My Family

Minggu, 30 November 2008

Kecerdasan emosional

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN PENYESUAIAN DIRI DAN KECENDERUNGAN BERPERILAKU DELINKUEN PADA REMAJA

Oleh:
Rahmat Aziz, M.Si


Dipublikasikan pada jurnal:
Ulul Albab, Jurnal Studi Islam, Sains dan Teknologi,
Vol 1, No 2, 1999




INTISARI

Kecerdasan emosional sebagai suatu istilah yang relatif baru dalam dunia psikologi dianggap mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Hasil Penelitian ini menemukan bahwa kecerdasan emosional bisa dijadikan sebagai prediktor bagi tinggi rendahnya penyesuaian diri dan perilaku delinkuen pada remaja.

Kata Kunci: Kecerdasan Emosional, Penyesuaian Diri, Perilaku delinkuen


Pendahuluan
Masa remaja merupakan salah satu periode perkembangan manusia yang paling banyak mengalami perubahan. Secara tradisional masa ini biasa disebut dengan masa badai dan tekanan, yaitu suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Setiap periode mempunyai masalahnya sendiri-sendiri, namun masalah masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh anak laki-laki maupun anak perempuan. Setidaknya ada dua alasan bagi penyebab kesulitan ini. Pertama, Semasa kanak-kanak, sebagian besar masalah biasa diselesaikan oleh orang tua, sehingga para remaja belum punya pengalaman untuk mengatasi masalahnya sendiri. Kedua, Para remaja merasa dirinya mandiri, sehingga menolak bantuan orang tua, guru, dan orang yang lebih tua lainnya, mereka ingin menyelesaikan masalahnya sendiri.

Menurut Darajat (1975) masa remaja merupakan periode perkembangan manusia yang paling banyak mengalami perubahan. Pada masa ini merupakan saat-saat perpindahan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Berbagai macam perubahan meliputi semua segi kehidupannya seperti perubahan jasmani, pikiran, perasaan dan sosial. Pada umumnya, perubahan tersebut dimulai dari perubahan jasmani yang mencolok pada usia 13 atau 14 tahun. Selanjutnya perubahan tersebut akan diikuti atau disertai dengan adanya perubahan-perubahan lain yang terus berjalan sampai mencapai usia 20 tahun, sehingga bisa dikatakan bahwa masa remaja terjadi antara usia 13 sampai 20 tahun.

Para remaja dalam menghadapi permasalahannya bisa digolongkan kedalam dua kelompok, pertama, mereka yang mampu menyesuaian diri dengan tuntutan dan kebutuhan diri sendiri beserta lingkungannya, mereka adalah remaja yang sukses dalam menjalani kehidupannya. Kedua, mereka yang mengembangkan perilaku delinkuen sebagai bukti ketidakmampuannya dalam menyesuaikan terhadap tuntutan diri dan lingkungannya.

Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan para remaja. Penelitian yang dilakukan Haditono (dalam Monks, dkk, 1994) menemukan bahwa 69,45% remaja delinkuen memiliki taraf inteligensi di bawah normal. Norvig (dalam Simanjuntak, 1984) menyatakan bahwa yang melakukan kejahatan kesusilaan lebih banyak dilakukan oleh Mentally retarded Persons. Rendahnya tingkat intelegensi menyebabkan remaja tidak mampu melihat dan memperkirakan akibat dari perbuatannya.
Namun menurut Goleman (1996) kecerdasan bila tidak disertai dengan pengolahan emosi yang baik tidaklah akan menghasilkan seseorang sukses dalam hidupnya. Peranan kecerdasan akademik (IQ) hanyalah sekitar 20% untuk menopang kesuksesan hidup seseorang, sedangkan 80% lainnya ditentukan oleh faktor yang lain, yang diantaranya adalah faktor kecerdasan Emosional. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Stenberg (dalam Cooper & Sawaf, 1998) mengatakan bahwa IQ mungkin hanya berperan 4% dari keberhasilan dunia nyata. Dengan kata lain, lebih dari 90% keberhasilan mungkin berhubungan dengan bentuk kecerdasan lain. Pendapat lain dikemukakan oleh Patton (1998) yang mengatakan bahwa orang yang mempunyai kecerdasan emosionalnya tinggi ternyata sukses di tempat kerja.
Selanjutnya, perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan akan menimbulkan perbedaan dalam berperilaku. Menurut Hollingworth (Meichati, 1975) pada umumnya perempuan itu tidak pernah ekstrem bila dibanding dengan laki-laki, sehingga jarang ditemukan wanita yang menonjol dalam beberapa kepribadian, kebanyakan perempuan dalam tarap rata-rata, berbeda dengan laki-laki yang bisa sangat hebat dan sangat cacat. Selain itu pandangan stereotip dalam masyarakat juga akan mempengaruhi timbulnya perbedaan antara anak laki-laki dan perempuan (Mulder, 1985). Anak laki-laki dipandang lebih tinggi dalam berbagai kemampuan dibandingkan dengan anak perempuan.

Senada dengan pandangan diatas, dikemukakan oleh Kail & Nelson (1992) yang mengatakan bahwa adanya stereotip dalam masyarakat akan berpengaruh dalam memperlakukan seseorang dan juga akan mengakibatkan adanya perbedaan sifat. Laki-laki lebih agresif daripada perempuan, kurang mampu menunda kepuasan, impulsif, dan lebih berani mengambil resiko karena mereka lebih suka bertualang. Prawitasari dkk, (1985; 1993) menemukan bahwa ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal kepribadian. Perempuan mempunyai kecenderungan untuk lebih hangat, emosioanal, sopan, peka, dan mentaati aturan, sedangkan laki-laki cenderung lebih stabil, dominan, dan impulsif. Penelitian yang dilakukan Faturochman (1992) menemukan bahwa laki-laki cenderung lebih ditolerir bila melakukan perilaku seks sebelum nikah. selain itu ada standar ganda yang membuat laki-laki lebih permisif dalam melakukan perilaku tersebut.

Hasil penelitian dalam hal penyesuaian diri dengan membedakan jenis kelamin ditemukan hasil yang berbeda-beda (Tidjan, 1989; Purwati 1993; Partosuwido, 1993) sedangkan penelitian dalam hal perilaku delinkuen menunjukkan hasil yang relatif sama (Conger, 1977; Elfida, 1995; Kurniawan, 1997).

Berdasarkan landasan teori dan hasil-hasil penelitian terdahulu, dalam penelitian ini diajukan hipotesis:
  1. Ada hubungan yang positif antara kecerdasan emosional dengan penyesuaian diri remaja. Semakin tinggi kecerdasan emosional remaja maka semakin tinggi pula penyesuaian dirinya.
  2. Ada hubungan yang negatif antara kecerdasan emosional dengan perilaku delinkuen remaja. Semakin tinggi kecerdasan emosional remaja maka semakin rendah perilaku delinkuennya.
  3. Ada perbedaan antara remaja laki-laki dan perempuan dalam hal kecerdasan emosional.
  4. Ada perbedaan antara remaja laki-laki dan perempuan dalam hal penyesuaian diri. Perempuan cenderung lebih tinggi penyesuaian dirinya dibanding dengan laki-laki.
  5. Ada perbedaan antara remaja laki-laki dan perempuan dalam hal berperilaku delinkuen. Laki-laki cenderung lebih tinggi untuk berperilaku delinkuen dibanding dengan perempuan.

Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini berjumlah 230 siswa kelas satu dan dua di SMUN 3, SMUN 5, SMUN 11 (100 Laki-laki dan 130 perempuan) yang dipilih secara cluster random sampling. Proses pengambilan sampel dilakukan dengan cara memilih sebanyak 3 sekolah dari seluruh SMUN yang ada di Yogyakarta secara bertujuan berdasarkan kriteria sekolah yang ditetapkan oleh Kanwil Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan yaitu sangat baik, baik, dan cukup, kemudian dari tiap sekolah tersebut diambil dua kelas secara random (kelas 1 dan kelas 2).

Instrumen Penelitian
Pendekatan yang digunakan untuk mengetahui validitas dalam penelitian ini adalah internal validity yang dalam pelaksanaannya dilakukan dengan dua cara, yaitu: Pertama, analisis butir yang bertujuan untuk mengetahui apakah suatu item itu baik atau tidak. Kedua, analisis faktor yang bertujuan untuk mengetahui bobot faktor terhadap konstruk dan mengetahui faktor mana yang memberi sumbangan paling besar. Uji Validitas dilakukan pada 110 siswa di SMUN 9 dan SMUN 10. Semua tehnik analisis dalam penelitian ini menggunakan fasilitas komputer program SPSS for MS WINDOWS.

Kecerdasan Emosional adalah suatu kemampuan untuk mengindra, memahami dan menerapkan kekuatan dan ketajaman emosi sebagai sumber energi, informasi, dan pengaruh. Kemampuan ini dicirikan dengan adanya kemampuan yang bersifat kedalam diri sendiri dan keluar diri. Data ini diperoleh dari skala kecerdasan emosional berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Goleman (1996) Gardner dan Salovey (Goleman, 1996).
Dari hasil uji validitas ditemukan bahwa 48 item yang diuji terdapat 32 item yang valid dengan koefisien validitas berkisar antara .2085 sampai .5650, sedangkan reliabilitas menunjukkan alfa sebesar = .8103. Dari hasil analisis faktor ditemukan bahwa skala ini mampu mengungkap konstruk sebesar 47,7%, sumbangan faktor terhadap konstruk berkisar antara 16,4% sampai 4,9%.

Penyesuaian diri adalah suatu proses dinamika yang melibatkan respon-respon mental dan tingkah laku untuk memenuhi kebutuhan baik dari dalam diri maupun dari luar diri yang tidak bertentangan dengan norma masyarakat, dan berfungsi untuk mengatasi hambatan-hambatan sehingga mencapai keselarasan antara diri dan lingkungan serta diperoleh kebahagiaan hidup. Data ini diperoleh dari skala penyesuaian diri berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Schneider (1964).

Dari hasil uji validitas ditemukan bahwa 56 item yang diuji terdapat 44 item yang valid dengan koefisien validitas berkisar antara .2218 sampai .5301, sedangkan reliabilitas menunjukkan alfa sebesar = .8773. Dari hasil analisis faktor ditemukan bahwa skala ini mampu mengungkap konstruk sebesar 45,5%, sumbangan faktor terhadap konstruk berkisar antara 18,3% sampai 4,2%.

Perilaku delinkuen adalah tinggi rendahnya remaja untuk melakukan tindakan melanggar hukum dan peraturan-peraturan yang berlaku, serta tindakan yang oleh masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang tercela. Data ini diperoleh dari skala perilaku delinkuen yang mengukur pada aspek-aspek perilaku delinkuen berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Hurlock (1973) dan Jensen (dalam Sarwono, 1994).
Dari hasil uji validitas ditemukan bahwa 40 item yang diuji terdapat 35 item yang valid dengan koefisien validitas berkisar antara .2632 sampai .6047, sedangkan reliabilitas menunjukkan alfa sebesar = .8948. Dari hasil analisis faktor ditemukan bahwa skala ini mampu mengungkap konstruk sebesar 40,1%, sumbangan faktor terhadap konstruk berkisar antara 23,7 sampai 4,7%.

Analisis Data Penelitian
Tehnik analisis data yang digunakan adalah korelasi product moment dari Pearson dan analisis varians, sebelum dilakukan uji analisis terlebih dahulu dilakukan uji prasyarat analisis dengan melakukan uji normalitas sebaran, linearitas hubungan, dan homogentias varians terhadap ketiga variabel. Hasil uji tersebut menunjukkan bahwa sebarannya normal, hubungannya linear, dan variansnya homogen.

Hasil Dan Pembahasan
Hasil perbandingan mean empiris dengan mean hipotesis pada variabel kecerdasan emosional dan penyesuaian diri menunjukkan hasil yang lebih rendah, artinya kecerdasan emosional dan penyesuaian diri siswa SMUN Kodya Yogyakarta relatif rendah. Berbeda halnya dengan mean empiris variabel perilaku delinkuen yang diperoleh subjek lebih tinggi dibandingkan mean hipotesisnya, artinya perilaku delinkuen siswa SMUN Kodya Yogyakarta relatif tinggi

Pembahasan Hipotesis Pertama Dan Kedua
Hasil analisis data menunjukkan bahwa hipotesis Pertama dan kedua yang menyebutkan adanya hubungan yang positif antara kecerdasan emosional dengan penyesuaian diri dan adanya hubungan negatif antara kecerdasan emosional dengan perilaku delinkuen pada remaja adalah terbukti.

Hasil yang pertama menunjukkan korelasi yang positif antara kecerdasan emosional dengan penyesuaian diri dan bersifat searah, artinya kenaikan skor kecerdasan emosional yang diperoleh subjek akan diikuti dengan kenaikan skor penyesuaian dirinya, kekuatan hubungan antara kedua variabel ini ditunjukkan oleh koefisien korelasi r sebesar .5620.

Hasil yang kedua menunjukkan korelasi yang negatif antara kecerdasan emosional dengan perilaku delinkuen dan bersifat berlawanan, artinya kenaikan skor kecerdasan emosional yang diperoleh subjek akan diikuti dengan penurunan skor perilaku delinkuen, kekuatan hubungan antara kedua variabel ini ditunjukkan oleh koefisien korelasi r sebesar -.4728.

Menurut Atkinson dkk (1991) koefisien korelasi sebasar .200 s/d .600 bisa memiliki nilai praktis dan teoritis dalam membuat prediksi, sehingga hasil penelitian diatas bisa dikatakan bahwa tinggi rendahnya kecerdasan emosional mampu menjadi salah satu prediktor bagi tinggi rendahnya penyesuaian diri dan perilaku delinkuen.

