My Family

Jumat, 23 Januari 2009

The Emotional Intelligence Scale


SKALA KECERDASAN EMOSIONAL

Oleh:

Rahmat Aziz, M.Si

Skala ini merupakan alat ukur penelitian yang pernah digunakan penulis ketika menyusun tesis pada Program Magister Fakultas Psikologi UGM Yogyakarta pada tahun 1999. Jumlah item pada awalnya sebanyak 60 buah tapi setelah dilakukan pengujian validitas ditemukan item valid sebanyak 48 item dengan reliabilitas sebesar @0,8972. Pengujian validitas dilakukan pada 110 siswa Sekolah Menengah Atas Negeri di Yogyakarta.

Istilah Emotional Intelligence yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan Kecerdasan Emosional, pertama kali diperkenalkan oleh Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayor dari University of New Hampshire pada tahun 1990, kemudian dipopulerkan oleh seorang penulis kenamaan yang bernama Daniel Goleman dengan sebuah buku Emotional Intelligence.

Pentingnya kecerdasan emosional dalam kehidupan seseorang telah disitir oleh Goleman (1996) yang mengatakan bahwa kecerdasan bila tidak disertai dengan pengolahan emosi yang baik tidaklah akan menghasilkan seseorang sukses dalam hidupnya. Selanjutnya ia mengatakan bahwa peranan kecerdasan akademik hanyalah sekitar 20% untuk menopang kesuksesan hidup seseorang, sedangkan 80% lainnya ditentukan oleh faktor yang lain, yang diantaranya adalah faktor kecerdasan emosional. Pendapat lain yang senada dengan Goleman, dikemukakan oleh Patton (1998) yang mengatakan bahwa orang yang kecerdasan emosionalnya tinggi cenderung akan mengalami kesuksesan ditempat kerjanya.

Patton (1998) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai suatu kemampuan untuk menggunakan emosi secara efektif dalam mencapai suatu tujuan. Gardner (dalam Goleman, 1996), menyebut istilah kecerdasan emosional dengan istilah kecerdasan antarpribadi dan kecerdasan intrapribadi, adapun definisi dari kedua istilah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kecerdasan antarpribadi adalah kemampuan untuk memahami orang lain, yang wujudnya berupa pemahaman terhadap apa yang memotivasi mereka, bagaimana mereka bekerja, dan bagaimana mereka bekerja sama dengan sesamanya. Dalam rumusan yang lain, ia mengatakan bahwa kecerdasan antarpribadi itu mencakup kemampuan untuk membedakan dan menaggapi dengan tepat suasana hati, temperamen, motivasi, dan hasrat orang lain.

2. Kecerdasan intrapribadi adalah kemampuan yang bersifat korelatif tetapi terarah kedalam diri sendiri, yang wujudnya berupa kemampuan untuk membentuk suatu model diri sendiri yang teliti dan mengacu pada diri, serta kemampuan untuk menggunakan model tersebut sebagai alat untk menempuh kehidupan secara efektif.

Senada dengan pendapat diatas, dikemukakan oleh Carkhuf (dalam Martaniah, 1997), yang mengatakan bahwa kecerdasan emosional melibatkan pada dua faktor, yaitu faktor emotivation yang pada prakteknya melibatkan pada pengembangan misi diluar diri sendiri, dan faktor motivation yang pada prakteknya melibatkan pada diri sendiri.

Skala ini menggunakan skala Likert yang terdiri atas lima alternatif jawaban, yaitu Sangat Seutuju (SS), Setuju (S), Ragu-ragu (R), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Skala ini mengungkap tinggi rendahnya kecerdasan emosional subjek yang mengacu pada aspek-aspek kecerdasan emosional yang dikemukakan oleh Goleman (1996) Gardner dan Salovey (Goleman, 1996), yaitu :

1. Kecerdasan Intrapersonal, yang terdiri dari kemampuan untuk sadar terhadap diri sendiri, kemampuan untuk mengendalikan dorongan hati, kemampuan untuk memotivasi diri sendiri, dan kemampuan untuk tetap optimis.

2. Kecerdasan Antarpersonal, yang terdiri dari kemampuan untuk berhubungan atau bersahabat dengan orang lain dan kemampuan untuk berempati dengan orang lain.

