My Family

Kamis, 28 Agustus 2008

Model pembelajaran Synectics

SYNECTICS:

MODEL PEMBELAJARAN ALTERNATIF DALAM

MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN BERFIKIR KREATIF


Oleh:

Rahmat Aziz, M.Si§


Dipublikasikan pada jurnal:

El-hikmah, Jurnal Pendidikan dan keagamaan,
5, 2, Januari-Juni, 2008

Abstract

This article discussed about synectics models of teaching as the alternative to develope creative thinking in the classroom. Synectics is a models of teaching using direct , personal, and compressed conplict analogy to develope imagination and creative problem solving.

Key word: Synectics, creative thinking

a. Pengantar

Kreativitas merupakan aspek yang sangat berharga dalam setiap usaha manusia, sebab melalui kreativitas akan dapat ditemukan dan dihasilkan berbagai pemikiran, teori, pendekatan, dan cara baru yang sangat bermanfaat bagi kehidupan. Tanpa adanya kreativitas, kehidupan akan lebih merupakan suatu yang bersifat pengulangan terhadap pola-pola yang sama[1].

Kreativitas dapat dipahami dengan pendekatan process, product, person, dan press[2], namun pengukuran yang banyak dilakukan para ahli hanya dapat dilakukan pada ketiga aspek,[3] sedangkan aspek terakhir lebih pada bagaimana usaha untuk menciptakan lingkungan yang mendukung pada pengembangan kreativitas baik di lingkungan masyarakat, keluarga, maupun sekolah[4]. Lingkungan sekolah merupakan aspek yang sangat strategis dalam mengembangkan kreativitas siswa karena dari pagi sampai siang siswa berada di sekolah, bahkan banyak sekolah-sekolah yang menyelenggarakan kegiatan pendidikannya sampai sore.

Kenyataan yang ada, pendidikan di Indonesia saat ini lebih berorientasi pada hasil yang bersifat pengulangan, penghapalan, dan pencarian satu jawaban yang benar terhadap soal-soal yang diberikan. Proses-proses pemikiran tingkat tinggi termasuk berfikir kreatif jarang sekali dilatihkan[5]. Selain itu, salah satu faktor yang diduga menjadi penyebabnya rendahnya tingkat kreativitas adalah proses pembelajaran yang kurang variatif. Pendapat serupa telah dikemukakan oleh Lie[6] yang menyatakan bahwa model pembelajaran di Indonesia lebih berorientasi pada pengajaran yang bersifat satu arah, verbalistik, monoton, dan hapalan.

Pendapat-pendapat di atas menggambarkan bahwa pendidikan saat ini kurang mengapresiasi kreativitas, padahal kreativitas dan kecerdasan intelektual mempunyai peranan yang sama dalam mencapai keberhasilan dalam belajar. Penelitian awal tentang kemampuan berfikir kreatif di Indonesia telah lama dilakukan Munandar terhadap siswa SD dan SMP yang menemukan bahwa kreativitas dan Inteligensi sama absahnya dalam memprediksi prestasi belajar. Jika efek inteligensi di eliminasi, pengaruh kreativitas tetap substansial, namun kombinasi kreativitas dan inteligensi lebih efektif sebagai prediktor bagi tinggi rendahnya prestasi belajar[7].

Saat ini kebutuhan akan pengembangan kreativitas dirasakan sudah sangat mendesak karena kreativitas sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan pribadi, dan sangat vital untuk pembangunan Indonesia, sehubungan dengan itu peranan orangtua, guru, dan masyarakat sangat menentukan bagi keberhasilan pembinaan dan pengembangan kreativitas siswa, karena kreativitas merupakan suatu potensi yang tidak akan berkembang bila siswa tidak berada dalam lingkungan yang kondusif.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengembangan kreativitas menjadi suatu keniscayaan untuk segera dilakukan dan pada konteks inilah pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis dalam pengembangan kreativitas siswa. Tujuan pendidikan pada hakekatnya adalah menyediakan lingkungan yang memungkinkan peserta didik untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya secara optimal sesuai dengan kebutuhan pribadi dan masyarakat sekitarnya, karena itu pendidikan bertanggung jawab untuk memandu dan mengembangkan kreativitas yang dimiliki siswa.

Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal seharusnya menjadi tempat bagi pengembangan kreativitas siswa. Faktanya, saat ini sekolah masih belum mampu menciptakan suasana yang mendukung pada kemungkinan bagi siswa untuk kreatif, imaginatif dan mandiri. Keadaan seperti ini menjadi keluhan bagi berbagai pihak. Dalam praktik pembelajaran di kelas, metode yang sering digunakan adalah metode ceramah yang oleh Joni[8] disinyalir tidak akan menghasilkan sumber daya manusia berkualitas yang pada gilirannya tidak akan mampu bersaing baik dalam skala lokal maupun global.

Berdasarkan uraian di atas, diperlukan suatu perbaikan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan yang berorientasi pada siswa (student oriented). Perbaikan yang dimaksud berupa cara guru menyampaikan pelajaran yang mampu memberikan perbaikan terhadap kualitas hasil pembelajaran. Bentuk perbaikan pembelajaran yang dimaksud harus mampu mengembangkan pengetahuan dan pemahaman yang dibentuk melalui berbagai bentuk kajian, ketrampilan intelektual, sosial, dan psikomotorik siswa yang diperoleh melalui aplikasi keahlian, dan sikap serta internalisasi nilai yang diperoleh melalui penghayatan secara integral yang pada gilirannya mampu meningkatkan kreativitas siswa, baik dalam bentuk kemampuan berfikir maupun menulis kreatif.

Pemilihan model pembelajaran harus dilandaskan pada pertimbangan menempatkan siswa sebagai subjek belajar yang tidak hanya menerima secara pasif apa yang disampaikan oleh guru. Guru harus menempatkan siswanya sebagai insan yang secara alami memiliki pengalaman, pengetahuan, keinginan, dan pikiran yang dapat dimanfaatkan untuk belajar, baik secara individual maupun berkelompok. Model pembelajaran yang dipilih dan dipergunakan oleh guru adalah model yang dapat membuat siswa aktif mampu mengembangkan kreativitas sesuai dengan potensi yang dimiliki siswa. Salah satu model pembelajaran yang dikategorikan sesuai dengan model tersebut adalah model synectics[9]. Tulisan ini berusaha untuk mengkaji tentang model pembelajaran synectics sebagai salah satu model pembelajaran dalam mengembangkan kemampuan berfikir kreatif.

b. Kemampuan berfikir kreatif

Guilford salah seorang ahli psikologi mantan ketua APA (American Psychological Association) menyatakan bahwa kemampuan seseorang dalam memecahkan masalah terbagi pada dua jenis yaitu dengan berfikir kritis (konvergen) yang cenderung menginginkan jawaban tunggal yang paling benar, atau dengan cara berfikir kreatif (divergen) yaitu suatu kemampuan untuk memberikan jawaban dengan berbagai alternatif.