Hasil penelitian ini mendukung beberapa penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Trinovita (dalam Mulyono, 1996) yang menemukan bahwa para remaja non-delinkuen memiliki kontrol diri yang relatif tinggi dibanding dengan para remaja delinkuen. Para remaja non-delinkuen mampu mengarahkan energi emosinya ke arah hal-hal yang bermanfaat dan secara sosial dapat diterima. Mereka lebih mampu mengenali, mengerti, mengatur dan mengendalikan emosi dan perilakunya. Conger & Gold (Fuhrmann, 1990) menemukan bahwa remaja delinkuen kebanyakan memiliki kontrol diri yang rendah dan menunjukkan skor yang tinggi pada pengukuran sifat imfulsif dan pusat kontrol eksternal, serta memiliki skor yang rendah pada perkembangan moral dan hati nurani.

Penelitian Elfida (1995) menemukan bahwa kemampuan mengontrol diri mempengaruhi perilaku delinkuen, semakin tinggi kemampuan remaja dalam mengontrol dirinya, maka semakin rendah perilaku delinkuen. Selanjutnya Hurlock (1973) menjelaskan bahwa kontrol diri berkaitan dengan bagaimana ia mengendalikan emosi serta dorongan-dorongan yang berasal dari dalam dirinya.
Hasil penelitian inipun mendukung pendapat yang dikemukakan oleh beberapa ahli (Goleman, 1996; Patton; 1998; Cooper & Sawaf, 1998) yang menyatakan bahwa kecerdasan akademik (IQ) bila tidak disertai dengan pengolahan emosi yang baik tidaklah akan menghasilkan seseorang sukses dalam hidupnya, tapi ada faktor lain yang lebih berperan dalam kesuksesan seseorang, hal ini disebabkan karena kecerdasan akademik (IQ) tidak memberikan kesiapan untuk menghadapi gejolak yang ditimbulkan oleh kesulitan-kesulitan hidup.

Dalam hubungannya dengan kemampuan untuk mengenal emosi, sebagai salah satu aspek dari kecerdasan emosional, maka Martani (1991) menyatakan bahwa orang yang sehat biasanya mampu mengenal emosi yang dialaminya dan dapat mengekspresikan sesuai dengan aturan yang berlaku di lingkungannya. Menurut Ekowarni (1997) salah satu cara yang bisa digunakan untuk mengembangkan sikap ini adalah dengan mengembangkan sikap empati yaitu dengan melatih perilaku peduli terhadap orang lain dan mengembangkan kepekaan untuk melihat kesulitan orang lain kemudian berusaha untuk membantunya.

Dalam hubungannya dengan sikap optimis sebagai salah satu aspek dari kecerdasan emosional, Lazarus & Taylor dari University of California (dalam Peale, 1992) menyebutkan bahwa orang-orang yang optimis cenderung lebih bahagia dalam menikmati hidupnya, selain itu merekapun dapat terhindar dari masalah-masalah mental seperti depresi. Salah satu cara yang bisa digunakan untuk mengembangkan sikap optimis adalah dengan membiasakan berpikir positif yaitu suatu cara pandang terhadap suatu masalah dari sisi yang positip dan mengharapkan hasil yang terbaik.

Pembahasan Hipotesis Ketiga, Keempat Dan Kelima
Hasil analisis varians yang menguji mengenai perbedaan laki-laki dan perempuan dalam hal kecerdasan emosional, penyesuaian diri, dan perilaku delinkuen pada remaja menunjukkan bahwa nilai F yang diperoleh tidak signifikan, sehingga bisa disimpulkan bahwa ketiga hipotesis yang menyatakan adanya perbedaan pada ketiga variabel dinyatakan ditolak, baik pada taraf signifikansi 1% maupun pada taraf signifikansi 5%. Bahkan hasil pengujian pada hipotesis kelima menunjukkan bahwa perempuan cenderung lebih tinggi untuk berperilaku delinkuen bila dibanding dengan laki-laki pada taraf signifikansi 5%, dengan perbandingan mean 144:148.
Secara statistik, tidak terbuktinya hipotesis ini mungkin disebabkan oleh adanya kesalahan sampel (error sampling) karena sampelnya merupakan gabungan dari beberapa kelas sehingga bentuknya menjadi heterogen. Hal ini bisa dilihat dari standar error yang ditunjukkan dalam hasil analisis sangat besar.

Hasil analisis pada hipotesis ketiga menunjukkan F=1.0469 dan P=.3073. Hasil ini sejalan dengan penelitian mengenai emosi, yang pernah dilakukan oleh Prawitasari (1993) menemukan bahwa tidak adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal mengekspresikan emosi dasar seperti rasa rasa jijik, marah, terkejut, dan lain sebagainya, kecuali dalam mengekspresikan rasa malu. Selain itu mungkin disebabkan karena pengalaman subjek termasuk didalamnya adalah pendidikan formal adalah relatif sama, karena menurut Goleman (1996) pada dasarnya kecerdasan emosional lebih banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan pengalaman seseorang bila dibanding dengan faktor bawaan.

Hasil analisis pada hipotesis keempat menunjukkan nilai F=.6397 dan P=.4247. Hasil ini memperkuat hasil penelitian yang dilakukan oleh Tidjan (1989) & Kusumastuti (dalam Tidjan, 1989) yang menemukan bahwa tidak adanya perbedaan laki-laki dan perempuan dalam hal penyesuaian diri.

Faktor lain yang mungkin berpengaruh pada tidak terbuktinya hipotesis ini karena meningkatnya kesempatan bagi perempuan untuk berperan sama seperti yang dicapai oleh laki-laki dalam berbagai macam aktivitas yang ada dalam masyarakat, terutama di pusat-pusat kota dan pada kalangan menengah kelas atas. Menurut Thornburg (1982) Remaja-remaja perempuan yang tumbuh dalam kondisi semacam ini, akan mengidentifikasikan diri dengan peran ibunya, dimana para ibu percaya bahwa dirinya adalah sederajat dengan laki-laki dan mampu melakukan sesuatu yang biasa dilakukan oleh laki-laki.

Ada beberapa alasan yang menyebabkan mengapa tidak terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal kecerdasan emosional dan penyesuaian diri, yaitu:
  1. Pada dasarnya remaja laki-laki dan perempuan mempunyai kebutuhan yang sama dalam mengaktualisasikan diri, sehingga mereka mempunyai peluang yang sama untuk tumbuh dan berkembang.
  1. Tuntutan dan kondisi lingkungan sekolah dimana para remaja tinggal relatif sama, sehingga mereka berusaha memenuhi tuntutan tersebut dengan cara yang sama pula.
Hasil penelitian pada hipotesis kelima menunjukkan F=6.4215 dan P=.0119, hal ini berarti hipotesis kelima yang menyebutkan adanya perbedaan antara laki-laki dengan perempuan dalam hal perilaku delinkuen adalah tidak terbukti, Bahkan dari hasil yang diperoleh ditemukan bukti bahwa perempuan cenderung lebih tinggi kemungkinannya untuk berperilaku delinkuen bila dibanding dengan remaja laki-laki pada taraf signifikansi 5%.

Hasil penelitian ini sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut karena kebanyakan hasil yang diperoleh terhadap tema yang sama sering ditemukan laki-laki lebih tinggi kemungkinannya untuk berperilaku delinkuen bila dibanding dengan perempuan (Elfida, 1995) atau hasil yang lain ditemukan tidak adanya perbedaan antara laki-laki dengan perempuan dalam perilaku delinkuen (Kurniawan, 1997).

Tapi walaupun demikian, hasil penelitian ini menjadi menarik untuk dikaji lebih lanjut sehubungan dengan adanya pendapat yang dikemukakan oleh Conger (1977) yang mengatakan bahwa walaupun ditemukan adanya perbedaan laki-laki cenderung lebih tinggi untuk berperilaku delinkuen bila dibanding dengan perempuan tapi bukti terakhir menunjukkan perbedaannya semakin mengecil.

Faktor yang mungkin menjadi alasan tidak terbuktinya hipotesis ini adalah karena adanya kesempatan yang sama dan semakin luas bagi perempuan untuk berperilaku sama dengan laki-laki (Thornburg, 1992). Keadaan seperti ini dirasakan sebagai suatu kebebasan bagi perempuan untuk mengekspresikan seluruh apa yang diinginkan dan dirasakannya. Selain itu, faktor yang ikut menentukan bagi terciptanya kondisi seperti ini mungkin juga karena kontrol masyarakat yang semakin longgar terhadap perilaku delinkuen yang dilakukan oleh perempuan.

Penutup
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa: Pertama, kecerdasan emosional dan penyesuaian diri pada remaja di Kodya Yogyakarta relatif rendah, sedang kecenderungannya untuk berperilaku delinkuen adalah relatif tinggi. Kedua, terdapat hubungan yang positif antara kecerdasan emosional dengan penyesuaian diri dan hubungan yang negatif dengan perilaku delinkuen. Ketiga, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara remaja laki-laki dan perempuan dalam hal kecerdasan emosional dan penyesuaian diri, tapi terdapat perbedaan dalam hal perilaku delinkuen, perempuan cenderung lebih tinggi untuk berperilaku delinkuen bila dibanding dengan laki-laki.
Setelah melihat hasil penelitian ini, maka saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut: kepada para orangtua dan guru, hendaklah lebih memahami keadaan para remaja dengan segala karakteristiknya, karena pemahaman yang tepat terhadap mereka dapat membantu mereka dalam mengatasi persoalan-persoalan hidupnya. Kepada para remaja, hendaklah berusaha untuk lebih memahami dan meningkatkan kecerdasan emosional, karena dari hasil penelitian yang diperoleh ternyata kecerdasan emosional mampu dijadikan sebagai prediktor bagi kemampuan untuk penyesuaian diri dan menekan kecenderungan untuk berperilaku delinkuen. Kepada peneliti selanjutnya, hendaknya menggunakan tehnik pemilihan sampel yang lebih tepat sehingga kemungkinan terjadi sampling error semakin kecil selain itu dalam memilih sekolah perlu juga melibatkan sekolah swasta agar generalisasinya semakin luas. Dalam hal instrumen penelitian peneliti menyarankan untuk diperbaiki kembali sehingga ditemukan instrumen yang baku.

DAFTAR PUSTAKA


Atkinson, R.L., Atkinson, R.C., & Hilgard, E.R., 1979, Introduction to Psychology, New York: Harcourt Brace Jovanovich Inc.

Cole, L., 1963, Psychology of Adolescence, Psychological Development in a Changing World, New York: Holt, Rinehart and Winston Inc

Conger, J.J., 1977, Adolescence and Youth, New York: Harper & Row, Publishers

Cooper, R.K., & Sawaf, A., 1998, Executive EQ, Kecerdasan Emosional Dalam Kepemimpinan Dan Organisasi, (Alih bahasa Widodo) Jakarta: Gramedia

Darajat, Z., 1977, Kesehatan Jiwa Dalam Keluarga, Sekolah, Dan Masyarakat, Jakarta: Bulan Bintang

Ekowarni, E., 1997, Mengembangkan Kecerdasan Emosional Dalam Keluarga, (Makalah) Yogyakarta: Wisma Kagama

Elfida, D., 1995, Hubungan Antara Kemampuan Mengontrol Diri dan Kecenderungan Berperilaku Delinkuen, (Skripsi) Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada

Faturochman, 1992, Sikap dan Perilaku Seksual Remaja di Bali, Jurnal Psikologi, No.1, 12-17, Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada

Fuhrmann, B.S., 1990, Adolescence, Adolesent, Illinois: Brown Higher Education

Goleman, D., 1995, Emotional Intelligence (Alih bahasa Hermaya) Jakarta: Gramedia

Hurlock, E., 1973, Child Development, Tokyo: Mc Graw Hill Kogakusha, Ltd

Kail, R.V., & Nelson, N.W., 1993, Development Psychology, Englewoods Clifs, New Jersey: Prentice Hall, inc

Kurniawan, I.N., 1997, Orientasi Religius dan Kecenderungan Berperilaku Delinkuen, (Skripsi) Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM

Martani, W., 1996, Mengenali Emosi Melalui Rangsang Gambar dan Suara, (Penelitian) Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada

Meichati, S, 1975, Penelitian Tentang Tanggapan Remaja Mengenal Diri dan Kehidupan, (Laporan Penelitian) Yogyakarta: Lembaga Penelitian UGM

MŲµnks, F.J., Knoers, A.M.P., & Haditono, S.R., 1982, Psikologi Perkembangan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Mulder, N., 1985, Pribadi Dan Masyarakat Di Jawa, Jakarta: Sinar Harapan

Mulyono, Y.B., 1992, Pendekatan Analisis Kenakalan Remaja dan Penanggulangannya, Yogyakarta: Kanisius

Patton, P., 1998, Emotional Intelligence Di Tempat Kerja, (Alih Bahasa Dahlan) Jakarta: Pustaka Delapratasa

Peale, N.V., 1953, The Power of Positive Thinking, Englewoods Clifs, New Jersey: Prentice Hall, inc

Prawitasari, J.E., 1993, Apakah Wanita Lebih Peka Daripada Pria Dalam Mengartikan Emosi Dasar Manusia ?, Jurnal Psikologi, No.1, 14-22, Yogyakarta: Fakultas Psikologi Gadjah Mada

-------, & Kahn, M.W., 1985, Personality differences and sex similarities in American and Indonesian College Student, The Journal of Social Psychology, 124, 703-708

Purwati, 1993, Hubungan Antara Pola Asuh Orangtua Dengan Penyesuaian Diri Di Kodya Magelang, (Tesis) Yogyakarta: Program Pascasarjana UGM

Schneider, A.A., 1964, Personal Adjustment and Mental Health, New York: Holt, Rinehart and Winston

Simanjuntak, B., 1984, Latar Belakang Kenakalan Anak, Etiology Juvenile Delinquency, Bandung: Alumni

Thornburg, H.D., 1982, Development in Adolescence, California: Brook/cole Publishing Company

Tidjan, 1989, Perbedaan Penyesuaian Diri di Sekolah ditinjau dari Sikap Terhadap Layanan Bimbingan dan Konseling di Sekolah, Jenis Kelamin, dan Tingkat Kelas Para Siswa SMAN 9 Yogyakarta, (Tesis) Yogyakarta: Program Pascasarjana Psikologi Universitas Gadjah Mada

Selasa, 18 November 2008

Ulul Albab dan Adversity

PENGARUH KEPRIBADIAN ULUL ALBAB
TERHADAP KEMAMPUAN MENGHADAPI TANTANGAN


Oleh:
Rahmat Aziz, M.Si

Dipublikasikan pada jurnal:
El-Qudwah, Jurnal Penelitian dan Pengembangan,
Vol 3, No 1, April 2008


Abstract
The purpose of this study was to study the impact of ulul albab personality on the adversity quotient. The sample was composed of 139 undergraduate of Islamic State University of Malang. The result showed that r=0.182 p=0.045 it means ulul albab personality influence of adversity quotient.