  1. Setiap tindakan yang saya lakukan, biasanya saya telah memperhitungkan resiko yang akan dihadapi.
  2. Bila menghadapi masalah, biasanya saya memusatkan perhatian pada apa yang dapat saya perbuat untuk memecahkannya.
  3. Saya telah belajar banyak tentang diri sendiri dengan cara mendengarkan perasaaan batin saya.
  4. Bila mempunyai masalah, saya tahu kemana saya harus pergi dan apa yang harus saya lakukan.
  5. Saya dapat menerima dfan menghibur diri sendiri, bila ada satu keinginan yang tidak tercapai.
  6. Seringkali saya tidak dapat menahan keinginan untuk melanggar norma-norma yang ada di mayarakat.
  7. Walaupun terkadang terasa menjenuhkan, tapi saya bisa menikmati dan bersabar ketika menunggu sesuatu.
  8. Ketika tiba-tiba timbul satukeinginan, maka saya harus segera mendapatkan keinginan itu bagaimanapun caranya.
  9. Saya mau berkorban, demi mendapatkan sesuatu yang lebih berarti walaupun harus menunggu begitu lama.
  10. Saya merasa sulit untuk memulai suatu kegiatan yang sudah direncanakan dengan matang.
  11. Saya biasa bekerja keras untuk dapat mewujudkan keinginan yang sudah saya tekadkan dalam hati.
  12. Saya termasuk orang yang biasa menunda pekerjaan, karena saya hanya bisa bekerja bila dalam keadaan santai.
  13. Sekalipun ujian pertama saya gagal, saya tetap akan berusaha belajar lebih giat dan penuh semangat untuk mengikuti ujian perbaikan.
  14. Saya selalu menasehati diri sendiri agar dapat mencapai prestasi tinggi dari setiap kegiatan yang saya lakukan.
  15. Akhir-akhir ini saya seringkali merasa kurang bergairah atau bersemangat dalam mencapai prestasi.
  16. Saya sering tenggelam dan hanyut dalam masalah yang dihadapi, sehingga merasa tak berdaya untuk melepaskan diri.
  17. Ketika mendapatkan suatu masalah, saya sangat yakin bahwa masalah itu pasti akan berakhir.
  18. Saya melihat bahwa tantangan dan rintangan adalah merupakan sarana belajar untuk mencapai prestasi yang lebih tinggi.
  19. Saya merasa bahwa apa yang saya lakukan selama ini hanyalah perbuatan yang sia-sia belaka.
  20. Saya sering merasa takut dan ragu bila harus elakukan sesuatu yang belum pernah saya lakukan sebelumnya.
  21. Dalam hidup ini saya merasa lebih banyak mendapat kekecewaan dibanding dengan kebahagiaan.
  22. Saya banyak mempunyai teman yang dapat diandalkan, baik ketika sedih maupun ketika senang.
  23. Saya tahu bahwa sebenarnya keadaan saya sekarang ini kurang begitu penting bagi teman-teman.
  24. Saya sering merasa tidak mampu bila diminta tolong untuk memecahkan masalah yang dihadapi oleh teman.
  25. Saya merasa kurang dapat menerima pandangan orang lain yang berbeda pendapat dengan saya.
  26. Saya merasa ragu apakah teman-teman peduli terhadap saya sebagaimana layaknya seorang teman.
  27. Saya dapat mengenali emosi orang lain, hanya dengan memperhatikan mata dan nada suaranya.
  28. Saya jarang sekali terdorong untuk menghibur orang lain yang sedang mengalami musibah.
  29. Saya merasa sulit untuk menjadi seorang pendengar yang baik ketika ada teman yang ingin menumpahkan masalahnya.
  30. Dalam berinteraksi dengan orang lain, saya selalu memperhatikan perasaan orang lain.
  31. Saya dapat mengetahui dan merasakan, bila orang yang dekat dengan saya sedang merasa kesal.
  32. Saya tidak mau jika harus memikirkan masalah-masalah yang dihadapi oleh orang lain.

Rabu, 14 Januari 2009

Why a women more creative than a man?

MENGAPA PEREMPUAN
LEBIH KREATIF DIBANDING LAKI-LAKI?

Oleh:
Dr. Rahmat Aziz, M.Si


Tulisan ini merupakan hasil analisis tambahan pada penelitian penulis yang membandingkan antara laki-laki dan perempuan dalam hal kemampuan berpikir dan menulis kreatif pada siswa sekolah menengah pertama. Jumlah subjek sebanyak 48 siswa yang terdiri dari 32 laki-laki dan 16 perempuan. Pengumpulan data dilakukan dengan tes kemampuan berpikir kreatif dari Torrence dan tes kemampuan menulis kreatif yang dinilai oleh empat orang rater. Hasil analisis menunjukkan bahwa perempuan lebih tinggi tingkat kemampuan pada kedua aspek tersebut dibandingkan dengan laki-laki.