Guilford[10] menyebutkan adanya tujuh karakteritik dari kreativitas yaitu kepekaan terhadap masalah, kelancaran, kefleksibelan, keaslian, kemampuan menganalisis, kemampuan melakukan sintesis, dan kemampuan untuk meredifinisi sesuatu. Namun, pada perkembangan selanjutnya, Guilford menyebutkan hanya ada tiga ciri penting yaitu kelancaran, kefleksibelan, dan keaslian. Baru pada tahun-tahun berikutnya, ia menambahkan adanya satu ciri lagi berupa kemampuan mengelaborasi. Untuk mengukur kemampuan-kemampuan tersebut, ia mengembangkan alat ukur yang disebut dengan tes berfikir divergen[11]. Namun, ternyata tes tersebut dianggap hanya mengukur kemampuan subjek untuk kreatif, bukan mengukur kreativitasnya.

Banyak ahli yang kemudian mengkritisi dan berusaha memperbaiki tes tersebut, diantaranya adalah Torrence[12] yang berdasarkan keempat ciri tersebut kemudian mengembangkan test berfikir kreatif (Torrence Test of Creative Thinking) yang mampu mengungkap kelancaran, kefleksibelan, keaslian, dan elaborasi, walaupun beberapa hasil temuan menunjukkan bahwa diantara keempat ciri tersebut ternyata aspek elaborasi tidak berkorelasi tinggi dengan ketiga ciri yang lain.

Selanjutnya, Baer[13] menjelaskan mengenai empat kriteria berfikir kreatif yaitu: 1) fluency yang diartikan sebagai kelancaran dalam kata, mengemukakan gagasan, menghubungkan sesuatu, dan berekspresi. Kelancaran ini merujuk pada kemampuan untuk mengemukakan banyaknya gagasan; 2) flexibility diartikan sebagai kemampuan untuk menghasilkan gagasan yang bervariasi; 3) originality diartikan sebagai kemampuan untuk menghasilkan gagasan yang tidak biasa, dan 4) elaboration diartikan sebagai kemampuan untuk mengembangkan gagasan dan merincinya secara detail.

c. Model Pembelajaran Synectics

Istilah synectics diambil dari bahasa Yunani, yang merupakan gabungan kata syn berarti menggabungkan dan ectics berarti unsur yang berbeda. Dalam dunia keilmuan, synectics biasanya berhubungan dengan kreativitas dan pemecahan masalah, selain itu juga berhubungan dengan dinamika kelompok dalam latihan berfikir. Pada awalnya, synectics dikembangkan dalam dunia Industri namun dalam perkembangannya ternyata sukses diterapkan dalam dunia pendidikan dan dikenal sebagai salah satu model pembelajaran yang efektif untuk mengembangkan kreativitas.

Synetics dikembangkan oleh William Gordon dan merupakan model pembelajaran yang menggunakan analogi untuk mengembangkan kemampuan berfikir dari berbagai sudut pandang. Analogi dianggap mampu mengembangkan kreativitas karena dalam analogi ada usaha untuk menghubungkan antara apa yang sudah diketahui dengan apa yang ingin dipahami.[14] Ada tiga jenis analogi yang digunakan dalam model pembelajaran synectics, yaitu:

1. Analogi langsung yaitu kegiatan perbandingan sederhana antara dua objek atau gagasan, dalam pembandingan ini dua objek yang dibandingkan tidak harus sama dalam semua aspek, karena tujuan sebanarnya adalah untuk mentranformasikan kondisi objek atau situasi masalah nyata pada situasi masalah lain sehingga terbentuk suatu cara pandang baru. Pada analogi ini siswa diminta untuk menemukan situasi masalah yang sejajar dengan situasi kehidupan nyata. Misalnya bagaimana cara untuk memindahkan perabot yang berat kedalam ruang kelas, bisa dianalogikan dengan bagaimana cara hewan membawa anak-anaknya. Untuk melihat efektifitas suatu analogi langsung dilihat dari jarak konseptualnya, semakin jauh jarak konseptualnya, maka semakin tinggi skor analoginya.

2. Analogi personal yaitu kegiatan untuk melakukan analogi antara objek analogi dengan dirinya sendiri. Pada analogi ini siswa diminta menempatkan dirinya sebagai objek itu sendiri. Untuk melihat efektivitas analogi personal bisa dilihat dari banyaknya ungkapan yang dikemukakan, semakin banyak ungkapan yang dikemukakan maka semakin tinggi skor analogi personalnya. Dalam kegiatan membuat analogi personal, siswa melibatkan dirinya sebagai objek atau gagasan yang dibandingkan. Misalnya siswa disuruh untuk membandingkan dirinya dengan sebuah mesin, kemudian ditanyakan bagaimana perasaannya seandainya itu terjadi? Apa yang dirasakan seandainya mesin itu dihidupkan? Dan kapan kira-kira akan berhenti? Tujuan kegiatan ini adalah untuk mengarahkan jarak konseptual terbentuk dengan baik, semakin besar jarak konseptual maka akan semakin besar kemungkinan diperoleh gagasan baru. Menurut Gordon[15] jarak konseptual bisa dilihat dari adanya keterlibatan dalam proses analogi. Selanjutnya dijelaskan adanya empat keterlibatan yang mungkin terjadi ketika melakukan analogi, yaitu:

a. Keterlibatan terhadap fakta yaitu proses analogi terhadap fakta yang dikenal tanpa menggunakan cara pandang baru dan tanpa keterlibatan empati, misalnya: seandainya saya menjadi mesin maka saya merasa panas.

b. Keterlibatan dengan emosi yaitu proses analogi dengan melibatkan unsur emosi, misalnya: seandainya saya menjadi mesin maka saya menjadi kuat.

c. Keterlibatan dengan empati pada benda-benda hidup yaitu proses analogi dengan melibatkan emosi dan kinestetik pada objek analogi, misalnya: seandainya saya menjadi mobil, saya merasa seperti sedang mengikuti lomba balapan, dan saya jadi tergesa-gesa.

d. Keterlibatan dengan empati pada benda-benda mati yaitu proses analogi dengan menempatkan diri subjek sebagai suatu objek anorganik dan mencoba memperluas masalah dari pandangan simpati, misalnya, seandainya saya menjadi mesin, saya tidak tahu kapan harus berjalan dan kapan harus berhenti. Seseorang akan bekerja untuk saya.