Key word:
Ulul Albab Personality, Adversity Quotient

Latar Belakang Masalah
Setiap orang yang hidup didunia ini pasti selalu punya masalah, baik berupa masalah yang ringan maupun yang berat. Berbagai bentuk masalah seperti kegagalan dalam mencapai tujuan, mendapat hukuman karena berbuat salah, mengalami kecelakaan, mengidap penyakit yang sulit disembuhkan, menerima perlakuan yang tidak adil dari pihak lain, kehilangan pekerjaan dan sumber nafkah hidup, bubarnya perkawinan, kematian sahabat, dan berbagai musibah lainnya yang mungkin sedang dialami telah membuat banyak orang merasa tidak berdaya.

Berbagai peristiwa tak terelakkan itu, baik yang bersumber dari dalam diri sendiri maupun yang berasal dari lingkungan, sudah pasti menimbulkan stres dan menimbulkan perasaan-perasaan kecewa, cemas, takut, malu, sedih, susah, rendah diri, marah, putus asa, tidak bermakna, dan sejumlah penghayatan-penghayatan tak menyenangkan lainnya. Bahkan mungkin saja peristiwa itu mengembangkan sikap mental dan citra negatif terhadap diri sendiri dan lingkungan. Hal inilah yang akan menimbulkan sejumlah gangguan, penyakit organik dan psikis serta berbagai perilaku menyimpang (Bastaman, 1996).

Setiap orang berbeda-beda dalam mensikapi masalahnya, ada yang gagal dan ada juga yang sukses. Salah satu aspek yang diduga menjadi faktor penyebab kesuksesan dan kegagalannya adalah kemampuan seseorang dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah hidupnya yang dalam psikologi biasa dikenal dengan sebutan Adversity Quotient. Istilah ini dikembangkan dan dipopulerkan oleh Paul Stoltz pada tahun 1999. Ia menggambarkan bahwa untuk mampu memecahkan masalah yang dihadapi terlebih dulu harus memahami tentang kedudukan masalah itu sendiri. Ia mengembangkan hal tersebut dengan model piramida dimulai dari tangga pertama berupa masalah di masyarakat, pada tangga kedua masalah di tempat kerja, dan pada tangga ketiga masalah pada diri individu. Selanjutnya kemampuan menghadapi tantangan dalam hidup ini merupakan suatu kemampuan yang bisa dipelajari dan dikembangkan melalui pelatihan atau pendidikan, dan sangat dipengaruhi oleh faktor lain termasuk karakteristik kepribadian seseorang. Kemampuan ini ada pada setiap orang termasuk pada mahasiswa Universitas Islam Negeri Malang, yang kemudian akan dikaji pada penelitian ini.

Penelitian tentang Adversity Quotient telah banyak dilakukan baik di luar negeri maupun di dalam negeri. Di luar negeri diantaranya dilakukan oleh Williams (2003) yang menemukan bahwa ada hubungan antara adversity Quotient dengan prestasi belajar siswa. Penelitian yang dilakukan didalam negeri kkhususnya pada mahasiswa UIN Malang telah dilakukan oleh Mulyadi & Mufita (2006) yang menemukan bahwa tingkat adversity Quotient pada mahasiswa UIN Malang berada pada kategori sedang. Selanjutnya ditemukan bahwa Adversity Quotient mempunyai pengaruh terhadap pengendalian rasa cemas menghadapi dunia kerja sebesar 0,276. Berbeda dengan penelitian diatas, pada penelitian ini adversity quotient dikaji sebagai variabel terikat yang diduga dipengaruhi oleh faktor yang lain. Hal ini didasari anggapan bahwa Adversity Quotient adalah suatu kemampuan yang bisa dikembangkan dan ditingkatkan melalui pendidikan dan pelatihan (Stoltz, 2000).

Universitas Islam Negeri malang (UIN) sebagai sebuah perguruan tinggi Islam mengembangkan konsep Ulul Albab yang dalam praktiknya dikembangkan menjadi tiga bentuk perilaku ideal yaitu dzikir, fikr, dan amal. Konsep Ulul Albab tersebut diharapkan bisa memberikan penjelasan tentang filosofi, identitas, arah yang ingin dicapai, budaya, pendekatan yang dikembangkan serta hal lain yang dipandang penting agar perguruan tinggi Islam ini dikenal secara mendalam, baik oleh warganya sendiri maupun pihak lain (Suprayogo: 2004).

Mahasiswa Universitas Islam Negeri Malang adalah peserta didik yang diharapkan mampu menjadi sosok manusia Ulul Albab yaitu manusia yang mampu mengedapankan dzikir, fikr, dan amal shaleh. Dalam konteks pendidikan di Universitas Islam Negeri Malang, maka lulusan yang diharapkan terwujud dari para mahasiswa adalah mereka mempunyai empat pilar kekuatan dalam menjalani kehidupanya. Keempat pilar tersebut adalah kedalaman spiritual, keagungan akhlak, keluasan ilmu, dan kematangan profesional. Dengan keempat pilar inilah para mahasiswa dibekali untuk mampu menghadapi tantangan dalam hidupnya, baik ketika mereka berstatus sebagai mahasiswa maupun ketika mereka telah menyelesaikan studinya.

Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Malang diharapkan tampil sebagai calon pemimpin umat dan diharapkan tampil sebagai sosok intelektual yang ulama dan ulama yang intelek dan profesional. Penelitian tentang sosok tersebut telah dilakukan Aziz (2006b) menemukan bahwa tingkat kepribadian ulul albab yang ditandai dengan empat kekuatan tersebut diatas pada mahasiswa UIN Malang berada pada kategori tinggi. Hasil ini menjadi sangat penting untuk dikaji lebih lanjut dengan cara melihat apakah keempat karakteristik kepribadian ulul albab tersebut mempunyai hubungan dengan kemampuan seseorang dalam menghadapi tantangan hidup.

Pertanyaan inilah yang kemudian menjadi alasan bagi penulis untuk meneliti bagaimana pengaruh kepribadian ulul albab terhadap kemampuan menghadapi tantangan pada mahasiswa Universitas Islam Negeri Malang. Penelitian ini menjadi sangat penting karena selain mempunyai tingkat originalitas yang tinggi juga mempunyai manfaat yang signifikan khususnya bagi lembaga Universitas Islam Negeri Malang. Dari uraian diatas maka yang dijadikan rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh kepribadian ulul albab terhadap kemampuan menghadapi tantangan pada mahasiswa Universitas Islam Negeri Malang?

Tujuan dan Manfaat Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mendapatkan data tentang hubungan antara kepribadian ulul albab yang dicirikan dengan kedalaman spiritual, keagungan akhlak, keluasan ilmu dan kematangan profesional dengan kemampuan menghadapi tantangan hidup pada mahasiswa Universitas Islam Negeri Malang.

Salah satu manfaat teoritis yang bisa diperoleh dari penelitian ini adalah adanya tambahan khasanah keilmuan dalam bidang psikologi islami, karena salah satu bentuk dari pengembangan psikologi islami adalah dengan membangun teori-teori yang bersumber dari Al-Quran dan Al-Hadits atau khazanah keilmuan Islam yang kemudian diuji dalam dataran praktis.

Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat pengaruh kepribadian ulul albab terhadap kemampuan menghadapi tantangan, semakin tinggi tingkat kepribadian ulul albab maka semakin tinggi tingkat kemampuan menghadapi tantangan pada mahasiswa Universitas Islam Negeri Malang

Definisi Operasional
Untuk menghindari kesalah-pahaman maka dalam penelitian ini perlu diberikan definisi operasional sebagai berikut:
  1. Kemampuan menghadapi tantangan hidup yaitu kemampuan seseorang untuk mampu bertahan dalam menghadapi kesulitan hidup. Kemampuan ini dicirikan dengan adanya kemampuan untuk mengendalikan diri, kemampuan menanggung suatu akibat, kemampuan menjangkau kesulitan, dan kemampuan untuk bertahan.
  2. Kepribadian ulul albab adalah karakteristik kepribadian yang dicirikan dengan adanya empat kekuatan yaitu kedalaman spiritual, keagungan akhlak, keluasan ilmu, dan kematangan profesional.
Kajian Teori
Istilah kemampuan menghadapi tantangan hidup diambil dari konsep yang dikembangkan oleh Stoltz (2000) dengan sebutan Adversity Quotient. Menurutnya konsep ini bisa terwujud dalam tiga bentuk yaitu 1) sebagai kerangka konseptual baru untuk memahami dan meningkatkan semua aspek keberhasilan; 2) sebagai ukuran bagaimana seseorang merespon kemalangan; dan 3) sebagai perangkat alat untuk memperbaiki respon seseorang terhadap kemalangan. Dengan kata lain Adversity Quotient merupakan suatu kemampuan untuk dapat bertahan dalam menghadapi segala persoalan ataupun kesulitan hidup.

Adversity Quotient seseorang dapat dijadikan ukuran untuk memprediksi kehidupannya pada masa mendatang, karena itu menurut Hari (2001) kemampuan ini mampu memperkirakan seseorang dalam empat hal, yaitu: 1) menyatakan seberapa tegar seseorang dalam menghadapi dan mengatasi kesulitan; 2) memperkirakan siapa yang mampu mengatasi kesulitan dan siapa yang akan gagal; 3) memperkirakan siapa yang dapat maksimal potensinya dan siapa yang tidak; dan 4) memperkirakan siapa yang akan menyerah dan siapa yang akan bertahan.

Selanjutnya Stolzt (2000) membagi tantangan atau kesulitan menjadi tiga tingkatan yaitu kesulitan di masyarakat, kesulitan di tempat kerja, dan kesulitan individual. Ia menggambarkan ketiga kesulitan tersebut dalam suatu piramida artinya tingkat kesulitan di mulai dari puncak menuju ke bawah. Dengan kata lain akumulasi kesulitan dimasyarakat akan berpengaruh pada kesulitan di tempat kerja dan akhirnya berpengaruh juga pada kesulitan individual. Untuk mengatasinya dimulai dari piramida terbalik artinya semua perubahan positif terjadi pada ketiga tingkatnya berawal dari individu dan terus ke atas, mempengaruhi tempat kerja dan kondisi masyarakat.

Adversity Quotient sebagai suatu kemampuan terdiri dari empat dimensi yang disingkat dengan sebutan CORE yaitu dimensi control, origin-ownership, reach, dan endurance (Stoltz: 2000). Penjelasan dari keempat dimensi tersebut adalah:
  1. Control (pengendalian): yaitu sejauhmana seseorang mampu mempengaruhi dan mengendalikan respon individu secara positif terhadap situasi apapun.
  2. Origin-Ownership (asal-usul dan pengakuan), yaitu sejauhmana seseorang menanggung akibat dari suatu situasi tanpa mempermasalahkan penyebabnya. Dimensi asal-usul sangat berkaitan dengan perasaan bersalah sedangkan dimensi pengakuan lebih menitik beratkan kepada “tanggung jawab” yang harus dipikul sebagai akibat dari kesulitan.
  3. Reach (jangkauan) yaitu sejauhmana seseorang membiarkan kesulitan menjangkau bidang lain dalam pekerjaan dan kehidupannya.
  4. Endurance (daya tahan) yaitu seberapa lama seseorang mempersepsikan kesulitan ini akan berlangsung.
Istilah kepribadian merupakan terjemahan dari kata personality yang diambil dari bahasa inggris. Akar kata tersebut berasal dari kata latin persona yang berarti topeng, yaitu topeng yang dipakai oleh aktor drama atau sandiwara ketika memainkan perannya (suryabrata: 1990). Dalam bahasa arab, istilah kepribadian ekuivalen dengan kata syakhsiyyah. Selain itu dalam bahasa arab juga dikenal istilah huwiyah, dzatiyah, nafsiyah, aniyyah, dan khuluqiyyah. Menurut Mujib (2006) istilah diatas meskipun mempunyai kemiripan makna dengan kata syakhsiyyah tapi masing-masing memiliki keunikan makna masing-masing.

Kata yang paling tepat untuk mengartikan istilah kepribadian (personality) adalah syaksiyyah yang berasal dari kata syakhs yang berarti pribadi. Kata tersebut kemudian diberi ya nisbah sehingga menjadi kata benda buatan (mashdar syina`i) sehingga bentuk lengkapnya menjadi syahksiyyah yang diterjemahkan menjadi kepribadian. Dalam bahasa arab modern kata inilah yang dimaksud dengan kepribadian.

Dalam Istilah psikologi memang ada dua kata yang erat kaitannya dengan istilah personality diantaranya adalah kata identity dan individuality. Dalam kamus psikologi yang dikarang oleh Chaplin (1989) ditemukan adanya perbedaan makna antara kedua kata tersebut. Kata identity berarti diri atau aku-nya individu. Tegasnya menunjukkan suatu kondisi kesamaan dalam sifat-sifat karakteristik yang pokok, sedangkan kata individuality menunjukkan segala sesuatu yang menunjukkan individu perbedaan individu yang satu dengan individu yang lain.