Hasil analisis tentang perbedaan jenis kelamin terhadap kreativitas baik dalam bentuk berpikir kreatif maupun menulis kreatif menyatakan bahwa perempuan cenderung lebih tinggi tingkat kemampuannya dalam kedua bidang kemampuan tersebut dibanding dengan laki-laki dengan perbandingan mean 114,75:107,08 untuk kemampuan berpikir kreatif dan 31,31:21,09 untuk kemampuan menulis kreatif.
Beberapa penelitian yang membandingkan antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai aspek psikologis telah banyak dilakukan dan diperoleh hasil yang cenderung berbeda-beda. Penelitian Aziz (1999) pada 230 siswa SMAN di Yogyakarta menemukan bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal kecerdasan emosional, demikian juga penelitian Prawitasari (1993) yang menemukan bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal mengekspresikan emosi seperti rasa marah, jijik, terkejut, dan lain sebagainya, kecuali dalam mengekspresikan rasa malu. Penelitian Aziz (2007) dalam hal kecerdasan menghadapi tantangan yang dilakukan terhadap 121 orang mahasiswa menemukan tidak adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan baik pada aspek control, origin-ownership, reach maupun endurance.
Penelitian yang menunjukkan adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan telah dilakukan Aziz & Mangestuti (2005) pada 304 mahasiswa yang menemukan bahwa perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki dalam hal tingkat kecerdasan intelektual yang diukur dengan tes Standard Progressive Matrices (SPM) dengan perbandingan mean 127,28:166,80, untuk kecerdasan emosional 88,69:90,93, dan untuk kecerdasan spiritual 78,20:81,30.
Perbandingan dalam hal kreativitas telah dilakukan Munandar (1977) pada siswa sekolah menengah di Indonesia yang menemukan bahwa kreativitas perempuan cenderung lebih tinggi dari laki-laki dengan perbandingan 58% berbanding 42%. Hasil yang sama ditemukan Aziz (2006) yang berdasarkan hasil penelitiannya pada 82 anak yang mempunyai tingkat kreativitas tinggi ternyata lebih banyak diperoleh anak perempuan dibanding laki-laki dengan perbandingan 35 (53%) berbanding 31 (47%).
Cramond, et all (2005) menyatakan bahwa dari berbagai penelitian tentang kreativitas ditemukan adanya hubungan antara perbedaan jenis kelamin dengan tingkat kreativitas baik dalam bentuk kuantitas maupun kualitas. Hasil analisis mereka terhadap jurnal penelitian dari tahun 1958-1998 ditemukan adanya perbedaan baik pada aspek fluency, flexibility, originality, dan elaboration. Perempuan cenderung lebih tinggi pada aspek fluency, originality, dan elaboration, sedangkan pada aspek flexibility laki-laki cenderung lebih tinggi walau perbedaannya tidak terlalu tinggi.
Selanjutnya, perbedaan laki-laki dan perempuan tentang gaya berpikir berdasarkan teori Sternberg tentang tujuh jenis gaya berpikir kreatif telah diteliti Tafti & Babali (2007). Hasil penelitian menunjukkan bahwa gaya berpikir laki-laki lebih bersifat legislatif, liberal, dan global, sedangkan gaya berpikir perempuan lebih bersifat eksekutif, juridis, konservatif, dan lokal.
Beberapa hasil penelitian di atas lebih banyak menunjukkan adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai hal. Prawitasari & Kahn (1985) menjelaskan perbedaan tersebut berdasarkan hasil penelitiannya tentang kepribadian. Mereka menjelaskan bahwa perempuan mempunyai kecenderungan untuk lebih hangat, emosional, sopan, peka, dan mentaati aturan, sedangkan laki-laki cenderung lebih stabil, dominan, dan impulsif.
Adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai aspek psikologis, khususnya dalam kreativitas bisa dipahami dari berbagai sudut pandang. Brizendine (2006) seorang ahli neuropsikiatri dan direktur klinik yang khusus mengkaji fungsi otak perempuan menjelaskan bahwa memang secara struktur ada perbedaan antara otak laki-laki dan perempuan, hal ini berakibat pada perbedaan keduanya dalam cara berpikir, cara memandang sesuatu, cara berkomunikasi, dan lain sebagainya. Penelitian Carlson (Purwati, 1993) menemukan bahwa laki-laki cenderung lebih tinggi dalam orientasi sosial sedangkan perempuan lebih berorientasi personal.
Temuan Sperry seperti yang diungkap oleh (Wycoff, 1991) menjelaskan adanya dua jenis otak pada setiap manusia yaitu otak kanan yang lebih bersifat rasional dan otak kiri yang lebih bersifat irrasional. Pasiak (2003) menjelaskan bahwa cara kerja otak kiri lebih bersifat serial, berurutan, dan sangat mementingkan hal-hal yang bersifat kongkrit dan realistis, sedangkan otak kanan lebih bersifat paralel, tidak berpola, dan mementingkan hal-hal yang bersifat abstrak dan intuitif. Selanjutnya Wycoff (1991) menyatakan bahwa kreativitas muncul dari interaksi antara kedua belahan otak dan otak kiri, walaupun banyak ahli yang menyebutkan bahwa otak kanan lebih berhubungan dengan kreativitas karena cara kerjanya yang bersifat abstrak dan intuitif. Kemampuan berpikir dan menulis kreatif memang lebih merupakan kegiatan yang lebih bersifat personal dan intuitif, karena itu bisa dipahami jika seandainya perempuan mempunyai kemampuan yang lebih tinggi jika dibandingkan laki-laki dalam kedua bidang tersebut, walaupun tentu saja hasil temuan ini masih perlu pengujian empiris yang lebih mendalam dan seksama.
Hasil penelitian lain yang memperlihatkan ketertinggalan laki-laki dibanding perempuan telah ditulis oleh Handayani & Novianto (2004) pada suku Jawa. Dengan metode penelitian kualitatif, mereka berdua menemukan bahwa anak perempuan dan laki-laki Jawa memang dididik secara berbeda. Anak perempuan lebih dididik untuk mengatasi persoalan-persoalan praktis di rumah tangga. Sebaliknya anak laki-laki lebih dibiasakan untuk berorientasi ke luar rumah, bekerja dengan imajinasi, dan cenderung abstrak, sehingga ketika menghadapi problem praktis mereka menjadi kurang taktis. Mereka menjadi kikuk, seperti tidak tahu apa yang harus diperbuat. Bahkan kedua penulis itu mengemukakan bahwa pola asuh yang mengistimewakan anak laki-laki Jawa itu cenderung akan merusak kondisi mentalnya yaitu adanya kemanjaan dan ketergantungan kepada ibu dan saudara perempuan di lingkungan rumahnya. Hal ini bahkan berlanjut sampai dewasa, yaitu laki-laki itu akan kembali bersikap seperti anak sulung pada pasangannya (istri), sehingga suami menjadi semacam bayi tua.
Hasil analisis yang menyatakan adanya perbedaan ini menarik untuk dicermati lebih jauh karena belum ditemukan alasan yang lebih kuat apakah perempuan lebih tinggi dalam hal kreativitas disebabkan karena aspek kodrati yang memang secara struktur biologis mendukung pada tingginya kreativitasnya atau lebih disebabkan karena aspek konstruk yang dibentuk masyarakat yang memang memberikan perlakuan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan?