3. Analogi konflik yang ditekan yaitu kegiatan untuk mengkombinasikan titik pandang yang berbeda terhadap suatu objek sehingga terlihat dari dua kerangka acuan yang berbeda. Hasil kegiatan ini berupa deskripsi tentang suatu objek atau gagasan berdasarkan dua kata atau frase yang kontradiktif, mislnya: bagaimana komputer itu dianggap sebagai pemberani atau penakut? Bagaimanakah mesin mobil dapat tertawa atau marah? Tujuan kegiatan ini adalah untuk memperluas pemahaman tentang gagasan-gagasan baru dan untuk memaksimalkan unsur kejutan, karena itu maka kegiatan analogi ini dianggap sebagai kegiatan mental tingkat tinggi. Pada analogi ini siswa diminta diminta menyebutkan suatu objek secara berpasangan. Semakin banyak pasangan yang disebutkan, semakin tinggi skor yang diperoleh. Berdasarkan pasangan kata tersebut, siswa diharapkan mengemukakan objek sebanyak-banyaknya yang bersifat kontaradiktif, kemudian diminta menjelaskan mengapa benda tersebut bersifat kontradiktif.

d. Penerapan Synectics dalam Pembelajaran

Synectics sebagai salah satu model pembelajaran mempunyai beberapa keuntungan, diantaranya adalah 1) mampu meningkatkan kemampuan untuk hidup dalam suasana yang kompleks dan menghargai adanya perbedaan; 2) mampu merangsang kemampuan berfikir kreatif; 3) mampu mengaktifkan kedua belahan otak; 4) mampu memunculkan adanya pemikiran baru. Selain itu, kelebihan dari metode synectics yang lainnya adalah bisa dikombinasi dengan model yang lain.[16]

Pada proses yang terjadi dalam synectics, seseorang mampu mengatasi hambatan mental yang membelenggunya, selain itu kemampuan berfikir divergen dan kemampuan untuk memecahkan masalah akan terus berkembang[17]. Selanjutnya ia menjelaskan strategi yang harus dilalui ketika membuat sesuatu yang asing menjadi lazim atau membuat yang lazim menjadi asing yaitu: 1) Mendefinisikan atau menggambarkan situasi saat ini atau masalah yang sedang dihadapi; 2) menulis gagasan tentang analogi langsung; 3) menulis reaksi terhadap hasil analogi langsung; 4) mengeksplorasi sesuatu yang menjadi konfliks; 5) membuat analogi langsung yang baru; dan 6) mengujinya dalam situasi yang nyata.

Selanjutnya, ia juga menjelaskan tentang strategi tersebut dalam praktek pembelajaran yang dalam prakteknya terbagi menjadi tujuh tahapan yaitu: 1) Masukan substansial yaitu guru mengemukakan permasalahan pada siswa untuk diselesaikan; 2) Pembuatan analogi langsung dengan cara guru menyuruh siswa untuk membuat analogi langsung dan siswa melakukannya; 3) Guru mengidentifikasi hasil analogi yang telah dibuat siswa; 4) Siswa menjelaskan kemiripan antara sesuatu yang asing dengan yang lazim; 5) Siswa menjelaskan perbedaan antara sesuatu yang asing dengan yang lazim; 6) Siswa mengeksplorasi topik yang bersifat original; dan 7) Siswa menghasilkan suatu produk melalui analogi langsung.

Penerapan synectics dalam pembelajaran menurut Joyce[18] seharusnya menganut tiga prinsip yaitu: 1) Prinsip reaksi mengacu pada respon guru terhadap siswanya. Diharapkan guru menerima semua respon siswa apapun bentuknya dan menjamin bahwa hal tersebut seolah-olah merupakan ungkapan kreatif siswa, akan tetapi melalui pertanyaan evokatif, guru dapat menstimulasi lebih lanjut kemampuan berfikir kreatifnya; 2) Sistem sosial mendeskripsikan peranan dan hubungan antara guru dan siswa serta mendeskripsikan jenis norma yang disarankan. Sistem sosial dalam synectics terstruktur secara moderat, yang dalam praktiknya berupa guru mengawali dan mengarahkan siswa untuk memecahkan masalah melalui analogi, mengembangkan kebebasan intelektual, dan memberikan reward yang nantinya akan menjadi kepuasan internal siswa yang diperoleh dari pengalaman belajar; dan 3) Sistem pendukung mengacu pada kebutuhan yang diperlukan untuk implementasi. Sistem pendukung dalam kegiatan synectics terdiri dari pengalaman guru tentang kegiatan synectics, lingkungan yang nyaman, laboratorium, atau sumber belajar lainnya.

e. Kesimpulan

Pendidikan pada dasarnya adalah suatu usaha untuk mengembangkan peserta didik selah sacara optimal sesuai dengan potensinya. Salah satu potensi yang mendesak untuk dikembangkan adalah kemampuan berfikir kreatif dan salah satu cara yang bisa dilakukan guru adalah dengan menggunakan synectics sebagai model dalam mengajar. Synectics adalah model pembelajaran yang menggunakan analogi langsung, analogi personal, dan analogi compressed konflik yang tujuannya adalah untuk mengembangkan imajinasi dan memperluas wawasan dalam melihat suatu masalah.

Terdapat beberapa temuan penelitian yang membuktikan bahwa synectics efektif dalam mengembangkan kemampuan berfikir kreatif siswa, karena itu penggunaan synectics dalam pembelajaran perlu dilakukan sebagai salah satu alternative dalam mengembangkan kemampuan berfikir kreatif siswa.


§ Penulis adalah dosen fakultas psikologi Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, kandidat Doktor dalam bidang Psikologi Pendidikan dari Universitas Negeri Malang.


End Note:

[1] Sternberg, R., 1992, Cognitive Approach to Intelligence, In B.B Wolman (Eds), Handbook of Intelligence: Theories, Measurement, And Application, New York: John Willey and Sons

[2] Torrence, E.P., 1995, Education and the Creative Potential, Minneapolis: University of Minnoseta Press

[3] Salsedo, J., 2006, Using implicit and explicit theories of creativity to develop a personality measure for assessing creativity, Dissertation, New York: Department of Psychology at Fordham University

[4] Vidal, R., 2005, Creativity For Operational Researchers, Investigacao Operacional, 25. 1-24

[5] Joni, R, 1992,. Memicu Perbaikan Pendidikan melalui Kurikulum. Basis, Nomor. 07-08

[6] Lie, A. 2004. Cooperative Learning, Memperaktikkan Cooperative Learning di Ruang-ruang Kelas. Jakarta: Gramedia

[7] Munandar, S.C.U., 1977, Creativity and education, Jakarta: Dirjen Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan

[8] Ibid 5

[9] Joyce, M., & Weil, J., 2000, Models of Teaching, Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc.,

[10] Guilford, J.P., 1959, Creativity, Its Measurement and development, In A Source Book For Creative Thinking, Edited by Parnes, New York: Charles Scribner`s Sons

[11] Guilford, J.P., 1967, The Nature of Human Intelligence, New York: McGraw-Hill

[12] Torrence, E.P., 1981, Thinking Creatively in Action and Movement, Benselville: Scholastics Testing Service

[13] Baer, J., 1993, Craetivity and Divergent Thinking, a Task-Specipic Approach, Hilsdale, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publishers

[14] Kleiner, C.S., 1991, The Effect of Synectics Training on Student s` Creatativity And Achievement in Science, Dissertation, San Diego: Graduate Faculty of The School of Education, United States International University

[15] Ibid 9

[16] Instructional Strategies Online, 2004, Synectics, Saskatoon Public School Division, http.www. synectics

[17] Hummel, L, 2006, Synectics for Creative Thinking in Technology Education, The Technology Teacher, 66, 3, 22-27

[18] Ibid 9

DAFTAR PUSTAKA

Guilford, J.P., 1959, Creativity, Its Measurement and development, In A Source Book For Creative Thinking, Edited by Parnes, New York: Charles Scribner`s Sons

Guilford, J.P., 1967, The Nature of Human Intelligence, New York: McGraw-Hill

Hummel, L, 2006, Synectics for Creative Thinking in Technology Education, The Technology Teacher, 66, 3, 22-27

Instructional Strategies Online, 2004, Synectics, Saskatoon Public School Division, http.www. synectics.

