishment, karena itu punishment boleh digunakan ketika alternatif lain sudah tidak mampu memecahkan persoalan yang dihadapi anak.

Wallohu ‘alam bishowab.

Jumat, 23 Januari 2009

The Emotional Intelligence Scale


SKALA KECERDASAN EMOSIONAL

Oleh:

Rahmat Aziz, M.Si

Skala ini merupakan alat ukur penelitian yang pernah digunakan penulis ketika menyusun tesis pada Program Magister Fakultas Psikologi UGM Yogyakarta pada tahun 1999. Jumlah item pada awalnya sebanyak 60 buah tapi setelah dilakukan pengujian validitas ditemukan item valid sebanyak 48 item dengan reliabilitas sebesar @0,8972. Pengujian validitas dilakukan pada 110 siswa Sekolah Menengah Atas Negeri di Yogyakarta.

Istilah Emotional Intelligence yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan Kecerdasan Emosional, pertama kali diperkenalkan oleh Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayor dari University of New Hampshire pada tahun 1990, kemudian dipopulerkan oleh seorang penulis kenamaan yang bernama Daniel Goleman dengan sebuah buku Emotional Intelligence.

Pentingnya kecerdasan emosional dalam kehidupan seseorang telah disitir oleh Goleman (1996) yang mengatakan bahwa kecerdasan bila tidak disertai dengan pengolahan emosi yang baik tidaklah akan menghasilkan seseorang sukses dalam hidupnya. Selanjutnya ia mengatakan bahwa peranan kecerdasan akademik hanyalah sekitar 20% untuk menopang kesuksesan hidup seseorang, sedangkan 80% lainnya ditentukan oleh faktor yang lain, yang diantaranya adalah faktor kecerdasan emosional. Pendapat lain yang senada dengan Goleman, dikemukakan oleh Patton (1998) yang mengatakan bahwa orang yang kecerdasan emosionalnya tinggi cenderung akan mengalami kesuksesan ditempat kerjanya.

Patton (1998) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai suatu kemampuan untuk menggunakan emosi secara efektif dalam mencapai suatu tujuan. Gardner (dalam Goleman, 1996), menyebut istilah kecerdasan emosional dengan istilah kecerdasan antarpribadi dan kecerdasan intrapribadi, adapun definisi dari kedua istilah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kecerdasan antarpribadi adalah kemampuan untuk memahami orang lain, yang wujudnya berupa pemahaman terhadap apa yang memotivasi mereka, bagaimana mereka bekerja, dan bagaimana mereka bekerja sama dengan sesamanya. Dalam rumusan yang lain, ia mengatakan bahwa kecerdasan antarpribadi itu mencakup kemampuan untuk membedakan dan menaggapi dengan tepat suasana hati, temperamen, motivasi, dan hasrat orang lain.

2. Kecerdasan intrapribadi adalah kemampuan yang bersifat korelatif tetapi terarah kedalam diri sendiri, yang wujudnya berupa kemampuan untuk membentuk suatu model diri sendiri yang teliti dan mengacu pada diri, serta kemampuan untuk menggunakan model tersebut sebagai alat untk menempuh kehidupan secara efektif.

Senada dengan pendapat diatas, dikemukakan oleh Carkhuf (dalam Martaniah, 1997), yang mengatakan bahwa kecerdasan emosional melibatkan pada dua faktor, yaitu faktor emotivation yang pada prakteknya melibatkan pada pengembangan misi diluar diri sendiri, dan faktor motivation yang pada prakteknya melibatkan pada diri sendiri.

Skala ini menggunakan skala Likert yang terdiri atas lima alternatif jawaban, yaitu Sangat Seutuju (SS), Setuju (S), Ragu-ragu (R), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Skala ini mengungkap tinggi rendahnya kecerdasan emosional subjek yang mengacu pada aspek-aspek kecerdasan emosional yang dikemukakan oleh Goleman (1996) Gardner dan Salovey (Goleman, 1996), yaitu :

1. Kecerdasan Intrapersonal, yang terdiri dari kemampuan untuk sadar terhadap diri sendiri, kemampuan untuk mengendalikan dorongan hati, kemampuan untuk memotivasi diri sendiri, dan kemampuan untuk tetap optimis.

2. Kecerdasan Antarpersonal, yang terdiri dari kemampuan untuk berhubungan atau bersahabat dengan orang lain dan kemampuan untuk berempati dengan orang lain.