Daftar Pustaka

Aziz, R. (1999). Hubungan antara kecerdasan emosional dan penyesuaian diri dengan kecenderungan berperilaku delinkuen pada remaja, Tesis, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada

Aziz, R. (2006). Studi tentang kreativitas pada siswa Sekolah Menengah Pertama di kota Malang. Psikoislamika, 3, 2, 239-254

Aziz, R. (2007). Pengaruh kepribadian ulul albab terhadap kecerdasan menghadapi tantangan, Laporan Penelitian, Malang: Lemlitbang Universitas Islam Negeri Malang

Aziz, R., & Mangestuti, R. (2005). Tiga jenis kecerdasan dan agresivitas mahasiswa, Psikologika, 21, 11, 64-77

Brizendine, L. (2006). Female Brain, New York: Morgan Road Books

Cramond, B., Morgan, J.M., Bandalos, D., & Zuo, L. (2005). A report on the 40-year follow-up of the Torrence tests of creative thinking: Alive and Well in the new millennium, Gifted Child Quarterly, 49, 4, 283-291

Handayani, C.S. & Novianto, A. (2004). Kuasa wanita Jawa. Yogyakarta: LkiS.

Munandar, S.C.U. (1977). Creativity and education, Jakarta: Dirjen Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan

Munandar, S.C.U. (1999). Kreativitas dan Keberbakatan, Strategi Mewujudkan Potensi Kreatif dan Bakat, Jakarta: Gramedia

Prawitasari, J.E. (1993). Apakah wanita lebih peka daripada pria dalam mengartikan emosi dasar manusia?, Jurnal Psikologi, 1, 14-22

Prawitasari, J.E., & Kahn, M.W. (1985). Personality differences and sex similarities in American and Indonesian college students, The Journal of Social Psychology, 124, 703-708

Purwati, (1993). Hubungan antara pola asuh orangtua dengan penyesuaian diri remaja, Tesis, Yogyakarta: Program Pascasarjana Psikologi Universitas Gadjah Mada

Tafti, M.A., & Babali, F. (2007). A study of compatibility of thinking styles with field of studies and creativity of university students, ABR & TLC Conference Proceedings, Hawaii, 1-5

Wycoff, J. (1991). Mindmapping: Your Personal Guide to Exploring Creativity and Problem Solving, New York: Berkley Book

Jumat, 09 Januari 2009

The Alternatif measurement of creative atitude

ALTERNATIF PENGUKURAN SIKAP KREATIF

Oleh:
Dr. Rahmat Aziz, M.Si


Skala ini merupakan skala yang disusun dan digunakan penulis dalam mengukur karakteristik kepribadian kreatif pada penelitian disertasi.
Pada awalnya jumlah item terdiri dari 60 buah tapi setelah dilakukan pengujian validitas ditemukan hanya 24 buah item yang valid dengan tingkat reliabilitas sebesar @0,8375.
Isi dan tema pernyataan yang digunakan dalam skala disesuaikan dengan subjek penelitian pada siswa sekolah menengah pertama yang berusia antara 11-13 tahun,
Bagi pembaca yang akan menggunakan skala ini diharapkan 1) menambahkan item pada indikator yang jumlah itemnya masih sedikit; 2) menyesuaikan isi dan tema dengan subjek penelitian yang akan digunakan; dan 3) menguji kembali tingkat validitas dan reliabilitas, akan lebih baik kalau sampai pada pengujian validitas konstruk dengan menggunakan analisis faktor.