Joni, R, 1992,. Memicu Perbaikan Pendidikan melalui Kurikulum. Basis, Nomor. 07-08

Joyce, M., & Weil, J., 2000, Models of Teaching, Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc.,

Kleiner, C.S., 1991, The Effect of Synectics Training on Student s` Creatativity And Achievement in Science, Dissertation, San Diego: Graduate Faculty of The School of Education, United States International University

Lie, A. 2004. Cooperative Learning, Memperaktikkan Cooperative Learning di Ruang-ruang Kelas. Jakarta: Gramedia

Munandar, S.C.U, 1999, Kreativitas dan Keberbakatan, Strategi Mewujudkan Potensi Kreatif dan Bakat, Jakarta: Gramedia

Munandar, S.C.U., 1977, Creativity and education, Jakarta: Dirjen Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan

Salsedo, J., 2006, Using implicit and explicit theories of creativity to develop a personality measure for assessing creativity, Dissertation, New York: Department of Psychology at Fordham University

Sternberg, R., 1992, Cognitive Approach to Intelligence, In B.B Wolman (Eds), Handbook of Intelligence: Theories, Measurement, And Application, New York: John Willey and Sons

Sternberg, R.J., & Lubart, T.I., 1995, Defying The Crowd, Cultivating Creativity in a Cultural of Conformity, New York: A Division of Simon & Schuster Inc.

Torrence, E.P., 1981, Thinking Creatively in Action and Movement, Benselville: Scholastics Testing Service

Torrence, E.P., 1995, Education and the Creative Potential, Minneapolis: University of Minnoseta Press

Vidal, R., 2005, Creativity For Operational Researchers, Investigacao Operacional, 25. 1-24

Rabu, 27 Agustus 2008

Kepribadian Ulul Albab

PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN ULUL ALBAB

PADA MAHASISWA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MALANG


Oleh:

Rahmat Aziz, M.Si

(Fakultas Psikologi UIN Malang)


dipublikasikan pada jurnal

Progressiva, Jurnal pemikiran dan Pendidikan Islam,

2, 1, 307-322, Januari-Juni, 2007

Abstract

The purpose of this study was to discussed about ulul albab education programmed on Islamic State University of Malang. The samples was 284 of undergraduate of Islamic State University of Malang. The result showed that Ulul Albab personality of subject was high.

Key word:

Personality, Ulul Albab

A. Pendahuluan

Dalam praktik pendidikan, kegiatan pendidikan harus dijalankan berdasarkan sebuah konsep yang dapat dipahami dan dijadikan acuan oleh semua komponen yang terlibat di dalamnya. Konsep pendidikan yang dimaksud itu menyangkut dasar filosofis, arah yang ingin diraih, kualitas produk yang diidealkan, karakteristik komponen pendidikan, serta berbagai pendukung yang diperlukan. Kejelasan konsep tersebut berfungsi sebagai penunjuk arah seluruh kegiatan yang dikembangkan dan sekaligus dijadikan sebagai pemersatu, sumber inspirasi dan kekuatan penggerak bagi semua komponen pendidikan yang ada.

Universitas Islam Negeri Malang sebagai sebuah perguruan tinggi Islam mengembangkan konsep Ulul Albab yang dalam praktiknya dikembangkan menjadi tiga bentuk perilaku ideal yaitu dzikir, fikr, dan amal. Konsep Ulul Albab tersebut diharapkan bisa memberikan penjelasan tentang filosofi, identitas, arah yang ingin dicapai, budaya, pendekatan yang dikembangkan serta hal lain yang dipandang penting agar perguruan tinggi Islam ini dikenal secara mendalam, baik oleh warganya sendiri maupun pihak lain (Suprayogo: 2004).

Mahasiswa Universitas Islam Negeri Malang adalah peserta didik yang diharapkan mampu menjadi sosok manusia Ulul Albab yaitu manusia yang mampu mengedapankan dzikir, fikir, dan amal shaleh. Dalam konteks pendidikan di Universitas Islam Negeri Malang, maka lulusan yang diharapkan terwujud dari para mahasiswa adalah mereka mempunyai empat pilar kekuatan dalam menjalani kehidupanya. Keempat pilar tesebut adalah kedalaman spiritual, keagungan akhlak, keluasan ilmu, dan kematangan profesional.

Universitas Islam Negeri (UIN) Malang mengembangkan konsep pendidikan berupa penggabungan antara tradisi pesantren (ma’had) dan tradisi perguruan tinggi. Hal ini didasari anggapan bahwa pesantren telah lama dikenal sebagai wahana yang berhasil melahirkan manusia-manusia yang mengedepankan dzikir, fikr, dan amal shaleh, sedangkan perguruan tinggi dikenal mampu melahirkan manusia fikr, kemudian atas dasar kedua kekuatan itulah akhirnya menimbulkan manusia yang beramal shaleh (Suprayogo: 2004).

Fenomena yang ada pada saat ini, Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Malang yang diharapkan tampil sebagai calon pemimpin umat dan diharapkan tampil sebagai sosok intelektual yang ulama dan ulama yang intelek dan profesional, ternyata masih belum sepenuhnya tercapai. Hal ini bisa dilihat dari adanya beberapa perilaku mahasiswa yang belum sesuai dengan ajaran-ajaran islam misalnya tidak menghargai dosennya, bersikap arogan, berkencan dengan yang bukan muhrimnya, dan lain sebagainya. Penelitian mendukung anggapan seperti diatas telah dilakukan oleh Yuniarti (2003) dan Penelitian lainnya dilakukan oleh Aziz & Mangestuti (2006).

Fenomena yang menggembirakan bisa dilihat dari adanya beberapa mahasiswa di hampir setiap fakultas di Universitas Islam Negeri Malang yang mampu berprestasi di tingkat nasional (Gema: 2005), selain itu banyak mahasiswa yang mampu berperan aktif di lingkungan sosialnya misalnya menjadi khatib, menjadi guru, menjadi wiraswastawan, dan lain sebagainya yang semuanya itu menunjukkan adanya ketercapaian pribadi Ulul Albab pada mahasiswa sesuai dengan yang diharapkan. Hanya saja, untuk mengetahui sejauhmana tingkat ketercapaiannya dalam bentuk data tertulis masih belum didapatkan, karena itu berdasarkan uraian diatas penulis menganggap penting mengetahui tingkat ketercapaian kepribadian Ulul Albab dalam proses pendidikan yang dilaksanakan, mengingat sampai saat ini belum ada penelitian yang khusus mengevaluasi sejauhmana keberhasilan program pendidikan dalam membentuk pribadi Ulul Albab di Universitas Islam Negeri Malang.