  1. Setiap tindakan yang saya lakukan, biasanya saya telah memperhitungkan resiko yang akan dihadapi.
  2. Bila menghadapi masalah, biasanya saya memusatkan perhatian pada apa yang dapat saya perbuat untuk memecahkannya.
  3. Saya telah belajar banyak tentang diri sendiri dengan cara mendengarkan perasaaan batin saya.
  4. Bila mempunyai masalah, saya tahu kemana saya harus pergi dan apa yang harus saya lakukan.
  5. Saya dapat menerima dfan menghibur diri sendiri, bila ada satu keinginan yang tidak tercapai.
  6. Seringkali saya tidak dapat menahan keinginan untuk melanggar norma-norma yang ada di mayarakat.
  7. Walaupun terkadang terasa menjenuhkan, tapi saya bisa menikmati dan bersabar ketika menunggu sesuatu.
  8. Ketika tiba-tiba timbul satukeinginan, maka saya harus segera mendapatkan keinginan itu bagaimanapun caranya.
  9. Saya mau berkorban, demi mendapatkan sesuatu yang lebih berarti walaupun harus menunggu begitu lama.
  10. Saya merasa sulit untuk memulai suatu kegiatan yang sudah direncanakan dengan matang.
  11. Saya biasa bekerja keras untuk dapat mewujudkan keinginan yang sudah saya tekadkan dalam hati.
  12. Saya termasuk orang yang biasa menunda pekerjaan, karena saya hanya bisa bekerja bila dalam keadaan santai.
  13. Sekalipun ujian pertama saya gagal, saya tetap akan berusaha belajar lebih giat dan penuh semangat untuk mengikuti ujian perbaikan.
  14. Saya selalu menasehati diri sendiri agar dapat mencapai prestasi tinggi dari setiap kegiatan yang saya lakukan.
  15. Akhir-akhir ini saya seringkali merasa kurang bergairah atau bersemangat dalam mencapai prestasi.
  16. Saya sering tenggelam dan hanyut dalam masalah yang dihadapi, sehingga merasa tak berdaya untuk melepaskan diri.
  17. Ketika mendapatkan suatu masalah, saya sangat yakin bahwa masalah itu pasti akan berakhir.
  18. Saya melihat bahwa tantangan dan rintangan adalah merupakan sarana belajar untuk mencapai prestasi yang lebih tinggi.
  19. Saya merasa bahwa apa yang saya lakukan selama ini hanyalah perbuatan yang sia-sia belaka.
  20. Saya sering merasa takut dan ragu bila harus elakukan sesuatu yang belum pernah saya lakukan sebelumnya.
  21. Dalam hidup ini saya merasa lebih banyak mendapat kekecewaan dibanding dengan kebahagiaan.
  22. Saya banyak mempunyai teman yang dapat diandalkan, baik ketika sedih maupun ketika senang.
  23. Saya tahu bahwa sebenarnya keadaan saya sekarang ini kurang begitu penting bagi teman-teman.
  24. Saya sering merasa tidak mampu bila diminta tolong untuk memecahkan masalah yang dihadapi oleh teman.
  25. Saya merasa kurang dapat menerima pandangan orang lain yang berbeda pendapat dengan saya.
  26. Saya merasa ragu apakah teman-teman peduli terhadap saya sebagaimana layaknya seorang teman.
  27. Saya dapat mengenali emosi orang lain, hanya dengan memperhatikan mata dan nada suaranya.
  28. Saya jarang sekali terdorong untuk menghibur orang lain yang sedang mengalami musibah.
  29. Saya merasa sulit untuk menjadi seorang pendengar yang baik ketika ada teman yang ingin menumpahkan masalahnya.
  30. Dalam berinteraksi dengan orang lain, saya selalu memperhatikan perasaan orang lain.
  31. Saya dapat mengetahui dan merasakan, bila orang yang dekat dengan saya sedang merasa kesal.
  32. Saya tidak mau jika harus memikirkan masalah-masalah yang dihadapi oleh orang lain.

Rabu, 14 Januari 2009

Why a women more creative than a man?

MENGAPA PEREMPUAN
LEBIH KREATIF DIBANDING LAKI-LAKI?

Oleh:
Dr. Rahmat Aziz, M.Si


Tulisan ini merupakan hasil analisis tambahan pada penelitian penulis yang membandingkan antara laki-laki dan perempuan dalam hal kemampuan berpikir dan menulis kreatif pada siswa sekolah menengah pertama. Jumlah subjek sebanyak 48 siswa yang terdiri dari 32 laki-laki dan 16 perempuan. Pengumpulan data dilakukan dengan tes kemampuan berpikir kreatif dari Torrence dan tes kemampuan menulis kreatif yang dinilai oleh empat orang rater. Hasil analisis menunjukkan bahwa perempuan lebih tinggi tingkat kemampuan pada kedua aspek tersebut dibandingkan dengan laki-laki.