A. Landasan teoritis
Sikap kreatif adalah suatu karakteristik kepribadian non-kognitif yang biasanya terdapat pada orang kreatif. Istilah sikap kreatif (creative attitude) telah digunakan oleh beberapa ahli seperti Germana (2007), Munandar (1997). Bahkan Schaefer (1971), telah menyusun instrumen pengukuran tentang sikap kreatif. Ada beberapa karakteristik sikap kreatif yang disebutkan oleh para ahli. Sternberg & Lubart (1995) menyebutkan ciri-cirinya sebagai berikut: 1) ketekunan dalam menghadapi tantangan; 2) keberanian untuk menanggung resiko; 3) keinginan untuk berkembang; 4) toleransi terhadap ketaksaan; 5) keterbukaan terhadap pengalaman baru; dan 6) keteguhan terhadap pendirian.
Kriteria di atas ternyata banyak disetujui dan didukung oleh tokoh-tokoh lain seperti Munandar, (1999), Amabile, (1996), Cramond, (1998), Csikszentmihalyi, (1996), dan Starko, 1995). Selanjutnya keenam kriteria di atas dijadikan sebagai indikator sikap kreatif yang uraiannya adalah sebagai berikut:

  • Ketekunan dalam menghadapi cobaan (Sternberg & Lubart, 1995) yaitu kemampuan seseorang untuk tetap mengerjakan atau menyelesaikan tugas atau masalah yang sedang dihadapi. Masalah yang dihadapi bisa berupa masalah dalam kehidupan sehari-hari ataupun masalah akademik yang berhubungan dengan tugas-tugas sekolah.
  • Keberanian menanggung resiko (Amabile, 1996; Cramond, 1998; Csikszentmihalyi, 1996; Sternberg, 2000) yaitu kesanggupan atau kesediaan seseorang untuk mengambil resiko terhadap apa saja yang akan diusahakan atau dihasilkan. Resiko yang akan ditanggung bisa berupa pengorbanan material, pengorbanan fisik, pengorbanan psikologis, dan pengorbanan sosial.
  • Keinginan untuk berkembang (Sternberg, 2000) yaitu hasrat untuk selalu tumbuh dan berkembang ke arah yang lebih baik. Karakteristik ini bisa terlihat dari sikap yang selalu berusaha untuk memperbaiki diri dari kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat.
  • Toleransi terhadap ketaksaan (Amabile, 1996; Davis, 1998; Starko, 1995, Sternberg, 2000) yaitu penerimaan diri terhadap adanya sesuatu yang berbeda dengan dirinya. Karakteristik ini ditunjukkan dengan adanya sikap apresiatif terhadap sesuatu yang ambigu dan tidak menganggap ambiguitas sebagai ancaman terhadap dirinya.
  • Keterbukaan terhadap pengalaman baru (Amabile, 1983; Csikszentmihalyi, 1996;) yaitu suatu kemampuan untuk bersikap fleksibel, terbuka, menghargai berbagai pandangan orang lain sehingga memungkinkan untuk mendapatkan sesuatu yang baru, dan keinginan untuk mendapatkan tantangan baru.
  • Keteguhan terhadap pendirian (Sternberg & Lubart, 1995) yaitu suatu kepercayaan terhadap kemampuan yang dimiliki oleh diri sendiri sehingga menjadi bebas dalam berpendapat dan berani berbeda dengan lingkungan sekitarnya walaupun harus menerima resiko yang tidak menyenangkan.