Dari uraian diatas, maka bisa dipahami bahwa yang dimaksud dengan kepribadian pada penelitian ini lebih menunjukkan pada satu karakteristik individu baik berupa sifat, sikap, ataupun kecenderungan perilaku tertentu yang mampu menjadi pembeda antara individu yang satu dengan individu lainnya. Dengan demikian, yang dimaksud pribadi Ulul Albab adalah suatu jenis kepribadian yang memiliki karakteristik tertentu sebagai seorang Ulul Albab. Karakteristik yang dimaksud adalah kedalaman spiritual, keagungan akhlak, kematangan profesional, dan keluasan ilmu.

Istilah Ulul Albab diambil dari bahasa Al-Quran sehingga untuk memahaminya diperlukan kajian terhadap nash-nash yang berbicara tentang Ulul Albab, karena itu agar diperoleh pemahaman yang utuh mengenai istilah tersebut, maka diperlukaan kajian mendalam terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan Ulul Albab, baik dari segi lughawi (bahasa) maupun dari kandungan makna yang dibangun dari pemahaman terhadap pesan, kesan, dan keserasian (munasabah) antara ayat yang satu dengan ayat-ayat sebelumnya.

Shihab (1993) seorang ahli tafsir di Indonesia menjelaskan bahwa kata Albab adalah bentuk jamak dari kata lubb yang berarti saripati sesuatu. Kacang misalnya, memiliki kulit yang menutupi isinya, maka isi kacang itulah yang disebut dengan lubb. Dengan demikian, Ulul Albab adalah orang-orang yang memiliki akal yang murni, yang tidak diselubungi oleh kulit atau kabut ide yang dapat melahirkan kerancuan dalam berfikir sebagaimana terungkap dalam Al-Quran Surat Ali Imron ayat 190-191. Dalam kaitannya dengan Al-Quran surat Ali Imron ayat diatas, ia menjelaskan bahwa orang yang berdzikir dan berfikir (secara murni) atau merenungkan tentang fenomena alam raya, maka akan dapat sampai pada bukti yang sangat nyata tentang keesaan dan kekuasaan Allah.

Muhaimin (2003) yang berdasarkan hasil kajian terhadap istilah “Ulul Albab”, sebagaimana terkandung dalam 16 ayat al-Quran, ditemukan adanya 16 ciri khusus yang selanjutnya diperas ke dalam 5 (lima) ciri utama, yaitu: (1) Selalu sadar akan kehadiran Tuhan disertai dengan kemampuan menggunakan potensi kalbu (dzikir), dan akal (pikir) sehingga sampai pada keyakinan adanya keagungan Allah swt dalam segala ciptaannya; (2) Tidak takut kepada siapapun kecuali kepada Allah swt, mampu membedakan dan memilih antara yang baik dan yang jelek; (3) Mementingkan kualitas hidup baik dalam keyakinan, ucapan maupun perbuatan, sabar dan tahan uji; (4) Bersungguh-sungguh dan kritis dalam menggali ilmu pengetahuan; (5) Bersedia menyampaikan ilmunya kepada masyarakat dan terpanggil hatinya untuk ikut memecahkan problem yang dihadapi masyarakat.

Keberhasilan hidup bagi penyandang Ulul Albab bukan terletak pada jumlah kekayaan, kekuasaan, sahabat, dan sanjungan yang diperoleh, melainkan terletak pada keselamatan dan kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Penyandang Ulul Albab selalu memilih jenis dan cara kerja yang shaleh artinya mereka bekerja dengan cara yang benar, lurus, ikhlas, dan profesional.

Ulul Albab meyakini adanya kehidupan jasmani dan ruhani, dunia dan akhirat. Kedua dimensi kehidupan tersebut harus memperoleh perhatian yang seimbang dan tidak dibenarkan hanya memprioritaskan salah satunya. Keberuntungan dunia harus berdampak positif pada kehidupan akhirat, demikian juga sebaliknya. Hal ini didasari ajaran Rasulullah yang mengharuskan umat Islam untuk mencari kehidupan dunia seolah-olah akan hidup selamanya, dan mencari kehidupan akhirat seolah-olah kematian sudah di depan mata. Untuk mencapai tujuan tersebut maka pendidikan harus mampu mengembangkan dzikir, fikr, dan amal shaleh. Menurut Suprayogo (2004) ukuran keberhasilan dari pendidikan Ulul Albab dianggap tercapai ketika pribadi yang terbentuk dalam proses pendidikan memiliki kualitas sebagai berikut: 1) Mempunyai ilmu pengetahuan yang luas; 2) Mempunyai penglihatan yanag tajam; 3) Bercorak cerdas; 4) Berhati lembut; 5) Bersemangat juang tinggi karena Allah sebagai pengejawantahan amal shaleh.

Dari uraian tentang ulul albab diatas, menurut penulis bentuk operasional suatu alat ukur adalah konsep Ulul Albab yang ditandai adanya empat kekuatan yaitu:
  • Kedalaman spiritual yaitu kemampuan individu dalam memaknai kehidupan dan berperilaku yang didasari dengan adanya semangat spiritual. Kemampuan ini dicirikan dengan adanya kesadaran terhadap kehadiran Allah, kemampuan untuk mengagumi ciptaan Allah, rasa takut hanya oleh Allah.
  • Keagungan akhlak yaitu kemampuan individu untuk berperilaku mulia sesuai dengan ajaran Islam sehingga perilaku tersebut menjadi ciri dari kepribadiannya. Kemampuan ini dicirikan dengan adanya kemampuan untuk meningkatkan kualitas hidup baik berupa keyakinan, lisan, maupun perbuatan, dan kemampuan untuk bersabar dalam menghadapi cobaan, dan kemampuan membedakan yang baik dan yang buruk.
  • Keluasan ilmu yaitu kualitas seseorang yang dicirikan dengan kepintaran dan kecerdikan dalam menyelesaikan masalah sesuai dengan bidang keahliannya. Kemampuan ini dicirikan dengan sikap bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu, kemampuan untuk selalu menggunakan potensi akal fikiran, dan kemampuan untuk selalu menggunakan potensi kalbu (perasaan).
  • Kematangan profesional yaitu kemampuan seseorang untuk bekerja dan berperilaku sebagai seorang profesional dibidangnya. Kemampuan ini dicirikan dengan adanya kesediaan untuk menyampaikan ilmu, kesediaan berperan serta dalam memecahkan masalah umat, dan kebiasaan untuk bertindak sesuai dengan ilmu.
Selanjutnya, hubungan antara konsep ulul albab dengan adversity Quaotient bisa dipahami dari penjelasan berikut: Konsep ulul albab yang dikembangkan pada mahasiswa UIN Malang berupa empat karakteristik kepribadian diharapkan tumbuh dan berkembang pada mahasiswa dan merupakan bekal bagi mereka dalam menjalani dan menghadapi tantangan dalam hidupnya baik sebagai seorang mahasiswa maupun kelak ketika mereka telah menyelesaikan pendidikannya, sedangkan kemampuan menghadapi tantangan hidup adalah suatu kemampuan yang banyak dipengaruhi oleh faktor lain, baik yang sifatnya eksternal (berada diluar diri mahasiswa yang bersangkautan) maupun yang berasal dari aspek internal yang berupa kualitas kepribadian tertentu, diantaranya adalah empat karakteristik kepribadian ulul albab.

Metode Penelitian
Jenis penelitian ini termasuk pada penelitian korelasional karena bertujuan untuk melihat pengaruh kepribadian ulul albab terhadap kemampuan menghadapi tantangan. Dilihat dari datanya, penelitian ini dikategorikan sebagai jenis penelitian kuantitatif karena data yang diperoleh berupa angka dan analisisnya menekankan pada data-data numerikal yang diolah dengan analisis statistik.

Populasi penelitian ini adalah mahasiswa UIN Malang semester akhir. Jumlah sampel sebanyak 139 mahasiswa yang pengambilan sampelnya dilakukan dengan teknik purposive di tiga fakultas yaitu fakultas sains dan teknologi, fakultas psikologi, dan fakultas humaniora dan bahasa.

Pengambilan data dilakukan dengan dua angket yaitu angket kepribadian ulul albab yang disusun penulis dan angket kemampuan menghadapi tantangan hidup merupakan angket yang dibuat oleh Stolzt (2000) yang telah dimodifikasi oleh Mufita (2004). Untuk angket kepribadian ulul albab terdiri dari 37 item dengan reliabilitas sebesar @0,861. Angket ini telah dipublikasikan oleh Aziz (2006a) dan dikritisi dari sudut pandang Psikometri oleh Ridlo (2006) sedangkan untuk angket kemampuan menghadapi tantangan hidup jumlah item sebanyak 45 item dengan reliabilitas sebesar @0,869 sehingga bisa disimpulkan bahwa kedua angket yang digunakan telah memenuhi standar metodologis.


Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan hasil analisis deskriptif tentang kedua variabel diatas, ditemukan bahwa tingkat kepribadian ulul albab pada subjek penelitian berada pada kategori sedang, data ini diperoleh dari 121 orang mahasiswa ada sebanyak 54 orang (44,60%) yang mempunyai kategori sedang, demikian juga dengan tingkat kemampuan menghadapi tantangan bahwa dari 121 orang ada sebanyak 50 orang (41,30%) berada pada ketegori sedang.

Berdasarkan hasil uji normalitas dan linearitas sebagai uji prasyarat analisis ditemukan bahwa kedua variabel tersebut dinyatakan normal tapi tidak linear, karena itu analisis dilakukan dengan statistik non-parametrik. Dari hasil analisis dengan teknik korelasi rank spearman diperoleh nilai r sebesar 0,182 dengan nilai P sebesar 0,45. Hal ini berarti kepribadian ulul albab berpengaruh terhadap kemampuan menghadapi tantangan pada mahasiswa Universitas Islam Negeri Malang.

Temuan lain, berdasarkan analisis varians tentang uji beda kedua variabel ditinjau dari perbedaan jenis kelamin menunjukkan hasil bahwa untuk kepribadian ulul albab nilai F=2,023 dan P=0.157 sedangkan untuk kemampuan menghadapi tantangan nilai F=0,387 dan P=.535, hal in berarti tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal kepribadian ulul albab dan kemampuan menghadapi tantangan.

Berbeda dengan hasil diatas, berdasarkan analisis varians tentang uji beda kedua variabel diatas ditinjau dari status aktivitas mahasiswa dalam berorganisasi menunjukkan hasil bahwa untuk kepribadian ulul albab nilai F=5,102 dan P=0.026, sedangkan untuk kemampuan menghadapi tantangan nilai F=0,039 dan P=.843, hal ini berarti tidak ada perbedaan antara aktivis dan non-aktivis dalam hal kemampuan menghadapi tantangan hidup, sedangkan dalam hal kepribadian ulul albab ditemukan adanya perbedaan yang signifikan antara keduanya, dengan perbedaan mean sebesar 78,63 untuk aktivis dan 76,66 untuk non aktivis, artinya aktivis mahasiswa lebih tinggi tingkat kepribadian ulul albabnya dibanding dengan non-aktivis.

Hasil diatas menunjukkan bahwa program pendidikan ulul albab yang dikembangkan UIN Malang diduga akan mampu membekali mahasiswanya untuk mengatasi tantangan dan hambatan yang akan terjadi, baik pada saat ini ketika mereka bersatatus sebagai mahasiswa maupun nanti ketika mereka sudah menjadi sarjana di bidangnya masing-masing, namun demikian hasil yang diperoleh menunjukkan tingkat korelasinya yang cenderung tidak terlalu tinggi, hal ini berarti juga bahwa masih ada sesuatu yang harus diperbaiki dari program pendidikan yang dilaksanakan. Secara metodologis, ada beberapa hal yang perlu dicermati sehubungan dengan hasil ini yang mungkin juga menjadi keterbatasan dari penelitian, diantaranya adalah:

  • Penggunaan teknik purposive dalam pengambilan sampel yang memungkinkan terjadinya error sampling. Hal ini bisa dilihat dari nilai P=.045, ini berarti bahwa dari 100 kali penelitian yang sama diduga akan terjadi kesalahan sebanyak 4,5 kali. Secara statistik, angka ini masih bisa ditolerir kesalahannya karena dalam ilmu-ilmu sosial batas kesalahan yang bisa ditolerir hanya sebanyak 0,05 atau dari 100 kali penelitian hanya 5 kali saja boleh terjadi kesalahan.
  • Kurang tepatnya penggunaan angket kemampuan menghadapi tantangan hidup. Angket ini memang mengikuti model yang dikemukakan Stoltz, tapi dalam perumusan item-itemnya diarahkan untuk kesiapan subjek dalam menghadapi persaingan kerja sehingga banyak aspek lain dalam kehidupan yang tidak terungkap dalam angket ini. Selain itu, angket ini tidak dilakukan uji coba kembali sehingga ada kemungkinan adanya item-item yang sudah tidak relevan dengan subjek penelitian.
  • Secara teoritis, penelitian yang menghubungkan antara kepribadian ulul albab dan kemampuan menghadapi tantangan hidup masih belum banyak dilakukan, atau bahkan mungkin baru penelitian inilah yang pertama kali dilakukan, karena itu landasan teoritis yang benar-benar memadai dalam menjelaskan hubungan antara kedua variabel diatas sulit ditemukan.
Dari uraian mengenai hasil penelitian, upaya yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kemampuan menghadapi tantangan pada mahasiswa, diantaranya adalah dengan meningkatkan dan memaksimalkan proses pendidikan ulul albab karena dengan tingginya tingkat kepribadian ulul albab maka akan tinggi pula kemampuan mereka dalam menghadapi tantangan.