Berdasarkan uraian diatas maka rumusan masalah yang ingin diperoleh jawabannya dalam penelitian ini adalah sejauhmana tingkat ketercapaian proses pendidikan dalam membentuk pribadi Ulul Albab dan faktor apakah yang menjadi pendukung bagi pengembangan ulul albab pada mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Malang?

B. Kajian teori

Istilah kepribadian merupakan terjemahan dari kata personality yang diambil dari bahasa inggris. Akar kata tersebut berasal dari kata latin persona yang berarti topeng, yaitu topeng yang dipakai oleh aktor drama atau sandiwara ketika memainkan perannya (Suryabrata: 1990). Dalam bahasa arab, istilah kepribadian ekuivalen dengan kata syakhsiyyah. Selain itu dalam bahasa arab juga dikenal istilah huwiyah, dzatiyah, nafsiyah, aniyyah, dan khuluqiyyah. Menurut Mujib (2006) istilah diatas meskipun mempunyai kemiripan makna dengan kata syakhsiyyah tapi masing-masing memiliki keunikan makna masing-masing.

Selanjutnya kelima kata diatas bisa dijelaskan sebagai berikut: 1) kata huwiyah berasal dari kata huwa (dia) sehingga maknanya lebih menunjukkan pada al-fardiyah yang dalam istilah psikologi ekuivalen dengan individuality; 2) kata ananiyyah berasal dari kata ana (saya) maknanya sama dengan kata huwiyah, perbedaannya terletak pada penggunaannya. Perbedaan kata tersebut adalah kata huwiyah menunjukkan diri sebagai objek sedangkan kata ananiyyah menunjukkan diri sebagai subjek; 3) kata dzatiyyah memiliki arti kecenderungan individu pada dirinya sendiri yang berasal dari substansinya; 4) kata nafsiyyah berasal dari kata nafs yang berarti pribadi; dan 5) kata khuluqiyyah diambil dari kata khuluq yang berarti akhlak atau diartikan sebagai karakter, kecenderungan, dan konstitusi moral.

Kata yang paling tepat untuk mengartikan istilah kepribadian (personality) adalah syaksiyyah yang berasal dari kata syakhs yang berarti pribadi. Kata tersebut kemudian diberi ya nisbah sehingga menjadi kata benda buatan (mashdar syina`i) sehingga bentuk lengkapnya menjadi syahksiyyah yang diterjemahkan menjadi kepribadian. Dalam bahasa arab modern kata inilah yang dimaksud dengan kepribadian.

Dalam Istilah psikologi memang ada dua kata yang erat kaitannya dengan istilah personality diantaranya adalah kata identity dan individuality. Dalam kamus psikologi yang dikarang oleh Chaplin (1989) ditemukan adanya perbedaan makna antara kedua kata tersebut. Kata identity berarti diri atau aku-nya individu. Tegasnya menunjukkan suatu kondisi kesamaan dalam sifat-sifat karakteristik yang pokok, sedangkan kata individuality menunjukkan segala sesuatu yang menunjukkan individu perbedaan individu yang satu dengan individu yang lain.

Dari uraian diatas, maka bisa dipahami bahwa yang dimaksud dengan kepribadian pada penelitian ini lebih menunjukkan pada satu karakteristik individu baik berupa sifat, sikap, ataupun kecenderungan perilaku tertentu yang mampu menjadi pembeda antara individu yang satu dengan individu lainnya. Dengan demikian, yang dimaksud pribadi Ulul Albab adalah suatu jenis kepribadian yang memiliki karakteristik tertentu sebagai seorang Ulul Albab. Karakteristik yang dimaksud adalah kedalaman spiritual, keagungan akhlak, kematangan profesional, dan keluasan ilmu.

Istilah Ulul Albab diambil dari bahasa Al-Quran sehingga untuk memahaminya diperlukan kajian terhadap nash-nash yang berbicara tentang Ulul Albab, karena itu agar diperoleh pemahaman yang utuh mengenai istilah tersebut, maka diperlukaan kajian mendalam terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan Ulul Albab, baik dari segi lughawi (bahasa) maupun dari kandungan makna yang dibangun dari pemahaman terhadap pesan, kesan, dan keserasian (munasabah) antara ayat yang satu dengan ayat-ayat sebelumnya.

Shihab (1993) seorang ahli tafsir di Indonesia menjelaskan bahwa kata Albab adalah bentuk jamak dari kata lubb yang berarti saripati sesuatu. Kacang misalnya, memiliki kulit yang menutupi isinya, maka isi kacang itulah yang disebut dengan lubb. Dengan demikian, Ulul Albab adalah orang-orang yang memiliki akal yang murni, yang tidak diselubungi oleh kulit atau kabut ide yang dapat melahirkan kerancuan dalam berfikir sebagaimana terungkap dalam Al-Quran Surat Ali Imron ayat 190-191. Dalam kaitannya dengan Al-Quran surat Ali Imron ayat diatas, ia menjelaskan bahwa orang yang berdzikir dan berfikir (secara murni) atau merenungkan tentang fenomena alam raya, maka akan dapat sampai pada bukti yang sangat nyata tentang keesaan dan kekuasaan Allah.

Penjelasan lain tentang istilah Ulul Albab bisa dipahami dari uraian Baharudin (2004) yang menjelaskan bahwa kata albab berasal dari kata l-b-b yang membentuk kata Allubb yang artinya otak atau fikiran (intelek). Albab disini bukan mengandung arti otak atau fikiran banyak orang, melainkan hanya dimiliki oleh beberapa orang saja. Dengan demikian, Ulul Albab artinya orang yang memiliki otak berlapis-lapis dan sekaligus memiliki perasaan yang peka terhadap sekitarnya. Jika kata tersebut diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan istilah cendikiawan maka Ulul Albab bisa diartikan sebagai seorang cendikiawan yang memiliki berbagai kualitas baik dari segi intelektual, emosional, maupun perilaku keseharian.

Menurut Saefudin (1987) Ulul Albab adalah pemikir atau intelektual yang memiliki ketajaman analisis terhadap gejala dan proses alamiah dengan metode ilmiah deduktif dan induktif, serta intelektual yang membangun kepribadiannya dengan dzikir dalam keadaan dan situasi apapun, sehingga mampu memanfaatkan gejala, proses, dan sarana alamiah ini untuk kemaslahatan dan kebahagiaan seluruh umat manusia. Dari uraian-uraian diatas, bisa disimpulkan bahwa pribadi ulul albab bisa diterjemahkan sebagai sosok ideal yang dicirikan adanya keserasian antara ilmu dan amal shaleh.

Muhaimin (2003) yang berdasarkan hasil kajian terhadap istilah “Ulul Albab”, sebagaimana terkandung dalam 16 ayat al-Quran, ditemukan adanya 16 ciri khusus yang selanjutnya diperas ke dalam 5 (lima) ciri utama, yaitu: (1) Selalu sadar akan kehadiran Tuhan disertai dengan kemampuan menggunakan potensi kalbu (dzikir), dan akal (pikir) sehingga sampai pada keyakinan adanya keagungan Allah swt dalam segala ciptaannya; (2) Tidak takut kepada siapapun kecuali kepada Allah swt, mampu membedakan dan memilih antara yang baik dan yang jelek; (3) Mementingkan kualitas hidup baik dalam keyakinan, ucapan maupun perbuatan, sabar dan tahan uji; (4) Bersungguh-sungguh dan kritis dalam menggali ilmu pengetahuan; (5) Bersedia menyampaikan ilmunya kepada masyarakat dan terpanggil hatinya untuk ikut memecahkan problem yang dihadapi masyarakat.