B. Bentuk dan Validasi Skala
Sikap kreatif adalah karakteristik kepribadian yang bersifat non-kognitif yang diukur dengan skala psikologis. Bentuk skala yang digunakan adalah skala pengukuran model Likert yang jawabannya terdiri dari lima alternatif jawaban, dimana sebagai dasar penentuan nilainya dikategorikan dalam sangat setuju (SS), setuju (S), Netral (N),dan tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS). Skala psikologi ini terdiri dari pernyataan yang favourable dan unfavourable yang tujuannya untuk melihat konsistensi subjek dalam memberikan jawaban.
Selanjutnya untuk pengujian validitas dan reliabilitas, analisisnya dilakukan melalui dua proses yaitu 1) melakukan summated ratings yang bertujuan untuk memberikan bobot nilai terhadap butir-butir item, dan 2) melakukan pengujian validitas butir item yang bertujuan untuk mengetahui tingkat validitas dan reliabilitas item.
Hasil analisis summated ratings diperoleh adanya variasi skor pada masing-masing alternatif jawaban, artinya tidak semua item mempunyai bobot 1, 2, 3, 4, 5 untuk alternatif jawaban sangat setuju, setuju, netral, tidak setuju, dan sangat tidak setuju. Karena itu pemberian skor tiap-tiap butir item ditentukan berdasarkan hasil perhitungan tersebut sehingga ditemukan adanya jawaban sama tapi skor yang diperolehnya berbeda karena itemnya berbeda.
Uji validitas dilakukan untuk mengetahui apakah butir item itu baik atau tidak. Bentuk uji validitas yang dilakukan adalah dengan pendekatan internal consistency yaitu suatu pendekatan yang menguji korelasi antar skor butir item dengan skor total skala. Anggapan yang digunakan adalah korelasi yang tinggi menunjukkan adanya kesesuaian antara fungsi butir-butir item dengan fungsi skala secara keseluruhan. Uji reliabilitas dilakukan untuk mengetahui konsistensi alat ukur ini sehingga hasil yang diperoleh dapat dipercaya.
Uji validitas instrumen dilakukan pada 159 siswa MTs Surya Buana Malang kelas VII (tujuh), VIII (delapan) dan IX (sembilan) yang tidak dijadikan subjek penelitian. Pada penelitian ini kriteria suatu instrumen dikatakan reliabel ketika nilai yang diperoleh lebih besar dari 0,6000 sedangkan suatu item dinyatakan valid ketika koefisien korelasinya di atas 0,2500. Pengujian analisis butir ini dilakukan dengan cara:

  • Menggugurkan item-item yang nilai koefisien korelasinya bertanda negatif, dari hasil analisis ditemukan ada 8 item gugur yaitu item nomor 2, 17, 35, 36, 40, 55, 57, 59.
  • Menggugurkan item-item yang nilai koefisien korelasinya kurang dari angka 0,1000, dari hasil analisis ditemukan ada 5 item gugur yaitu item nomor 16, 33, 46, 48, 56.em valid
  • Menggugurkan item-item yang nilai koefisien korelasinya kurang dari angka 0,1500, dari hasil analisis ditemukan ada 6 item gugur yaitu item nomor 6, 12, 18, 37, 45, 50.
  • Menggugurkan item-item yang nilai koefisien korelasinya kurang dari angka 0,2000, dari hasil analisis ditemukan ada 5 item gugur yaitu item nomor 19, 32, 42, 51, 52.
  • Menggugurkan item-item yang nilai koefisien korelasinya kurang dari angka 0,2500, dari hasil analisis ditemukan ada 2 item gugur yaitu item nomor 4 dan nomor 10.

Dari hasil pengujian 60 item ditemukan adanya 24 valid dan 26 gugur dengan nilai reliabilitas sebesar @ 0,8375. Sebaran item valid pada setiap indikator adalah sebagai berikut: ketekunan 5 item, keberanian 4 item, keinginan berkembang 6 item, toleransi 3 item, keterbukaan 3 item, dan kepercayaan 3 item.

C. Skala Sikap Kreatif
Dibawah ini terdapat sejumlah pernyataan tentang situasi yang diandaikan benar-benar terjadi. Anda diminta untuk memilih salah satu dari lima pilihan mengenai apa yang sesuai dengan diri anda. Pilihlah salah satu jawaban yang anda anggap paling sesuai dengan cara memberikan tanda (X) pada salah satu kolom di lembar jawaban yang tersedia.
(SS) jika anda merasa sangat sesuai dengan pernyataan tersebut; (S) jika anda merasa sesuai dengan pernyataan tersebut; (KS) jika anda merasa kadang sesuai dengan pernyataan tersebut; (TS) jika anda merasa tidak sesuai dengan pernyataan tersebut; dan (STS) jika anda merasa sangat tidak sesuai dengan