Salah satu yang saat ini dilakukan untuk mengembangkan kepribadian ulul albab adalah mulai dilaksanakannya program tarbiyatul ulil albab yang diberikan pada seluruh mahasiswa baru. Program ini merupakan mata kuliah 0 SKS yang salah satu tujuan dari program ini adalah menanamkan dasar-dasar pengembangan dan penguasaan ilmu dalam konteks integrasi antara science dan agama, walaupun program ini belum bisa terlihat efektivitasnya karena memang baru pertama kali dilakukan namun satu hal yang pasti bahwa program ini meruakan salah satu jawaban alternatif untuk meningkatkan kepribadian ulil albab.

Penulis berpendapat bahwa kepribadian ulul albab sebagai jargon yang dipraktikan dalam kegiatan pendidikan di UIN Malang bukanlah satu-satunya faktor yang berpengaruh terhadap tinggi rendahnya tingkat kemampuan menghadapi tantangan, bukti empirik menunjukkan hubungan yang tidak terlalu besar artinya masih ada faktor lain yang diduga berpengaruh terhadap tinggi rendahnya kemamapuan menghadapi tantangan baik yang sifatnya internal seperti kecerdasan intelektual, kecerdasan spiritual dan lain sebagainya maupun juga yang sifatnya eksternal seperti latar belakang keluarga, suasana tempat tinggal, pengalaman pendidikan sebelumnya dan lain sebagainya. Faktor-faktor itulah yang mungkin bisa dijadikan bahan pertimbangan bagi para peneliti lebih lanjut yang tertarik dan berminat untuk memperbaiki dan menyempurnakan hasil penelitian ini.

Daftar Pustaka

Aziz, Rahmat, 2006, Alternatif pengukuran Kepribadian Ulul Albab, Psikoislamika, Vo.3, No.1, 1-18

Aziz, Rahmat, 2006, Pengembangan Kepribadian Ulul Albab Pada Mahasiswa UIN Malang, (Laporan Penelitian), Malang: Lembaga Penelitian & Pengembangan UIN Malang

Aziz, Rahmat & Mangestuti, Retno, 2006, Tiga Jenis kecerdasan dan Agresivitas Mahasiswa, Psikologika, no.21 tahun XI, 64-77

Bastaman, Hanna Djumhana, 1996, Logotherapi, Mengembangkan Hidup Bermakna, Jakarta: Paramadina

Chaplin, C.P., 1993, Kamus Psikologi (Terjemah Kartini Kartono), jakarta: Raja Grafindo Persada
Mufita, Riska, 2004, Pengaruh Adversity Quotient dan Emotional Quotient Terhadap Kecemasan Menghadapi Persaingan Kerja, (Skripsi) Malang: Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Malang

Muhaimin, 2003, Penyiapan Ulul Albab, Pendidikan Alternatif masa Depan, el-Hikmah, Jurnal Pendidikan Fakultas Tarbiyah, Vol.1 No.1, 20

Mujib, Abdul, 2005, Psikologi Kepribadian Islam, jakarta: Rajawali Press

Mulyadi & Mufita, Riska, 2006, Pengaruh Adversity Quotient dan Emotional Quotient Terhadap Kecemasan Menghadapi Persaingan Kerja, Psikoislamika, Edisi Januari, Vo.3, No.1, 33-49

Ridho, Ali, 2006, Validasi Struktual, Convirmatory Factor Analysis Pada Model Pengukuran Ulul Albab, Psikoislamika, Edisi Juli, Vo.3, No.2

Suprayogo, Imam, 2004, Tarbiyah Ulul Albab: Dzikir, Fikr, dan Amal Shaleh, Malang: Universitas Islam Negeri Malang

Stoltz, Paul, G., 2000, Adversity Quotient, Turning obstacles into opportunities, New York: Willey

Pembelajaran Kooperatif & Kompetitif

PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF DAN KOMPETITIF
DALAM MENGEMBANGKAN KREATIVITAS

Oleh:
Rahmat Aziz, M.Si

dipublikasikan pada jurnal:
MADRASAH, Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Dasar,
Vol 1, No 1, Juli-Desember 2008


Abstrak
Both cooperative and competitive methods are influence the student creativity. However, base on the research study the cooperative methods understood is more effective than competitive methods in developing creativity student. Therefore, using both methods should be tried in learning process in classes.


Urgensi pengembangan kreativitas
Kreativitas merupakan aspek yang sangat penting dan berharga dalam setiap usaha manusia, sebab melalui kreativitas akan dapat ditemukan dan dihasilkan berbagai teori, pendekatan, dan cara baru yang sangat bermanfaat bagi kehidupan. Tanpa adanya kreativitas, kehidupan akan lebih merupakan suatu yang bersifat pengulangan terhadap pola-pola yang sama (Sternberg, 1992;. Menurut Juan Huarte (dalam Wahab, 2006) kreativitas merupakan jenis kecendikiaan tertinggi pada umat manusia yang tidak dimiliki oleh makhluk lain.

Kreativitas dapat dipahami dengan pendekatan process, product, person, dan press (Rhodes, 1961). Namun pengukuran yang banyak dilakukan para ahli hanya dilakukan pada ketiga aspek saja yaitu aspek process, product dan person (Eysenk, 1993; Simonton, 2003; Michael, 2001; Salsedo, 2006) sedangkan aspek press diartikan sebagai usaha untuk menciptakan lingkungan yang mendukung pada pengembangan kreativitas anak (Vidal, 2005), baik di lingkungan masyarakat (Chuang, 2007), lingkungan keluarga (Chan, 2005), maupun lingkungan sekolah (King, 2007). Sekolah merupakan aspek yang sangat strategis dalam mengembangkan kreativitas siswa (Munandar, 1999).

Pengembangan kreativitas biasa dilakukan dengan dua cara yaitu 1) memberikan pelatihan yang berhubungan dengan kreativitas kemudian mengukur secara langsung perubahan yang terjadi akibat perlakuan tersebut seperti dilakukan oleh Gendrof (1996), 2) memadukan suatu perlakuan dalam pelajaran tertentu kemudian mengukur tingkat kreativitasnya sebagai dampak pengiring (nurturant effect) dari suatu proses pembelajaran, cara ini telah dilakukan oleh banyak peneliti antara lain Teo & Tan, (2005).

Kenyataan yang ada pada saat ini menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia lebih berorientasi pada hasil yang bersifat pengulangan, penghapalan, dan pencarian satu jawaban yang benar terhadap soal-soal yang diberikan. Proses-proses pemikiran tingkat tinggi termasuk berpikir kreatif jarang sekali dilatihkan (Joni, 1992). Demikian juga dengan kemampuan menulis siswa. Hasil temuan Wati (2005) menyatakan bahwa tingkat kemampuan menulis siswa berada pada kategori rendah, salah satu faktor yang diduga menjadi penyebabnya adalah proses pembelajaran di kelas yang kurang variatif.

Saat ini kebutuhan akan pengembangan kreativitas dirasakan sudah sangat mendesak karena kreativitas sangat penting baik untuk pribadi maupun sosial. Sehubungan dengan itu peranan orangtua, guru, dan masyarakat sangat menentukan bagi keberhasilan pembinaan dan pengembangan kreativitas siswa, karena kreativitas merupakan suatu potensi yang akan berkembang bila siswa berada dalam lingkungan yang kondusif (Sternberg & Lubart, 1995).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengembangan kreativitas menjadi suatu keniscayaan untuk segera dilakukan dan pada konteks inilah pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis dalam pengembangan kreativitas siswa. Tujuan pendidikan menurut Munandar (1999) adalah menyediakan lingkungan yang memungkinkan peserta didik untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya secara optimal sesuai dengan kebutuhan pribadi dan masyarakat sekitarnya, karena itu pendidikan bertanggung jawab untuk memandu dan mengembangkan potensi kreatif yang dimiliki siswa.

Model Kooperatif dan Kompetitif sebagai Alternatif
Teori tentang kooperatif dan kompetitif pertama kali dikembangkan oleh Morton Deutsch pada tahun 1949 dalam bukunya “Theory of cooperative and competitive”. Teori ini digunakan untuk menjelaskan cara menangani masalah yang berhubungan dengan konflik sosial, kemudian pada pertengahan tahun 80-an teori tersebut dikembangkan oleh David Johnson dan kawan-kawan ketika menjelaskan masalah pembelajaran di kelas, yang kemudian terkenal dengan konsep cooperative learning.

Menurut Deutsch dan Coleman (2000) teori tentang kooperatif dan kompetitif mempunyai dua gagasan pokok yang berhubungan dengan jenis saling ketergantungan dalam aspek tujuan dan jenis tindakan yang dilakukan seseorang. Dalam praktek pembelajaran di kelas, David Johnson dan Roger Johnson adalah dua orang saudara yang mengelaborasi teori tentang kooperatif dan kompetitif, dalam menjelaskan teorinya Johnson & Johnson (1994) mengelaborasi menjadi tiga jenis metode yaitu kooperatif yang dicirikan dengan adanya tujuan dan saling ketergantungan, kompetitif adanya tujuan tapi tidak ada ketergantungan, dan individualistik yang dicirikan dengan tidak adanya tujuan dan tidak ada saling ketergantungan antar individu.

Situasi yang kompetitif dicirikan dengan adanya sikap negatif dalam hal ketergantungan, dimana ketika seseorang menang, maka yang lain berarti kalah. Dalam situasi belajar, siswa akan mandiri dan bekerja sendiri dalam mencapai kesuksesan, sehingga kesuksesan dan kegagalan seseorang tidak akan berpengaruh terhadap kelompoknya. Sebaliknya dalam situasi yang kooperatif, interaksi dicirikan dengan adanya saling ketergantungan antar individu. Dalam situasi belajar di kelas, skor yang di peroleh seorang individu akan mempengaruhi skor terhadap kelompoknya, sehingga seorang individu akan bertanggung jawab terhadap keberhasilan dan kegagalan kelompok.

Selanjutnya, dalam menjelaskan pembelajaran kooperatif Johnson & Johnson (1992) menyebutkan adanya lima ciri pokok yaitu: 1) adanya saling ketergantungan positif, 2) adanya interaksi tatap muka, 3) adanya akuntabilitas individual, 4) adanya ketrampilan menjalin hubungan antar pribadi, 5) adanya evaluasi proses kelompok. Dalam praktek pengajaran di kelas, metode kooperatif terdiri dari beberapa teknik. Dalam penelitian ini istilah kooperatif dimaksudkan sebagai suatu metode yang mengandung unsur-unsur kerjasama, saling berbagi, dan sikap empati antar anggota kelompok.

Selanjutnya menurut Johnson & Johnson (1994) ada beberapa anggapan yang tidak selamanya benar, yang biasa dijadikan alasan digunakannya metode kompetitif dalam praktek pembelajaran, diantara anggapan tersebut adalah: 1) Masyarakat kita penuh dengan suasana kompetitif, karena itu siswa harus dipersiapkan untuk menghadapi keadaan ini; 2) Prestasi, sukses, penampilan yang terhormat, ambisi, menjadi pemimpin yang hebat, dan lain sebagainya semuanya berhubungan dengan kompetisi dengan yang lain; 3) Kompetisi membangun karakter dan memperkuat para siswa untuk hidup dalam dunia nyata; 4) Para siswa lebih berhubungan dengan situasi kompetitif; dan 5) Kompetisi mampu membangun percaya diri dan harga diri.

Demikian pula dengan metode kompetitif, ada beberapa anggapan yang biasa dijadikan alasan digunakannya metode kooperatif dalam praktek pembelajaran, diantaranya adalah: 1) Pada pembelajaran kooperatif semua siswa harus kerjasama dan dilarang bekerja secara sendiri-sendiri; 2) Kooperatif akan memperbudak siswa berbakat, sedangkan siswa yang bodoh akan menikmatinya; 3) Siswa yang tidak memberikan kontribusi terhadap kelompok akan diberi hukuman; 4) Kooperatif akan memunculkan adanya banyak siswa yang tidak mau bekerja tapi mereka tetap mendapat manfaat dari kerja kelompoknya; 5) Kooperatif akan menjadikan siswa mempelajari sesuatu yang dianggap mudah saja sementara yang sulit akan ditinggalkan; dan 6) Kooperatif akan menghilangkan identitas pribadi karena kekuatan kelompok akan menjadi penghalang untuk berkembang.

Perbedaan Kooperatif dan Kompetitif
Penelitian tentang kooperatif dan kompetitif telah banyak dilakukan, diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Anderson & Morrow (1995) menemukan adanya perbedaan antara metode kooperatif dan kompetitif dalam meningkatkan agresivitas, perintah yang bernuansa kompetitif lebih meningkatkan agresivitas pada anak. Lanzetta & English (1991) menemukan bahwa metode kompetitif dan kooperatif mampu menimbulkan reaksi emosional yang berbeda pada subjek penelitian.

Penelitian tentang metode kooperatif dalam bidang bahasa dilakukan oleh Steven, Slavin, & Farnish (1991) yang menemukan bahwa metode kooperatif sangat efektif dalam menemukan gagasan pokok dalam suatu paragraf. Supratman (2001), menemukan bahwa metode kooperatif mampu meningkatkan motivasi belajar pada bidang studi geografi. Hal ini disebabkan karena dalam suasana kooperatif terjadi saling pemberian motivasi diantara anggota kelompok siswa.

Penelitian yang membandingkan antara metode kooperatif dan kompetitif telah dilakukan diantaranya adalah penelitian Tjosvold, Leung, & Johnson (2000), menemukan bahwa orang-orang Cina yang dikategorikan berbudaya kolektivistik dalam menghadapi konflik cenderung menggunakan pendekatan kooperatif dibanding kompetitif. Penelitian Glazer (1986) menemukan bahwa metode kooperatif lebih mampu meningkatkan motivasi pada anak-anak, hal ini disebabkan karena adanya saling memberi dukungan sesama teman. Penelitian Featherstone (1986) menemukan bahwa metode kooperatif mampu meningkatkan prestasi dalam setiap level akademik, hal ini bisa dijelaskan karena siswa yang berprestasi rendah dapat memberi kontribusi terhadap kelompoknya dan ia mempunya pengalaman untuk sukses. Selain itu Slavin (1997) menyebutkan metode kooperatif juga mampu meningkatkan hubungan interpersonal antar siswa yang berbeda latar belakang, baik dari aspek jenis kelamin, suku, agama, dan status sosial ekonomi.