Hasil analisis tentang perbedaan jenis kelamin terhadap kreativitas baik dalam bentuk berpikir kreatif maupun menulis kreatif menyatakan bahwa perempuan cenderung lebih tinggi tingkat kemampuannya dalam kedua bidang kemampuan tersebut dibanding dengan laki-laki dengan perbandingan mean 114,75:107,08 untuk kemampuan berpikir kreatif dan 31,31:21,09 untuk kemampuan menulis kreatif.
Beberapa penelitian yang membandingkan antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai aspek psikologis telah banyak dilakukan dan diperoleh hasil yang cenderung berbeda-beda. Penelitian Aziz (1999) pada 230 siswa SMAN di Yogyakarta menemukan bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal kecerdasan emosional, demikian juga penelitian Prawitasari (1993) yang menemukan bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal mengekspresikan emosi seperti rasa marah, jijik, terkejut, dan lain sebagainya, kecuali dalam mengekspresikan rasa malu. Penelitian Aziz (2007) dalam hal kecerdasan menghadapi tantangan yang dilakukan terhadap 121 orang mahasiswa menemukan tidak adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan baik pada aspek control, origin-ownership, reach maupun endurance.
Penelitian yang menunjukkan adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan telah dilakukan Aziz & Mangestuti (2005) pada 304 mahasiswa yang menemukan bahwa perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki dalam hal tingkat kecerdasan intelektual yang diukur dengan tes Standard Progressive Matrices (SPM) dengan perbandingan mean 127,28:166,80, untuk kecerdasan emosional 88,69:90,93, dan untuk kecerdasan spiritual 78,20:81,30.
Perbandingan dalam hal kreativitas telah dilakukan Munandar (1977) pada siswa sekolah menengah di Indonesia yang menemukan bahwa kreativitas perempuan cenderung lebih tinggi dari laki-laki dengan perbandingan 58% berbanding 42%. Hasil yang sama ditemukan Aziz (2006) yang berdasarkan hasil penelitiannya pada 82 anak yang mempunyai tingkat kreativitas tinggi ternyata lebih banyak diperoleh anak perempuan dibanding laki-laki dengan perbandingan 35 (53%) berbanding 31 (47%).
Cramond, et all (2005) menyatakan bahwa dari berbagai penelitian tentang kreativitas ditemukan adanya hubungan antara perbedaan jenis kelamin dengan tingkat kreativitas baik dalam bentuk kuantitas maupun kualitas. Hasil analisis mereka terhadap jurnal penelitian dari tahun 1958-1998 ditemukan adanya perbedaan baik pada aspek fluency, flexibility, originality, dan elaboration. Perempuan cenderung lebih tinggi pada aspek fluency, originality, dan elaboration, sedangkan pada aspek flexibility laki-laki cenderung lebih tinggi walau perbedaannya tidak terlalu tinggi.
Selanjutnya, perbedaan laki-laki dan perempuan tentang gaya berpikir berdasarkan teori Sternberg tentang tujuh jenis gaya berpikir kreatif telah diteliti Tafti & Babali (2007). Hasil penelitian menunjukkan bahwa gaya berpikir laki-laki lebih bersifat legislatif, liberal, dan global, sedangkan gaya berpikir perempuan lebih bersifat eksekutif, juridis, konservatif, dan lokal.
Beberapa hasil penelitian di atas lebih banyak menunjukkan adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai hal. Prawitasari & Kahn (1985) menjelaskan perbedaan tersebut berdasarkan hasil penelitiannya tentang kepribadian. Mereka menjelaskan bahwa perempuan mempunyai kecenderungan untuk lebih hangat, emosional, sopan, peka, dan mentaati aturan, sedangkan laki-laki cenderung lebih stabil, dominan, dan impulsif.
Adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai aspek psikologis, khususnya dalam kreativitas bisa dipahami dari berbagai sudut pandang. Brizendine (2006) seorang ahli neuropsikiatri dan direktur klinik yang khusus mengkaji fungsi otak perempuan menjelaskan bahwa memang secara struktur ada perbedaan antara otak laki-laki dan perempuan, hal ini berakibat pada perbedaan keduanya dalam cara berpikir, cara memandang sesuatu, cara berkomunikasi, dan lain sebagainya. Penelitian Carlson (Purwati, 1993) menemukan bahwa laki-laki cenderung lebih tinggi dalam orientasi sosial sedangkan perempuan lebih berorientasi personal.
Temuan Sperry seperti yang diungkap oleh (Wycoff, 1991) menjelaskan adanya dua jenis otak pada setiap manusia yaitu otak kanan yang lebih bersifat rasional dan otak kiri yang lebih bersifat irrasional. Pasiak (2003) menjelaskan bahwa cara kerja otak kiri lebih bersifat serial, berurutan, dan sangat mementingkan hal-hal yang bersifat kongkrit dan realistis, sedangkan otak kanan lebih bersifat paralel, tidak berpola, dan mementingkan hal-hal yang bersifat abstrak dan intuitif. Selanjutnya Wycoff (1991) menyatakan bahwa kreativitas muncul dari interaksi antara kedua belahan otak dan otak kiri, walaupun banyak ahli yang menyebutkan bahwa otak kanan lebih berhubungan dengan kreativitas karena cara kerjanya yang bersifat abstrak dan intuitif. Kemampuan berpikir dan menulis kreatif memang lebih merupakan kegiatan yang lebih bersifat personal dan intuitif, karena itu bisa dipahami jika seandainya perempuan mempunyai kemampuan yang lebih tinggi jika dibandingkan laki-laki dalam kedua bidang tersebut, walaupun tentu saja hasil temuan ini masih perlu pengujian empiris yang lebih mendalam dan seksama.
Hasil penelitian lain yang memperlihatkan ketertinggalan laki-laki dibanding perempuan telah ditulis oleh Handayani & Novianto (2004) pada suku Jawa. Dengan metode penelitian kualitatif, mereka berdua menemukan bahwa anak perempuan dan laki-laki Jawa memang dididik secara berbeda. Anak perempuan lebih dididik untuk mengatasi persoalan-persoalan praktis di rumah tangga. Sebaliknya anak laki-laki lebih dibiasakan untuk berorientasi ke luar rumah, bekerja dengan imajinasi, dan cenderung abstrak, sehingga ketika menghadapi problem praktis mereka menjadi kurang taktis. Mereka menjadi kikuk, seperti tidak tahu apa yang harus diperbuat. Bahkan kedua penulis itu mengemukakan bahwa pola asuh yang mengistimewakan anak laki-laki Jawa itu cenderung akan merusak kondisi mentalnya yaitu adanya kemanjaan dan ketergantungan kepada ibu dan saudara perempuan di lingkungan rumahnya. Hal ini bahkan berlanjut sampai dewasa, yaitu laki-laki itu akan kembali bersikap seperti anak sulung pada pasangannya (istri), sehingga suami menjadi semacam bayi tua.
Hasil analisis yang menyatakan adanya perbedaan ini menarik untuk dicermati lebih jauh karena belum ditemukan alasan yang lebih kuat apakah perempuan lebih tinggi dalam hal kreativitas disebabkan karena aspek kodrati yang memang secara struktur biologis mendukung pada tingginya kreativitasnya atau lebih disebabkan karena aspek konstruk yang dibentuk masyarakat yang memang memberikan perlakuan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan?