  1. Saya sering mensikapi setiap kesulitan sebagai sebuah ujian kesabaran (1)
  2. Menurut saya, kesabaran itu bisa dicirikan dengan adanya ketekunan dalam berusaha (1).
  3. Walaupun tugas tergolong rumit, saya biasanya menyelesaikan tugas tersebut sampai tuntas (1).
  4. Saya sering bekerja dengan penuh semangat sehingga merasa waktu berjalan terlalu cepat (1).
  5. Saya percaya bahwa dengan ketekunan, tujuan akan tercapai (1).
  6. Kalau saya gagal, saya siap menanggung segala akibatnya walaupun terasa menyakitkan (2).
  7. Menurut banyak teman, saya dianggap sebagai orang yang berani bertanggung jawab (2).
  8. Saya merasa sebagai pemberani karena mau menerima akibat atas perbuatan (2).
  9. Prinsip saya, berani berbuat maka harus berani bertanggung jawab apapun resikonya (2).
  10. Saya merasa bergairah jika diberi tugas untuk melakukan pekerjaan yang belum pernah saya lakukan sebelumnya (3).
  11. Saya akan merasa kecewa jika tidak dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan sekolah (3).
  12. Saya selalu merasa ingin tahu apa yang terjadi disekeliling saya (3).
  13. Saya merasa malas jika harus melakukan pekerjaan yang belum pernah saya lakukan (3).
  14. Setiap selesai melaksanakan suatu kegiatan, saya selalu ingin melakukan kegiatan lain (3).
  15. Kata orang, saya termasuk orang yang penasaran karena selalu ingin tahu tentang sesuatu (3).
  16. Saya senang mengerjakan soal-soal yang mempunyai berbagai macam kemungkinan jawaban (4).
  17. Setiap masalah memungkinkan untuk diselesaikan dengan berbagai cara pemecahan (4).
  18. Saya bisa menerima pendapat orang lain yang berbeda dengan pendapat saya(4).
  19. Saya lebih suka pelajaran yang baru sama sekali daripada mempelajari yang sudah biasa (5).
  20. Ketika mengunjungi pameran, saya sering mengajukan pertanyan pada petugas (5).
  21. Walaupun melelahkan, saya merasa puas jika mendapatkan pengalaman baru (5).
  22. Saya akan memegang teguh pada keyakinan saya, apapun resikonya (6).
  23. Saya semakin bersemangat untuk menjelaskan ketika pendapat saya dikritik orang lain (6).
  24. Salah satu kebanggaan saya adalah ketika mampu mempertahankan pendirian (6).

Kamis, 08 Januari 2009

Creative Personality and Creative Writing

HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK KEPRIBADIAN KREATIF
DENGAN KEMAMPUAN MENULIS KREATIF


Oleh:
Dr. Rahmat Aziz, M.Si
Retno Mangestuti, M.Si


The aim of research is to study the correlation between carracteristics of creative personality with the skill of creative writing to student of Islamic secondary school in Malang.
The subjects were 48 students. The instrument used were Torrence test of creative thinking, scale of creative attitude, and test of creative writing. The data were analyzed using analysis of regression.
The result show: there’s correlation between carracteristics of creative personality with the skill of creative writing.


A. Latar Belakang Masalah
Salah satu kemampuan yang harus dikuasai oleh siswa dalam bidang bahasa adalah kemampuan menulis. Gerard (1996) membagi kegiatan menulis kedalam dua jenis yaitu menulis akademis (academic writing) dan menulis kreatif (creative writing) yang diartikan sebagai kegiatan menulis untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan dalam bentuk imajinatif, spontan dan asli. Percy (1993) berpendapat bahwa menulis kreatif merupakan gagasan ekspresif yang mengalir dari pikiran seseorang ke dalam suatu tulisan.
Selanjutnya, Greene dan Petty (1991) membagi kegiatan menulis karangan pada dua jenis yaitu: pertama menulis praktis yaitu mengarang yang sifatnya faktual, fungsional dan ekspositori, dan kedua menulis kreatif yaitu mengarang yang sifatnya personal dan tidak selamanya mempunyai kegunaan praktis. Suatu karangan dianggap sebagai tulisan kreatif ketika mempunyai ciri orsinil, spontan, dan imaginatif.
Kegiatan menulis kreatif adalah salah satu kegiatan positif yang sangat penting dan bermanfaat bagi kehidupan. Pentingnya kegiatan menulis kreatif telah dibuktikan oleh beberapa hasil penelitian. Diantaranya penelitian Post (1994) yang menemukan bahwa para penulis cenderung lebih mampu bertahan dari masalah-masalah mental dibandingkan dengan orang yang tidak biasa menulis.
Temuan ini didukung pendapat Lowe (2006) yang menyatakan bahwa kegiatan menulis kreatif mempunyai unsur terapeutik. Artinya semakin sering seseorang menulis maka semakin sehatlah mental orang tersebut. Hal ini dapat dipahami karena ada proses katarsis yang terjadi pada proses menulis kreatif, sehingga semua beban psikologis baik berupa tekanan, harapan, gagasan dan lain sebagainya mampu terekspresikan dalam bentuk tulisan.
Pentingnya kemampuan menulis kreatif pada siswa ternyata kurang didukung oleh praktik pendidikan yang sekarang sedang berlangsung. Kajian terhadap beberapa penelitian tentang pembelajaran mengarang sebagai salah satu bentuk tulisan kreatif di sekolah telah dilakukan Kumara (2008) yang menyimpulkan bahwa 1) guru kurang kreatif dalam melakukan kontekstualisasi materi pelajaran dalam proses pembelajaran sehingga proses belajar menjadi tidak menarik; 2) guru jarang sekali memberikan kesempatan pada siswa untuk praktik mengarang; 3) minat membaca siswa rendah yang berakibat pada kurangnya wawasan dan sedikitnya perbendaharaan kata sehingga mereka kesulitan ketika harus menuangkan gagasan dalam bentuk tertulis.
Selain faktor pendidikan, karakteristik kepribadian mempengaruhi terhadap kemampuan menulis kreatif seseorang. Penelitian yang dilakukan Pierce (1992) pada 102 siswa menemukan adanya hubungan antara berpikir kreatif dengan kemampuan menulis kreatif. Hal ini didukung pendapat Wingersky, et al (1992) yang menyatakan bahwa sesuatu yang ditulis adalah sesuatu yang dipikir. Artinya ada hubungan yang tak terpisahkan antara kegiatan berpikir dan kegiatan menulis.
Beberapa penelitian tentang karakteristik sikap kreatif telah dilakukan Lopez (2003) yang menemukan bahwa kepercayaan diri sebagai salah satu ciri sikap kreatif berkorelasi dengan kemampuan menulis kreatif sebesar 0,560, demikian juga dengan temuan McCrae (1997) tentang keterbukaan terhadap pengalaman.
Hubungan antara berpikir dan menulis kreatif dapat digambarkan sebagai berikut: pada kegiatan menulis kreatif, siswa akan terlibat dengan penulisan kata, penggunaan tatabahasa, pengungkapan dan pengorganisasian pikiran dan perasaan yang selanjutnya dituangkan dalam bentuk tulisan. Bahkan dengan sangat tegas Bekurs & Santoli (1999) menyebutkan bahwa menulis kreatif adalah berpikir kreatif karena dalam kegiatan menulis pasti melibatkan pikiran. Bean (1996) menyebutkan bahwa sebelum memulai menulis pasti seseorang dimulai dengan memfokuskan pikirannya, karena itu ia menyebutkan bahwa menulis itu merupakan suatu proses yang melibatkan kegiatan berpikir.
Pada aspek sikap