Penelitian yang menghubungkan antara metode kooperatif dan kompetitif dengan kreativitas telah dilakukan oleh Torrence (1974) yang menemukan bahwa lingkungan negatif dapat berpengaruh negatif terhadap perkembangan dan ekspresi berfikir kreatif. Selanjutnya ia menyatakan bahwa lingkungan yang didalamnya terdapat pengajaran terhadap cara berfikir, penghargaan dan kompetisi dapat meningkatkan berfikir kreatif.

Penelitian Ward (1969) menemukan bahwa terdapat pengaruh konteks fisik (lingkungan) terhadap kecepatan seseorang untuk menghasilkan suatu gagasan. Kecepatan menghasilkan gagasan adalah salah satu dari indikator tingginya kreativitas seseorang. Penelitian sejenis dilakukan oleh Amabile & Gitomer (1984), yang menyatakan bahwa kreativitas dipengaruhi oleh kondisi ketika seorang anak mempunyai kesempatan untuk memilih. Penelitian Simonton (1975) menyatakan bahwa situasi kompetitif mempunyai pengaruh negatif terhadap performance kreativitas. Pendapat ini berbeda dengan Sternberg (1995) yang menyatakan bahwa lingkungan yang kooperatif dan kompetitif dapat meningkatkan kreativitas.

Berbeda halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Okebukola (1995), ia menemukan bahwa tidak ada perbedaan performance pada siswa yang dikondisikan dengan kooperatif dan kompetitif. Satu temuan yang menarik ternyata siswa yang dikondisikan dalam situasi kooperatif sekaligus kompetitif mempunyai performance yang lebih baik dibanding dengan siswa yang hanya dikondisikan dalam situasi kooperatif atau kompetitif saja.

Hasil serupa ditemukan dalam penelitian terbaru yang dilakukan oleh Tauer & Harackiewicz (2004) menemukan bahwa tidak adanya perbedaan pengaruh antara metode kooperatif dan kompetitif dalam hal peningkatan motivasi intrinsik dan performance. Ditemukan perbedaan ketika subjek dikondisikan dalam situasi yang kooperatif sekaligus kompetitif. Menurut mereka hal ini membuktikan bahwa baik metode kooperatif maupun kompetitif mempunyai aspek positif dalam meningkatkan suatu performance.

Pendapat berbeda dikemukakan berdasarkan hasil kajian yang dilakukan Johnson, Johnson, Holubee (1998) yang menemukan bahwa setidaknya ada tiga keuntungan besar dari pelaksanaan metode kooperatif, yaitu:

  1. Adanya usaha yang lebih kuat dalam mencapai prestasi, hal ini dicirikan dengan adanya kemampuan berupa pencapaian prestasi belajar yang baik, kemampuan untuk mengingat lebih baik, adanya motivasi intrinsik, dan sebagainya.
  2. Adanya hubungan yang lebih positif antar siswa, hal ini dicirikan dengan adanya sikap saling menjaga dan komitmen terhadap hubungan, saling mendukung secara sosial dan akademik, pengakuan terhadap keberagaman, dan sebagainya.
  3. Adanya kondisi psikologis yang lebih sehat, yang dicirikan dengan adanya kemampuan untuk penyesuaian diri secara umum, pengembangan kekuatan ego, pengembangan sosial, dan sebagainya.
Perbedaan kooperatif dan kompetitif dalam konteks kreativitas telah dikemukakan oleh Munandar (1999) yang mengutip proses eksperimen yang membandingkan sekelompok siswa dalam membuat suatu kolase. Pada kelompok kooperatif, siswa disuruh membuat kolase tanpa diberitahu sebelumnya ada pemberian hadiah bagi yang kolasenya paling baik, sedangkan pada kelompok kompetitif, sebelumnya diberitahukan bahwa tiga kelompok yang kolasenya paling baik akan mendapat hadiah. Hasilnya ternyata kelompok kooperatif lebih kreatif dalam membuat kolase.

Dari berbagai hasil kajian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa baik metode kooperatif maupun metode kompetitif akan mempunyai pengaruh dalam pengembangan kreativitas, dan dari hasil kajian terhadap berbagai hasil penelitian di temukan adanya kecenderungan bahwa metode kooperatif diduga lebih efektif dalam meningkatkan kreativitas dibanding dengan metode kompetitif. Karena itu penggunaan kedua model pembelajaran tersebut layak dicoba untuk praktekan dalam proses pembelajaran di kelas.


Daftar Pustaka

Chan, D.W. (2005). Family environtment and talent development of Chinese gifted student in Hongkong, Gifted Child Quarterly, 49, 3, 211-221

Chuang, L.M. (2007). The social psychology of creativity and innovation: Process theory perspective, Social Behavior and Personality, 35, 7, 875-887

Coleman, P.T., Deutsch, M., (2000) “Some Guidelines for Developing a Creative Approach to Conflict”, in Coleman &, Deutsch, (eds.) The Hand Book of Conflict Resolution: Theory and Practice, John Willey & Sons, Inc,

Deutsch, M., & Coleman, P.T., (2000) “Cooperation and Competition”, in Coleman &, Deutsch (eds.) The Handbook of Conflict Resolution: Theory and Practice, John Willey & Sons, Inc,

Eysenk, H. (1993). Creativity and personality: a theoretical perspective, Psychological Inquiry, 4, 147-178

Glasser, W.(1986). Control Theory in The Classroom, New York: Harver and Row, Inc

Johnson, D.W., & Johnson, R., (1994), learning Together and Alone: Coopereative, Competitive, and individualistic, Englewood Cliff N.J,: Prentice Hall, inc

Johnson, D.W., Johnson, R., & Holubec, E., (1993) Cooperation in The Classroom, Edina, Minn: Interaction Book Company

Joni, T.R. (1992). Memicu Perbaikan Pendidikan melalui Kurikulum. Basis, No.07-08, 49, 41-48

Joyce, M., & Weil, J. (2000). Models of Teaching, Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

King, N. (2007). Developing imagination, creativity, and literacy through collaborative storymaking: a way of knowing, Harvard Educational Review, 77, 2, 204-227

Lanzetta, J.T. & English, B.G. (1991). Expectations of cooperation and competition and their effects of observers vicarious emotional responses, Journal of Personality & Social Psychology, April 56 (4), 543-554

Lie, A. (2004). Cooperative Learning, Memperaktikkan Cooperative Learning di Ruang-ruang Kelas, Jakarta: Gramedia

Michael, K.Y. (2001). The effect of computer simulation activity versus a hands-on activity on product creativity in technology education, Journal of Technology Education, 13, 1, 31-43

Munandar, S.C.U. (1999). Kreativitas dan Keberbakatan, Strategi Mewujudkan Potensi Kreatif dan Bakat, Jakarta: Gramedia

Okebukola, P.A., (1995), Impact of Extended Cooperative and Competitive Relationships on the Performance of Student in Science, Human Relations, 39, 7, 673-682

Rhodes, M. (1961). An Analysis of Creativity, in: Isaken (editor), Frontiers of Creativity Research, Beyond The Basic, Buffalo, New York: Bearly, Ltd

Salsedo, J. (2006). Using implicit and explicit theories of creativity to develop a personality measure for assessing creativity, Dissertation, New York: Department of Psychology at Fordham University

Simonton, D. (2003). Scientific creativity as constrained stochastic behavior, The integration of product, person, and process perspective, Psychological Buletin, 129, 475-494

Slavin, R.E. (1997). Educational Psychology: Theory and Practice, Boston: Allyn & Bacon

Sternberg, R. (1992). Cognitive Approach to Intelligence, In B.B Wolman (Eds), Handbook of Intelligence: Theories, Measurement, And Application, New York: John Willey and Sons

Sternberg, R.J., & Lubart, T.I. (1995). Defying The Crowd, Cultivating Creativity in a Cultural of Conformity, New York: A Division of Simon & Schuster Inc

Stevens, R.j., Slavin, R.E., & Farnish, A.M., (1991), The Effect of Cooperative Learning and Direct Instruction in Reading Comprehension Strategies on Main Idea Identification, Journal of Personality & Social Psychology, Mar 83 ( 1), 8-16

Supraptaman, (2001), Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa Dalam Mata Pelajaran Geografi Melalui Pendekatan Cooperative Learning, Pelangi Pendidikan, 4 (1), 22-24

Tauer, J.M., & Harackiewicz, J.M., (2004), The effect of cooperation and competition on intrinsic motivation and performance, Journal of Personality & Social Psychology, 86 (6) Jun, 849-861

Tjosvold, D., Leung, K., & Johnson, D.W., (2000), “Cooperative and Competitive Conflict in China” in Coleman &, Deutsch (eds.) The Hand Book of Conflict Resolution: Theory and Practice, John Willey & Sons, Inc,

Vidal, R., (2005). Creativity for operational researchers, Investigacao Operacional, 25, 1-24

Wahab, A. (2006). Isu Linguistik, Pengajaran Bahasa dan Sastra, Surabaya: Airlangga University Press

Wati, S. (2005). Penerapan model sinektik dalam meningkatkan kreativitas menulis, Disertasi, Bandung: Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia

Kamis, 13 November 2008

Kecerdasan dan Agresivitas

PENGARUH KECERDASAN INTELEKTUAL (IQ), KECERDASAN EMOSIONAL (EI) DAN KECERDASAN SPIRITUAL (SI) TERHADAP AGRESIVITAS PADA MAHASISWA UIN MALANG

Oleh:
Rahmat Aziz, M.Si & Retno Mangestuti, M.Si


Dipublikasikan pada jurnal:
El-Qudwah, Jurnal Penelitian dan Pengembangan,
Vol 1, No 1, April 2006


ABSTRACT

The purposive of this research is to study the influence of Intelligent Quotient (IQ), Emotional Intelligence (EI), Spiritual intelligence (SI) towards the agresivity to student of student of Islamic State University in Malang.
The subjects in this research were 304 student of Islamic State University in Malang, using proportional random sampling technique, with the result that representative and balance each faculty. The instrument used in this research are IQ test and psychologis scale. Psychologis scale are spiritual intelligence scale, emotional intelligence scale, and agresivity scale. The data were analyzed using analysis of regression with SPSS version 10.0 for windows.
The research result show: Three kinds of intelligence toward the agresivity are 32,5%, with spiritual intelligence (-548), emotional intelligence (-355), and IQ (-116). A good idea to help agresivity problem with developing many kinds of intelligence, specially spiritual intelligence and emotional intelligence.


Key word: Intelligent Quotient, Spiritual Intelligence, Emotional Intelligence, agresivity.



A. Latar Belakang Masalah
Peristiwa yang terjadi pada akhir-akhir ini sangatlah memprihatinkan kita, karena kecenderungan merosotnya moral bangsa hampir terasa di semua strata kehidupan. Krisis moral ini kemudian diikuti dengan menyuburnya pola hidup konsumtif, materialistis, hedonis dan lain sebagainya yang semuanya menyebabkan tersingkirnya rasa kamanusiaan, kebersamaan, dan kesetiakawanan sosial. Khusus di kalangan mahasiswa, problema sosial moral ini dicirikan dengan sikap arogansi, saling memfitnah sesama teman, rendahnya kepeduliaan sosial, meningkatnya hubungan seks pra-nikah, bahkan merosotnya penghargaan dan rasa hormat terhadap orang tua dan dosen sebagai sosok yang seharusnya disegani dan dihormati.
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Malang adalah peserta didik yang diharapkan tampil sebagai calon pemimpin umat. Mereka diharapkan sebagai sosok intelektual yang ulama dan ulama yang intelek dan profesional, dalam kenyataannya peristiwa yang terjadi pada hari Rabu 20 Juni 2001 menyentakkan seluruh civitas akademika karena pada saat itu mahasiswa melakukan penyegelan terhadap seluruh gedung kampus, selain itu mereka melakukan orasi dan menggelar berbagai spanduk yang isinya berupa hujatan terhadap dosen dan pimpinan (Kompas, 21 Juni 2001).

Peristiwa arogan terjadi ketika seorang ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan anggotanya mendatangi pimpinan dengan membawa sebuah pedang hanya untuk meminta persetujuan mencairkan dana kegiatan mahasiswa. Selain itu, mereka juga menyegel sebuah kendaraan universitas dengan alasan mereka juga sebagai pemilik yang harus menikmati kendaraan tersebut. Peristiwa ini berakhir dengan keputusan pengadilan dan pemberian sangsi berupa Drop Out (DO) bagi mahasiswa yang bersangkutan (Jawa Pos, Minggu 4 April 2004).

Pada 9-12 Mei 2005, fakultas psikologi Universitas Islam Negeri Malang diramaikan dengan adanya selebaran gelap dari mahasiswa yang isinya merendahkan martabat dosen dan pimpinan fakultas. Kejadian seperti ini sebelumnya pernah terjadi ketika audiensi antara pihak fakultas baik pimpinan maupun dosen dengan para mahasiswa. Bila dicermati dengan seksama, ternyata kejadian seperti ini terjadi juga di fakultas-fakultas lain, yang semuanya mengisyaratkan tentang adanya kecenderungan meningkatnya perilaku agresif pada mahasiswa.

Istilah agresi sering diartikan sebagai suatu perilaku yang bertujuan untuk menyakiti orang lain baik secara fisik maupun verbal. Pada dasarnya perilaku agresi merupakan kecenderungan yang dimiliki oleh setiap orang hanya kadarnya saja yang berbeda-beda. Berkowitz (2003) mendefinisikan agresi sebagai segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti orang lain secara fisik maupun mental. Pendapat lain menyatakan bahwa menyakiti bukan satu-satunya tujuan karena agresi dapat juga bertujuan untuk melindungi diri sendiri sebagai cara untuk menunjukkan patriotisme ataupun alat untuk mendapat dukungan sosial. Banyak faktor yang mempengaruhi agresivitas seseorang, secara garis besar faktor penyebabnya bisa dikelompokan menjadi faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah faktor yang bersumber pada diri individu yang bersangkutan, yang diantaranya adalah rendahnya tingkat kecerdasan seseorang.