Daftar Pustaka

Aziz, R. (1999). Hubungan antara kecerdasan emosional dan penyesuaian diri dengan kecenderungan berperilaku delinkuen pada remaja, Tesis, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada

Aziz, R. (2006). Studi tentang kreativitas pada siswa Sekolah Menengah Pertama di kota Malang. Psikoislamika, 3, 2, 239-254

Aziz, R. (2007). Pengaruh kepribadian ulul albab terhadap kecerdasan menghadapi tantangan, Laporan Penelitian, Malang: Lemlitbang Universitas Islam Negeri Malang

Aziz, R., & Mangestuti, R. (2005). Tiga jenis kecerdasan dan agresivitas mahasiswa, Psikologika, 21, 11, 64-77

Brizendine, L. (2006). Female Brain, New York: Morgan Road Books

Cramond, B., Morgan, J.M., Bandalos, D., & Zuo, L. (2005). A report on the 40-year follow-up of the Torrence tests of creative thinking: Alive and Well in the new millennium, Gifted Child Quarterly, 49, 4, 283-291

Handayani, C.S. & Novianto, A. (2004). Kuasa wanita Jawa. Yogyakarta: LkiS.

Munandar, S.C.U. (1977). Creativity and education, Jakarta: Dirjen Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan

Munandar, S.C.U. (1999). Kreativitas dan Keberbakatan, Strategi Mewujudkan Potensi Kreatif dan Bakat, Jakarta: Gramedia

Prawitasari, J.E. (1993). Apakah wanita lebih peka daripada pria dalam mengartikan emosi dasar manusia?, Jurnal Psikologi, 1, 14-22

Prawitasari, J.E., & Kahn, M.W. (1985). Personality differences and sex similarities in American and Indonesian college students, The Journal of Social Psychology, 124, 703-708

Purwati, (1993). Hubungan antara pola asuh orangtua dengan penyesuaian diri remaja, Tesis, Yogyakarta: Program Pascasarjana Psikologi Universitas Gadjah Mada

Tafti, M.A., & Babali, F. (2007). A study of compatibility of thinking styles with field of studies and creativity of university students, ABR & TLC Conference Proceedings, Hawaii, 1-5

Wycoff, J. (1991). Mindmapping: Your Personal Guide to Exploring Creativity and Problem Solving, New York: Berkley Book