Selanjutnya, dikatakan bahwa sejalan dengan visi misi Universitas Islam Negeri Malang, maka ciri insan Ulul Albab yang pertama dan kedua di atas adalah bertujuan untuk mewujudkan kekokohan akidah dan kedalaman spiritual, sedangkan ciri yang ketiga adalah untuk mewujudkan keagungan akhlak, sementara ciri yang keempat adalah untuk mewujudkan keluasan ilmu, dan ciri kelima adalah untuk mewujudkan kematangan profesional. Penulis berpendapat bahwa yang dimaksud dengan pribadi ulul albab adalah orang yang mempunyai empat kriteria utama yaitu kedalaman spiritual, keagungan akhlak, keluasan ilmu, dan kematangan profesional, karena ciri kekokohan akidah sudah terangkum pada aspek kedalaman spiritual.

Dari uraian-uraian diatas, menurut penulis yang bisa dijadikan sebagai landasan teori yang akan dikembangkan menjadi bentuk operasional suatu alat ukur adalah konsep Ulul Albab yang ditandai adanya empat kekuatan yaitu:

1. Kedalaman spiritual yaitu kemampuan dalam memaknai kehidupan dan berperilaku yang didasari dengan adanya semangat spiritual. Kemampuan ini dicirikan dengan adanya kesadaran terhadap kehadiran Allah, kemampuan untuk mengagumi ciptaan Allah, rasa takut hanya oleh Allah.

2. Keagungan akhlak yaitu kemampuan individu untuk berperilaku mulia sesuai dengan ajaran Islam sehingga perilaku tersebut menjadi ciri dari kepribadiannya. Kemampuan ini dicirikan dengan adanya kemampuan untuk meningkatkan kualitas hidup baik berupa keyakinan, lisan, maupun perbuatan, dan kemampuan untuk bersabar dalam menghadapi cobaan, dan kemampuan membedakan yang baik dan yang buruk.

3. Keluasan ilmu yaitu kualitas seseorang yang dicirikan dengan kepintaran dan kecerdikan dalam menyelesaikan masalah sesuai dengan bidang keahliannya. Kemampuan ini dicirikan dengan sikap bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu, kemampuan untuk selalu menggunakan potensi akal fikiran, dan kemampuan untuk selalu menggunakan potensi kalbu (perasaan).

4. Kematangan profesional yaitu kemampuan untuk bekerja dan berperilaku sebagai profesional dibidangnya. Kemampuan ini dicirikan dengan adanya kesediaan untuk menyampaikan ilmu, berperan serta dalam memecahkan masalah umat, dan kebiasaan untuk bertindak sesuai dengan ilmu.

C. Metode Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah semua mahasiswa Universitas Islam Negeri Malang yang telah berada pada semester VII keatas, hal ini didasarkan pada alasan bahwa mereka telah cukup lama menempuh pendidikan di Universitas Islam Negeri Malang, sehingga kepribadian mereka saat ini sedang dan telah dipengaruhi oleh proses pendidikannya. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposif random sampling yaitu memilih individu-individu dalam kelas dari tiap-tiap fakultas secara random dengan mempertimbangkan keterwakilan mahasiswa dari fakultas tersebut. Jumlah sampel penelitian ini berjumlah 284 orang dengan perincian fakultas tarbiyah 65 orang, fakultas sainteks 41 orang, fakultas humbud 83 orang, fakultas psikologi 32 orang, fakultas ekonomi 27 orang, dan fakultas syariah 26 orang.

Untuk mendapatkan data, alat ukur yang digunakan adalah angket kepribadian Ulul Albab dan angket terbuka. Pengujian validitas dan reliabilitas dilakukan pada mahasiswa semester V yang berjumlah 170 orang diambil dari tiga fakultas yaitu fakultas tarbiyah, fakultas psikologi, dan fakultas syariah. Dari hasil uji validitas dan reliabilitas angket ulul albab ditemukan bahwa 40 item dinyatakan valid karena nilai koefisien alfanya melebihi .2000 dan 8 item dinyatakan gugur karena tidak memenuhi persyaratan diatas. Dari hasil uji reliabilitas ditemukan bahwa tingkat reliabilitas sebesar .8422 artinya angket ini mampu mengungkap konstruk sebesar 84, 22%.

Analisis data dilakukan dengan analisis deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui gambaran variabel yang diukur, dalam hal ini adalah tingkat kepribadian ulul albab yang dicirikan dengan adanya kedalaman spiritual, keagungan akhlak, keluasan ilmu, dan kematangan profesional. Teknik yang dilakukan adalah dengan penggunaan norma kelompok berupa pembuatan klasifikasi menjadi lima kategori yaitu sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Analisis selanjutnya dilakukan dengan cara mengemukakan faktor-faktor yang dominan dianggap mahasiswa sebagai pendukung dalam pembentukan kepribadian Ulul Albab.

D. Hasil Dan Pembahasan

1. Deskripsi Kepribadian Ulul Albab

Untuk mengetahui tingkat kepribadian ulul albab pada mahasiswa Universitas Islam Negeri Malang, pengelompokan dilakukan berdasarkan norma yang telah ditentukan pada bab sebelumnya, dan berdasarkan penormaan tersebut maka diperoleh hasil seperti terdapat dalam tabel di bawah ini:

Tabel 1

Distribusi tingkat kepribadian ulul albab

No

Kategori

Kriteria

Frekuensi

Total (%)

1

Sangat Tinggi

119.255 <>

7

2.46

2

Tinggi

119.255 - 108.687

97

34.15

3

Sedang

108.687 - 98.113

100

35.21

4

Rendah

98.113 - 92.83

41

14.44

5

Sangat Rendah

X < 92.83

39

13.73

Jumlah



100 %


Dari tabel dan histogram diatas dapat diketahui bahwa tingkat kepribadian ulul albab mahasiswa Universitas Islam Negeri Malang berada pada kategori sedang dan tinggi. Jika kedua kategori tersebut di jumlahkan maka prosentasinya mencapai 69.4%, sedangkan mahasiswa yang memiliki kategori rendah dan sangat rendah hanya mencapai 28.1%. Data ini tentunya cukup menggembirakan bagi kalangan civitas akademika karena ini berarti Universitas Islam Negeri Malang telah cukup berhasil membentuk pribadi ulul albab pada mahasiswanya, walaupun mahasiswa yang mencapai tingkat kepribadian ulul albabnya sangat tinggi hanya mencapai 2.5%.