Penelitian yang dilakukan Haditono (dalam Monks, 1994) menemukan bahwa 69,45% remaja agresif memiliki taraf inteligensi di bawah normal. Inteligensi bisaanya diartikan oleh para ahli psikologi sebagai keseluruhan kemampuan individu untuk memperoleh pengetahuan, menguasainya dan mempraktekkannya dalam pemecahan suatu masalah. Kemampuan itu meliputi kemampuan dalam persepsi, mengingat, memahami, menghayal, belajar dan memutuskan. Norvig (dalam Simanjuntak, 1984) menyatakan bahwa yang melakukan kejahatan kesusilaan lebih banyak dilakukan oleh Mentally retarded Persons. Rendahnya tingkat intelegensi menyebabkan remaja tidak mampu melihat dan memperkirakan akibat dari perbuatannya. Dengan demikian, bisa diduga bahwa kecerdasan intelektual (IQ) menjadi salah satu faktor yang berpengaruh terhadap agresivitas seseorang.

Pada tahun 1995, Daniel Goleman mempopulerkan suatu konsep baru dalam bidang psikologi yang disebut dengan Emotional Intelligence. Menurut Goleman (1996) kecerdasan intelektual (IQ) bila tidak disertai dengan pengolahan emosi yang baik tidak akan menghasilkan seseorang sukses dalam hidupnya. Peranan IQ hanyalah sekitar 20% untuk menopang kesuksesan hidup seseorang, sedangkan 80% lainnya ditentukan oleh faktor yang lain. Selanjutnya ia mengatakan bahwa pentingnya pengelolaan emosi bagi manusia dalam pengambilan keputusan bertindak adalah sama pentingnya, bahkan seringkali lebih penting daripada nalar, karena menurutnya, kecerdasan intelektual tidak berarti apa-apa bila emosi yang berkuasa.

Dari uraian diatas bisa diduga bahwa selain kecerdasan intelektual, rendahnya kecerdasan emosional juga bisa berpengaruh terhadap perilaku agresif, hal ini disebabkan karena rendahnya tingkat kecerdasan emosional menjadikan mereka tidak mampu mengendalikan dorongan emosi dan tidak mampu menghargai atau berempati terhadap orang lain.

Pada pertengahan tahun 2000, dunia psikologi dikejutkan kembali oleh adanya penemuan baru yang dikemukakan oleh Danah Zohar dan Ian Marshall tentang kecerdasan manusia yang berhubungan dengan spiritual, yang dikenal dengan sebutan kecerdasan spiritual. Selanjutnya Zohar & Marshal (2000) mengatakan bahwa kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai dalam kehidupan. Penelitian tentang kecerdasan spiritual dilakukan oleh Abror (2004) yang menemukan adanya hubungan positif antara kecerdasan spiritual dengan kinerja. Hasil ini bisa berbeda jika dihubungkan dengan agresivitas, karena rendahnya kecerdasan spiritual bisa menyebabkan mereka kehilangan makna dari suatu perilaku yang ditampilkan sehingga ketika berperilaku agresif mereka tidak tahu makna terdalam dari perilaku tersebut.

Islam sebagai suatu ajaran bagi umat manusia sangat menekankan tentang betapa pentingnya seseorang itu menjadi cerdas baik secara intelektual, emosional maupun spiritual. Banyak sekali ayat Al-Quran yang menganjurkan kepada umat manusia untuk selalu menggunakan akal, emosi (hati), dan spiritualnya. Sebaliknya Islam sangat melarang pada umatnya untuk berbuat keji pada orang lain, salah satu perbuatan keji yang dilarang adalah menyakiti orang lain baik secara lisan maupun fisik, baik secara langsung maupun tak langsung.

Selanjutnya menurut Ginanjar (2003) bahwa ketiga bentuk kecerdasan tersebut diatas sangat penting dan harus dikembangkan dalam kehidupan seseorang hal ini disebabkan karena kecerdasan intelektual diperlukan untuk mengatasi masalah-masalah yang berhubungan dengan aspek kognitif, kecerdasan emosional diperlukan untuk mengatasi masalah afektif, dan kecerdasan spiritual diperlukan untuk mengatasi masalah kebermaknaan dalam menjalani kehidupan.

Dalam konteks penelitian ini, istilah kecerdasan intelektual biasa disebut dengan IQ, kecerdasan emosional dikenal dengan EI, dan kecerdasan spiritual dikenal dengan istilah SI. Penulis lebih sepakat dengan penggunaan EI dan SI bukan istilah EQ dan SQ hal ini didasarkan pada anggapan bahwa emosi dan spiritual adalah dua konstruk psikologis yang bersifat dinamis yang perkembangannya berbeda dengan konsep kognitif. Perkembangan kognitif lebih bersifat progresif sampai pada usia tertentu sehingga bisa diukur dengan cara membagi usia mental (Mental Age) oleh usia kronologis (Cronological Age) yang kemudian dikali 100. Hasil perhitungan inilah yang kemudian disebut dengan istilah Quotient, sedangkan emosi dan spiritual perkembangannya bersifat dinamis, karena itu maka yang diukur dalam kecerdasan emosional dan spiritual terletak pada kualitas kemampuannya yang dalam hal ini dikenal dengan istilah Intelligence. Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk meneliti bagaimana gambaran tingkat kecerdasaan dan jenis kecerdasan manakah yang lebih berpengaruh terhadap perilaku agresif seseorang pada mahasiswa.

B. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mendapatkan data tentang pengaruh berbagai jenis kecerdasan terhadap perilaku agresif. Hasil penelitian ini mempunyai tingkat orisinal yang cukup tinggi mengingat sampai saat ini penelitian yang meneliti agresivitas dikaitkan dengan jenis-jenis kecerdasan masih belum dilakukan.

C. Hipotesis Penelitian
Ada dua jenis hipotesis yang ingin diuji dalam penelitian ini, yaitu hipotesis mayor dan minor. Rumusan hipotesis mayor yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat pengaruh kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual terhadap agresivitas pada mahasiswa, sedang hipotesis minornya adalah:
  1. Ada pengaruh kecerdasan intelektual terhadap agresivitas pada mahasiswa Universitas Islam Negeri Malang.
  2. Ada pengaruh kecerdasan emosional terhadap agresivitas pada mahasiswa Universitas Islam Negeri Malang.
  3. Ada pengaruh kecerdasan spiritual terhadap agresivitas pada mahasiswa Universitas Islam Negeri Malang.

D. Definisi Operasional
Untuk menghindari kesalah-pahaman maka dalam penelitian ini diberikan definisi operasional sebagai berikut:

  1. Kecerdasan intelektual adalah suatu kemampuan mental untuk memecahkan masalah secara cepat, tepat dan efisien. Data ini diperoleh dari hasil tes IQ pada mahasiswa dengan menggunakan alat ukur SPM.
  2. Kecerdasan emosional adalah suatu kemampuan untuk memahami dan mengelola emosi secara tepat. Kecerdasan ini dicirikan dengan adanya kemampuan yang bersifat ke dalam diri (intrapersonal) dan ke luar diri (antarpersonal). Data ini diperoleh dari pernyataan mahasiswa melalui skala kecerdasan emosional yang mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Gardner (1993), Salovey (dalam Goleman, 1995) dan Goleman (1995).
  3. Kecerdasan spiritual adalah suatu kemampuan untuk memecahkan persoalan makna dan nilai dalam kehidupan. Kecerdasan ini dicirikan dengan adanya kemampuan untuk memaknai yang hubungannya dengan dunia internal maupun eksternal. Data ini diperoleh dari pernyataan mahasiswa melalui skala kecerdasan spiritual yang mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Zohar dan Marshal (2000), Tischler & McKeage (2003).
  4. Agresivitas adalah segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti orang lain baik secara fisik maupun mental. Perilaku agresi yang diukur adalah berupa bentuk agresi fisik dan agresi verbal. Data ini diperoleh dari pernyataan mahasiswa melalui skala agresivitas yang mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Buss & Perry (1992).

E. Populasi dan Sampel
Populasi, menurut Hadi (1996) adalah semua individu yang termasuk dalam kriteria-kriteria sample yang ditentukan, sedangkan menurut Nadzir (1987), pengertian populasi yaitu kumpulan dari individu dengan kualitas serta ciri-ciri yang telah ditetapkan. Populasi dalam penelitian ini adalah semua mahasiswa yang Universitas Islam Negeri Malang.

Sampel menurut Arikunto (1991) adalah sebagian atau wakil dari populasi yang diteliti. Sampel dalam penelitian tidak selalu meneliti individu di dalam suatu populasi karena dalam setiap pengumpulan data, selalu akan berhadapan dengan faktor dana, tenaga, waktu yang tersedia untuk memperoleh data tersebut. Dengan keterbatasan tiga faktor tersebut, maka penelitian hanya dilakukan pada sebagian dari populasi. Selanjutnya Sudjana (1988) menyatakan bahwa yang dimaksud sample adalah sebagaian populasi yang dikenai langsung oleh penelitian.

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah proportional random sampling yaitu memilih individu-individu yang ada dikelas-kelas perkuliahan dari tiap-tiap fakultas secara random dengan mempertimbangkan keseimbangan jumlah mahasiswa dari tiap fakultas. Berdasarkan pertimbagan tersebut diperoleh sampel sebanyak 304 orang. Untuk Fakultas Tarbiyah, Humaniora, dan Saintek diambil sebanyak dua kelas, sedanagkan untuk Fakultas Psikologi, ekonomi, dan syariah diambil sebanyak satu kelas.

F. Metode Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data, alat ukur yang digunakan adalah berupa tes dan skala psikologis. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
  1. Tes Intelligensi (Standart Progressif Matrices). Tes ini berupa gambar dengan sebagian yang terpotong. Tugas subjek adalah mencari potongan yang cocok untuk gambar tersebut dari alternatif potongan-potongan yang sudah disediakan. Keunggulan alat tes ini pelaksanaanya bisa dilakukan secara klasikal dan dengan alat tes ini subjek bisa dikelompokkan tingkat kecerdasannya menjadi 5 kelompok yaitu: 1) Intellectually superrior, 2) Definitelly above the average in intellectual capacity, 3) Intellectually average, 4) Definitely below average in intelletually capacity, 5) Intellectually defective
  2. Skala kecerdasan emosional. Alat ukur ini berupa skala psikologis sebanyak 30 item yang mampu mengungkap aspek-aspek kecerdasan emosional. Skala ini disusun oleh penulis dengan merujuk pada teori Gardner (1993), Salovey (dalam Goleman, 1995), dan Goleman (1995). Aspek yang diukur dalam skala ini adalah: a) Kemampuan yang bersifat intrapersonal yang dicirikan dengan adanya mengenal emosi diri, mengelola emosi diri, kemampuan untuk memotivasi diri sehingga bersikap optimis. dan b)Kemampuan yang bersifat antarpersonal yang dicirikan dengan kemampuan berhubungan dengan orang lain dan kemampuan untuk berempati.
  3. Skala kecerdasan spiritual. Alat ukur ini berupa skala psikologis sebanyak 30 item yang mampu mengungkap aspek dari kecerdasan spiritual. Skala ini disusun oleh penulis dengan merujuk pada teori yang dikemukakan oleh Marshal & Deborah (2000) dan Tischler & McKeage (2002). Aspek yang diukur dalam skala ini adalah: 1) Kemampuan yang bersifat internal adalah kesadaran terhadap sesuatu yang transenden, mempunyai visi yang bersifat spiritual, dan kemampuan untuk mengambil hikmah dari penderitaan. 2) Kemampuan yang bersifat eksternal adalah kecenderungan untuk mengajak pada kebaikan dan keengganan untuk berbuat yang merugikan orang lain.
  4. Skala agresivitas. Alat ini berupa skala psikologis sebanyak 30 item yang mampu mengungkap tingkat agresivitas. Skala ini di susun oleh penulis dengan merujuk pada teori yang dikemukakan oleh Sears (1994) & Buss & Perry (1992). Aspek yang diukur dalam skala ini adalah: 1) Perilaku menyakiti secara lisan yang dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung dan 2) Perilaku menyakiti secara fisik baik secara langsung maupun tidak langsung.
Bentuk skala yang digunakan adalah skala pengukuran Likert, dimana sebagai dasar penentuan nilainya dikategorikan dalam sangat setuju (SS) diberi skor 5, setuju (S) diberi skor 4, Netral (N) diberi skor 3, tidak setuju (TS) diberi skor 2, dan sangat tidak setuju (STS) diberi skor 1. Sebelum digunakan dalam penelitian, skala ini diuji cobakan terlebih dahulu pada mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Malang.

Jumlah responden yang dijadikan uji coba berjumlah 151 orang, hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Nunanly (dalam Azwar, 2000) yang mengatakan bahwa untuk uji coba item diperlukan jumlah subjek sebanyak 5 atau 10 kali dari jumlah item, karena itu jumlah 151 orang sudah cukup untuk memenuhi kriteria diatas. Uji coba dilakukan untuk mengetahui tingkat validitas dan reliabilitas alat ukur. Kriteria item dianggap sahih ketika memenuhi koefisen korelasi diatas .2000 sedangkan reliabiltas skala dianggap andal ketika memenuhi nilai koefisien alfa (@) minimal sebesar .6000. Hasil uji validitas dan reliabilitas adalah sebagai berikut:
  1. Untuk skala kecerdasan emosional dari 30 item diperoleh 25 item valid dengan tingkat reliabilitas sebesar @.7516
  2. Untuk skala kecerdasan spiritual dari 30 item diperoleh 10 item valid dengan tingkat reliabilitas sebesar @.7571
  3. Untuk skala aagresivitas dari 30 item diperoleh 15 item valid dengan tingkat reliabilitas sebesar @.6590

G. Hasil dan Pembahasan
Sesuai dengan rumusan masalah yang ingin dijawab dalam penelitian ini, maka analisis data dilakukan dengan analisis regresi yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat. Pengaruh tiap-tiap variabel bebas terhadap agresivitas dengan taraf signifikansi 5% diketahui dari skor kecerdasan intelektual = -.161, kecerdasan emosional = -.355, skala kecerdasan spiritual = -.548, hal ini menunjukkan bahwa masing-masing variabel bebas mempunyai pengaruh terhadap agresivitas.