Menurut Suprayogo (2004) ukuran keberhasilan dari pendidikan Ulul Albab dianggap tercapai ketika pribadi yang terbentuk dalam proses pendidikan memiliki kualitas sebagai berikut: 1) Mempunyai ilmu pengetahuan yang luas; 2) Mempunyai penglihatan yanag tajam; 3) Bercorak cerdas; 4) Berhati lembut; 5) Bersemangat juang tinggi karena Allah sebagai pengejawantahan amal shaleh. Selanjutnya dikatakan bahwa pribadi ulul albab meyakini adanya kehidupan jasmani dan ruhani, dunia dan akhirat. Kedua dimensi kehidupan tersebut harus memperoleh perhatian yang seimbang dan tidak dibenarkan hanya memprioritaskan salah satunya. Keberuntungan dunia harus berdampak positif pada kehidupan akhirat, demikian juga sebaliknya. Hal ini didasari ajaran Rasulullah yang mengharuskan umat Islam untuk mencari kehidupan dunia seolah-olah akan hidup selamanya, dan mencari kehidupan akhirat seolah-olah kematian sudah di depan mata. Untuk mencapai tujuan tersebut maka pendidikan harus mampu mengembangkan dzikir, fikir, dan amal shaleh. Selanjutnya untuk melihat tingkat kepribadian ulul albab pada tiap-tiap indikator bisa dilihat dari tabel dibawah ini.

Tabel 2

Distribusi tiap sub variabel Ulul Albab

Sub Variabel

Kategori

Kriteria

F

(%)

Kedalaman Spiritual

Sangat Tinggi

32.76 >

25

8.80

Tinggi

32.76 - 29.24

48

16.90

Sedang

29.24 - 25.72

128

45.07

Rendah

25.72 - 22.20

58

20.42

Sngt Rendah

< 22.20

25

8.80

Keagungan Akhlak

Sangat Tinggi

34.13 >

0

0

Tinggi

34.13 - 30.57

112

39.44

Sedang

30.57 - 26.98

112

39.44

Rendah

26.98 - 23.42

32

11.27

Sngat Rendah

< 23.42

28

9.86

Keluasan

Ilmu

Sangat Tinggi

27.87 <>

0

0

Tinggi

27.87 - 24.80

118

41.55

Sedang

24.80 - 21.72

88

30.28

Rendah

21.72 - 18.65

53

18.66

Sngat Rendah

< 18.65

27

9.51

Kematangan Profesional

Sangat Tinggi

28.37 <>

0

0

Tinggi

28.37 - 25.37

111

39.08

Sedang

25.37 - 22.37

93

32.75

Rendah

22.37 - 19.37

53

18.66

Sngat Rendah

< 19.37

27

9.50

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa tingkat kedalaman spiritual mahasiswa Universitas Islam Negeri Malang berada pada kategori sedang dengan prosentasi mencapai 45.07%, sedangkan jumlah mahasiswa yang memiliki kategori sangat rendah dan sangat tinggi adalah seimbang yaitu 8.80%. Data ini tentunya tidak membanggakan walaupun tidak bisa juga dikatakan menyedihkan, tapi satu hal yang harus dilakukan oleh kalangan civitas akademika khususnya para dosen dan pimpinan untuk terus meningkatkan kualitas pendidikan pada mahasiswanya.

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa tingkat keagungan akhlak mahasiswa Universitas Islam Negeri Malang berada pada kategori sedang dan tinggi. Jika kedua kategori tersebut di jumlahkan maka prosentasinya mencapai 78.8%, sedangkan mahasiswa yang memiliki kategori rendah dan sangat rendah hanya mencapai 21.3%. Data ini tentunya cukup menggembirakan bagi kalangan civitas akademika walaupun tidak ada satupun mahasiswa yang tingkat keagungan akhlaknya berada pada kategori tinggi. Tapi jika dibandingkan antara mahasiswa yang tingkat keagungan akhlaknya tinggi dengan yang rendah masih lebih banyak mahasiswa yang berkategori tinggi.

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa tingkat keluasan ilmu mahasiswa Universitas Islam Negeri Malang berada pada kategori tinggi dengan prosentasi mencapai 41.5%. Data ini tentunya cukup menggembirakan bagi kalangan civitas akademika walaupun tidak ada satupun mahasiswa yang tingkat keluasan ilmunya berada pada kategori sangat tinggi. Tapi jika dibandingkan antara mahasiswa yang tingkat keluasan ilmunya tinggi dengan yang rendah masih lebih banyak mahasiswa yang berkategori tinggi.

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa secara umum tingkat kematangan profesional mahasiswa Universitas Islam Negeri Malang berada pada kategori tinggi. Data ini tentunya cukup menggembirakan bagi kalangan civitas akademika walaupun tidak ada satupun mahasiswa yang tingkat keluasan ilmunya berada pada kategori sangat tinggi. Tapi jika dibandingkan antara mahasiswa yang tingkat kematangan profesionalnya tinggi dengan yang rendah masih lebih banyak mahasiswa yang berkategori tinggi.

Dari data yang telah diuraikan diatas, secara umum bisa dikatakan bahwa Universitas Islam Negeri Malang berhasil dalam membentuk pribadi Ulul Albab pada mahasiswanya, baik dilihat dari konsep ulul albab secara umum maupun dilihat dari setiap karakteristiknya. Diantara karakteristik yang memerlukan penekanan lebih mendalam adalah mengenai kedalaman spiritual karena aspek inilah yang paling rendah ketercapaiannya dibanding dengan aspek yang lain, sedangkan pada aspek lain dianggap berhasil mengingat skor yang diperoleh secara umum berada pada kategori tinggi.

Selanjutnya, untuk mengetahui perbedaan ulul albab ditinjau berdasarkan perbedaan jenis kelamin digunakan teknik analisis varians. Dari hasil analisis ditemukan bahwa nilai F=11.0 dan P=0.001 artinya ada perbedaan yang signifikan tingkat kepribadian ulul albab berdasarkan perbedaan jenis kelamin, dilihat dari nilai mean maka ditemukan bahwa perempuan mempunyai tingkat kepribadian ulul albab lebih tinggi dibanding dengan laki-laki dengan perbedaan mean sebesar 104,91 berbanding 100,62.

Perbedaan tingkat kepribadian ulul albab pada laki-laki dan perempuan seperti diatas ternyata tidak sama dengan hasil yang dicapai pada tiap aspeknya, karena dari hasil analisis ditemukan nilai F=0.002 dan P=0.965 ini berarti bahwa tingkat kedalaman spiritual laki-laki dan perempuan tidak berbeda, hal ini berbeda dengan ketiga aspek lainnya. Pada aspek keagungan akhlak ditemukan F=33.700 dan P=0.000, keluasan ilmu F=5.40 dan P=0.021, dan kematangan profesional F=6.700 dan P=0.010 artinya ada perbedaan ketiga aspek kepribadian antara laki-laki dan perempuan. Hasil yang ditemukan selalu menunjukkan bahwa perempuan cenderung lebih tinggi tingkat kepribadian ulul albabnya dibanding dengan laki-laki.

Hasil diatas tentu saja menarik mengingat temuan bahwa perempuan selalu memperoleh skor yang lebih tinggi dibanding laki-laki hampir pada seluruh aspek kecuali pada aspek kedalaman spiritual. Hasil ini mendukung pada temuan Aziz & Mangestuti (2005) yang melakukan penelitian di tempat yang sama pada tahun sebelumnya dan mengungkapkan bahwa laki-laki cenderung lebih agresif dibanding dengan perempuan, baik agresivitas yang diungkapkan dalam bentuk verbal maupun dalam bentuk fisik.

Hasil ini mempunyai implikasi dalam pembelajaran bahwa seyogyanya para pimpinan dan dosen yang mengajar mata kuliah untuk memberikan penekanan yang lebih tinggi kepada para mahasiswa dibanding para mahasiswi. Penekanan ini bisa berbentuk pelayanan dan perhatian para dosen dalam menyampaikan kuliah ketika di dalam kelas atau juga bisa berupa pemberian materi tambahan yang sifatnya lebih afektif sehingga para mahasiswa lebih mampu menghayati terhadap segala perilaku yang ditampilkannya, karena pada dasarnya konsep ulul albab sangat syarat dengan muatan-muatan afektif walaupun juga ada muatan aspek kognitif dan psikomotoriknya.

2. Faktor Pendukung Pengembangan Ulul Albab

Untuk mengetahui mengetahui faktor yang menjadi pendukung bagi pengembangan ulul albab pada mahasiswa Universitaktor yang menjadi pendukung bagi pengembangan ulul albab pada mahasiswa Universitas Islam negeri (UIN) Malang bisa dilihat dari data dibawah ini:

Adanya fasilitas pendidikan berupa ma’had dan mesjid. Dari data yang diperoleh sebanyak 195 orang (68.6%) menganggap bahwa ma`had dan masjid sangat efektif untuk mengembangkan kepribadian ulul albab, karena merupakan simbol dari nuansa religiusitas, walaupun ada sebagian mahasiswa sejumlah 13 orang (4.5%) yang menganggap bahwa program-program di ma`had masih belum optimal.

Adanya beberapa penunjang yang mendukung perkuliahan. Dari data yang diperoleh ada sebanyak 52 orang (18.3) menganggap 4 lembaga menunjang pembentukan pribadi ulul albab. Keempat lembaga yang dimaksud adalah program khusus pembelajaran bahasa arab sebanyak 28 orang (9,9%) menganggap bahwa program tersebut mendukung bagi pengembangan pribadi ulul albab, selanjutnya yang dianggap sebagai pendukung lain adalah program khusus pembelajaran bahasa inggris 14 orang (4.9%), Lembaga Kajian Al-Quran dan Sains 6 orang (2.1%), serta Studen Acess Center 4orang (1.4%).

Adanya dosen yang mendukung. Dara data yang diperoleh ada sebanyak 42 orang (14.7) yang menanggap bahwa tenaga pengajar di Univesitas Islam Negeri Malang. Menurut para mahasiswa latarbelakang keilmuan dosen-dosen tersebut mendukung pada pencapaian visi dan misi universitas.

Adanya visi dan misi yang jelas dari universitas. Dari data yang diperoleh ada sebanyak 29 orang (10.2%) yang menganggap kampus Universitas Islam Negeri Malang mempunyai visi dan misi yang jelas dan berbeda dengan kampus-kampus lain. Mereka beranggapan bahwa visi tersebut sudah mampu diimplikasikan dalam beberapa matakuliah, diantara mereka ada sebanyak 11 orang (3.87) menganggap matakuliah yang diajarkan mendukung pada pengembangan pribadi Ulul Albab. Hanya saja, ada sebanyak 12 orang (4.2%) yang menganggap bahwa visi dan misi tersebut belum dilaksanakan secara optimal.

Latarbelakang mahasiswa yang dianggap sudah mendukung pada pengembangan pribadi ulul albab. Dari data yang diperoleh ada sebanyak 17 orang (5.9) menganggap bahwa latarbelakang mahasiswa mendukung pada pembentukan pribadi ulul albab, karena kebanyakan latarbelakang mereka berasal dari keluarga yang religius dan pernah mengecap pendidikan pesantren.

Dari data tersebut diatas, hal yang paling penting untuk diperhatikan adalah bagaimana fungsi ma`had dan penunjang lainnya yang selama ini keberadaannya dianggap sebagai pendukung utama dalam pembentukan pribadi ulul albab supaya terus dimaksimalkan. Selain itu, harus diakui bahwa latarbelakang kehidupan para mahasiswa menjadi faktor yang tidak kalah penting dalam membentuk pribadi yang dicita-citakan selama ini.

E. Penutup

Secara umum hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa yang kategori tingkat kepribadian ulul albabnya tinggi ternyata lebih banyak dari pada mahasiswa yang tingkat kepribadian ulul albabnya rendah, hal ini berarti pendidikan di Universitas Islam Negeri (UIN) Malang telah berhasil dalam mengembangkan kepribadian ulul albab yang dicirikan dengan adanya kedalaman spiritual, keagungan akhlak, keluasan ilmu, dan kematangan profesional.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi, 1991, Manajemen Penelitian, Yogyakarta: Penerbit Rineka Cipta

Aziz, Rahmat & Mangestuti, Retno, 2006, Tiga Jenis kecerdasan dan Agresivitas Mahasiswa, Psikologika, no.21 tahun XI, 64-77

Baharudin, 2004, UIN Menuju Cita Pembentukan Masyarakat Ulul Albab, (dalam Zainudin, dkk sebagai editor), Memadu Sains & Agama, Malang: UIN Malang Press dan Bayu Media

Chaplin, James. P., 1989, Kamus Lengkap Psikologi (Terjemah Kartini Kartono), Jakarta: Raja Grafindo Persada

Hadi, Sutrisno, 1996, Metodologi Research, (Jilid 3), Yogyakarta: Penerbit Andi Offset

Hadi, Sutrisno, 1991, Analisis Butir Untuk Instrumen, Yogyakarta: Andi offset

Muhaimin, 2003, Penyiapan Ulul Albab, Pendidikan Alternatif masa Depan, el-Hikmah, Jurnal Pendidikan Fakultas Tarbiyah, Vol.1 No.1, 20

Mujib, Abdul, 2006, Kepribadian dalam Psikologi Islam, Jakarta: Raja Grapindo Persada

Rahmat, Jalaludin, 1986, Islam Alternatif, Ceramah-ceramah di Kampus, Bandung: Mizan

Saefudin, A.M., dkk, 1987, Desekularisasi Pemikiran, Landasan Islamisasi, Bandung: Mizan

Suprayogo, Imam 2004, Tarbiyah Ulul Albab: Dzikir, Fikr, dan Amal Shaleh, Malang: Universitas Islam Negeri Malang

Suryabrata, Sumadi, 1990, Psikologi Kepribadian, Jakarta: Rajawali

Syihab, Quraisy, 1993, Membumikan Al-Quran, Bandung: Mizan

Yuniarti, 2003, Perilaku Seksual pra-nikah pada mahasiswa UIN Malang, Skripsi, Malang: Fakultas Psikologi UIN Malang