Dari hasil analisis regresi yang digunakan untuk menguji hipotesis diperoleh = 48.125, taraf signifikansi 5 % dengan besarnya sampel 304 siswa. Selanjutnya dikorelasikan dengan dalam tabel db 3 lawan 300, didapatkan skor 35.341, ini berarti bahwa analisis regresi sebesar 48.125 lebih besar dari dengan taraf signifikansi 5 % ( =50.095 > 2.68), berdasarkan hasil ini maka hipotesis yang menyatakan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara jenis kecerdasan (kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual) terhadap agresivitas adalah terbukti artinya semakin tinggi tingkat kecerdasan maka semakin rendah tingkat agresivitas pada mahasiswa Universitas Islam Negeri Malang, sebaliknya semakin rendah tingkat kecerdasan maka semakin tinggi tingkat agresivitas.

Dari hasil nilai R square diperoleh skor .325 artinya ketiga variabel bebas (kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual) secara bersama-sama mampu mempengaruhi variabel terikat (agresivitas) sebesar 32,5% artinya masih ada sekitar 67,5% faktor lain yang mempengaruhi terhadap agresivitas pada mahasiswa Universitas Islam Negeri Malang. Faktor tersebut bisa berupa faktor internal (yang berasal dari dalam diri individu) atau faktor eksternal (faktor yang berasal dari luar individu).

Berdasarkan hasil analisis deskriptif diperoleh hasil tingkat kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional siswa berada pada kategori sedang. Demikian juga dengan prosentase tentang agresivitas yang berada pada kategori sedang, yakni sebesar 64.8 %. Berdasarkan data diatas, maka dapat disimpulkan bahwa jenis ketiga kecerdasan pada mahasiswa UIN malang berada pada kategori sedang, jika ketiga jenis kecerdasan meningkat, maka dapat diprediksikan bahwa agresivitas mahasiswa akan menjadi berkurang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari hasil perhitungan didapatkan skor kecerdasan intelektual =-.161 kecerdasan emosional = -.355 dan kecerdasan spiritual = -.548 dengan taraf signifikansi 5 %, hal ini menunjukkan hubungan yang negatif antara tiap-tiap variabel, kecerdasan intelektual (X1), kecerdasan emosional (X2, kecerdasan spiritual (X3) dengan agresivitas (Y). Dengan demikian maka hipotesis yang menyatakan bahwa ada pengaruh kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual terhadap agresivitas dinyatakan diterima.

Pengaruh kecerdasan intelektual terhadap agresivitas mempunyai korelasi sebesar -.161 dengan nilai P=.002. Walaupun koefisien korelasi ini tidak terlalu besar tapi hasil ini sejalan dengan penemuan Haditono (dalam Monks, 1994) yang menemukan bahwa 69,45% remaja agresif memiliki taraf inteligensi di bawah normal. Penelitian lainnya ditemukan oleh Norvig (dalam Simanjuntak, 1984) yang menyatakan bahwa orang yang melakukan kejahatan kesusilaan lebih banyak dilakukan oleh Mentally retarded Persons. Rendahnya tingkat intelegensi menyebabkan mereka tidak mampu melihat dan memperkirakan akibat dari perbuatannya.

Pengaruh kecerdasan emosional terhadap agresivitas mempunyai korelasi sebesar -.355 dengan nilai P=.002. Hasil koefisien korelasi ini lebih besar dibanding dengan dengan korelasi antara kecerdasan intelektual dengan agresivitas. Hasil ini sejalan dengan pendapat Goleman (1995) yang mengatakan bahwa kecerdasan intelektual bila tidak disertai dengan pengolahan emosi yang baik tidaklah akan menghasilkan seseorang sukses dalam hidupnya. Selanjutnya ia mengatakan bahwa peranan kecerdasan akademik hanyalah sekitar 20% untuk menopang kesuksesan hidup seseorang, sedangkan 80% lainnya ditentukan oleh faktor yang lain, yang diantaranya adalah faktor kecerdasan emosional. Selanjutnya ia mengatakan bahwa pentingnya pengelolaan emosi bagi manusia dalam pengambilan keputusan bertindak adalah sama pentingnya, bahkan seringkali lebih penting daripada nalar, karena menurutnya, kecerdasan intelektual tidak berarti apa-apa bila emosi yang berkuasa.

Hasil penelitian yang mendukung pada temuan diatas telah dilakukan Aziz (1999) yang menemukan bahwa kecerdasan emosional mampu memberikan sumbangan efektif terhadap pengendalian perilaku delinkuen pada remaja sebesar 22,4%. Hal ini disebabkan karena rendahnya tingkat kecerdasan emosional menjadikan mereka tidak mampu mengendalikan dorongan emosi dan tidak mampu menghargai atau berempati terhadap orang lain.

Pengaruh kecerdasan spiritual terhadap agresivitas mempunyai korelasi sebesar -.548 dengan nilai P=.000. Hasil ini menarik untuk dikaju lebih jauh karena diantara ketiga jenis kecerdasan yang paling besar pengaruhnya terhadap agresivitas adalah kecerdasan spiritual. Seperti yang dikatakan Zohar & Marshal (2000) bahwa kecerdasan spiritual lebih berhubungan dengan sesuatu yang bersifat transenden dan pemaknaan terhadap suatu perilaku. Karena itu bisa dipahami kalau orang yang tingkat kecerdasan spiritualnya tinggi maka ia mengembalikan segala perbuatannya kepada Tuhannya sehingga perbuatannya menjadi bermakna dalam hidupnya.

Kecerdasan spiritual yang dikemukakan diatas sebenarnya masih bersifat umum, dalam arti tidak mengkhususkan pada agama tertentu. Padahal dalam ajaran Islam, inti dari seruannya adalah bagaimana seorang muslim mampu berbuat amar ma’ruf nahyi munkar, dengan kata lain Islam mengajarkan umatnya untuk selalu berbuat baik dan menghindari berbuat kerusakan. Hasil diatas sengat sejalan dengan ajaran Islam bahwa dengan mempunyai kecerdasan spiritual yang tinggi maka seseorang akan terhindar dari berbuat agresif.

Dari hasil skor R Square ditemukan sebesar 0,325 artinya ketiga jenis kecerdasan secara bersama-sama mempengaruhi agresivitas sebesar 32,5%. Hasil diatas mendukung pendapat yang dikemukakan oleh Ginanjar (2000) yang menyatakan bahwa ketiga jenis kecerdasaan intelektual, emosional, dan spiritual adalah sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan seseorang. Walaupun sumbangan emfirik ketiga variabel tidak terlalu besar (hanya 32,5%) dalam mengendalikan perilakau agresif pada mahasiswa tapi hasil ini membuktikan bahwa salah satu cara untuk mengendalikan atau mengatasi masalah agresivitas pada mahasiswa adalah dengan mengembangkan kecerdasan, khususnya kecerdasan spiritual, karena jenis kecerdasan inilah yang mempunyai bobot sumbangan paling besar dibanding dengan dua kecerdasan lainnya.

Hal yang menarik untuk dikaji adalah kecerdasan spiritual ternyata mempunyai sumbangan yang paling besar dibanding dengan jenis kecerdasan yang lain. Bila dikaitkan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Pasiak (2002) yang menyatakan bahwa dasar kecerdasan spiritual juga berakar juga pada kekuatan otak sama persis dengan kecerdasan intelektual dan emosional. Hal ini dibuktikan bahwa kecerdasan spiritual muncul didasarkan adanya penemuan osilasi 40 Hz oleh Denis Pare, penemuan alam bawah sadar oleh Josep deloux, penemuan God Spot oleh Michael Persinger, dan penemuan somatic marker oleh Antonio Damasio. Keempat bukti tersebut membuktikan adanya hati nurani atau intuisi yang pada giliranya membuktikan keyakinan manusia tidak akan mampu lari dari Tuhannya. Keadaan inilah yang telah disitir dalam Al-Quran.

Hasil ini juga sekaligus membuktikan bahwa adanya evolusi dalam ilmu pengetahuan. Bila sebelumnya orang menganggap kecerdasan intelektuallah yang tinggi, maka dengan adanya dua konsep baru maka anggapan diatas sekarang harus sudah mulai dirubah mengingat adanya temuan bahwa masih ada bentuk kecerdasan lain yang sangat penting dalam kehidupan seseorang.

Dari uraian-uraian diatas, khususnya tentang temuan utama dari penelitian ini, maka upaya yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah agresivitas pada mahasiswa, diantaranya adalah dengan cara melakukan upaya untuk meminimalkan perilaku agresif pada mahasiswa melalui penciptaan suasana yang mendukung pada peningkatan berbagai jenis kecerdasan, khususnya kecerdasan emosional dan spiritual. Misalnya dengan mengefektifkan kegiatan kemahasiswaan yang lebih mendukung pada terwujudnya kedua jenis kecerdasan tersebut.

Akhirnya, Sebagai penutup dari pembahasan, penulis berpendapat bahwa jenis kecerdasan sebagai salah satu faktor internal yang ada pada diri mahasiswa bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi agresivitas, bukti emfirik hanya menunjukkan sumbangan sebesar 32,5% artinya masih lebih besar faktor lain yang mempengaruhi diantaranya adalah faktor eksternal. Faktor eksternal ini meliputi lingkungan sosial yang berupa teman sekelas, dosen, karyawan dan lingkungan non sosial berupa gedung kampus, ruangan kelas, kurikulum dan lain-lain. Faktor-faktor itulah yang juga harus diperhatikan dalam rangka mengatasai masalah agresivitas pada mahasiswa.


DAFTAR PUSTAKA
Azwar, S., 1998, Psikologi Inteligensi, Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar
-------, 2000, Pengembangan Skala Psikologis, Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar
Abrori, L., Korelasi SQ terhadap Kinerja Pada Karyawan UIN Malang, Psikoislamika, Jurnal Psikologi dan Keislaman, Vol.2 No. 1 Januari 2005
Arikunto, S., 1990, Manajemen Penelitian, Yogyakarta: Penerbit Rineka Cipta
Aziz, R., 2001, Peranan Kecerdasan Emosional terhadap penyesuaian diri dan perilaku delinkuen pada remaja di Yogyakarta, Ulul Albab, Jurnal Studi Islam, Sains, dan Teknologi, Vol. 3, No. 1
Baron, R.A & Byrne, D., 1997, Social Psychology, Boston: Allyn & Bacon
Berkowitz, 1995, Agresi sebab dan Akibatnya, (Terjemah Susiatni), Jakarta: Pustaka Binawan Pressindo
Buss & Perry, 1992, “The Agression Questionaire” dalam journal of Personality and Psychology, edisi 63, 3.
Cooper, R.K., & Sawaf, A., 1998, Executive EQ, Kecerdasan Emosional Dalam Kepemimpinan Dan Organisasi, (Alih bahasa Widodo) Jakarta: Gramedia
Efendi, A., 2005, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Krtik MI, EI, SQ, AQ & Successful Intelligence Atas IQ, Bandung: Alfabeta
Farid, M., & Mashuri, 2003, Mengenal Inteligensi, Jakarta: Sains
Hadi, S., 1996, Metodologi Research, (Jilid 3), Yogyakarta: Andi Offset
Gardner, H., 1993, Frames of Mind, New York: Basic Book
Ginanjar, A., 2003, Emosional Spiritual Quotient, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual, Jakarta: Gramedia
Goleman, D., 1995, Emotional Intelligence, Why it more than IQ, New York: Bantam Books
Gothman, j., 1997, The Heart of Parenting: New York: Bantam Books
Groth-Marnat, G., 1984, The Handbook of Psychological Assesment, New York: Van Nostrand Reindholt Company
Martaniah, S.M., 1997, Model Pengembangan Sumber Daya Manusia, Jurnal Psikologika, No.2, Januari
Monks, F.j., Knoers, A.M.P., & Haditono, S.R., Psikologi Perkembangan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Nazir. M., 1987, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia
Patton, P., 1998, Emotional Intelligence Di Tempat Kerja, (Alih Bahasa Dahlan) Jakarta: Pustaka Delapratasa
Pasiak, T., 2003, Revolusi IQ, EQ, dan SQ, Antara Neurosains dan Al-Quran, Bandung: Mizan
Raven, J.C., 1972, Guide to The Standard Progressive Matrices, (Salinan Fakultas Psikologi UGM) Yogyakarta: UGM
Santoso, S., 2001, SPSS Versi 10, Mengolah Data Statistik Secara Profesional, Jakarta Media Komputindo
Search, dkk, 1994, Psikologi Sosial, (terjemahan Adriyanto), Jakarta: Erlangga
Sudjana, N., 1988, Tuntunan Penyusunan Karya Ilmiah, Bandung: Sinar Baru
Tischler, B., & McKeage, R., 2002, Linking emotional intelligence, spirituality and Workplace Performance, Journal of Managerial Psychology, Vol. 17, 3,
Vernon, P.E., 1973, Inteligence and Cultural Environtment, London: Methuen & Coorporation LTD
Zohar, M., & Marshall, I., 2000, Spiritual Intelligence, The Ultimate Intelligence, London: Blumsburry Publishing, Inc