B. Perumusan Masalah
Masalah yang dicari jawabannya dalam penelitian ini adalah bagaimana hubungan antara karakteristik kepribadian kreatif yang terdiri dari sikap dan pikiran kreatif dengan kemampuan menulis kreatif pada siswa?

C. Hipotesis Penelitian
Sesuai dengan masalah penelitian, hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah terdapat hubungan antara kepribadian kreatif dengan kemampuan menulis kreatif. Semakin tinggi karakteristik kepribadian kreatif subjek, semakin tinggi pula kemampuannya dalam menulis kreatif.

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan hubungan antara kepribadian kreatif yang terdiri dari aspek sikap dan pikiran kreatif dengan kemampuan menulis kreatif pada siswa sekolah menengah pertama. Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan teoritis dengan adanya penambahan khazanah keilmuan dalam bidang psikologi, khususnya tentang kreativitas.

E. Kajian Teori
Rhodes (1961) berdasarkan kajian terhadap 40 definisi tentang kreativitas menyimpulkan bahwa pada umumnya kreativitas didefinisikan sebagai pribadi (person), proses (process), produk (product), dan pendorong (press). Pemahaman di atas kemudian dikenal dengan “P Four’s Creativity. Selanjutnya dijelaskan bahwa sebagai process kreativitas berarti kemampuan berpikir untuk membuat kombinasi baru, sebagai product kreativitas diartikan sebagai suatu karya baru, berguna, dan dapat dipahami oleh masyarakat pada waktu tertentu, sebagai person kreativitas berarti ciri-ciri kepribadian non kognitif yang melekat pada orang kreatif, dan sebagai press artinya pengembangan kreativitas itu ditentukan oleh faktor lingkungan baik internal maupun eksternal.
Munandar (1999) menjelaskan keempat P tersebut saling berhubungan antara satu sama lain, pribadi kreatif yang melibat diri dalam proses kreatif, dan dengan dukungan dan dorongan dari lingkungan, akan menghasilkan produk kreatif. Selanjutnya Torrence (1988) menjelaskan hubungan keempat aspek tersebut sebagai berikut: dengan berfokus pada proses kreatif, dapat ditanyakan jenis pribadi bagaimanakah yang akan berhasil dalam proses tersebut? Lingkungan bagaimanakah yang akan memudahkan proses tersebut? dan produk bagaimanakah yang dihasilkan dari proses tersebut?
Salsedo (2006) menjelaskan bahwa pengukuran kreativitas sebagai produk berarti memfokuskan pada hasil kegiatan kreatif, sebagai proses berarti memfokuskan pada bagaimana individu dalam mengekspresikan kreativitasnya, dan sebagai kepribadian berarti memfokuskan pada sikap, minat, motivasi dan faktor-faktor kepribadian lain yang berhubungan dengan kegiatan kreatif.
Karakteristik berpikir kreatif telah dikemukakan Guilford (1967) yang menyebutkan adanya tiga ciri penting yaitu kelancaran, kefleksibelan, dan keaslian. Baru pada tahun-tahun berikutnya, ia menambahkan adanya satu ciri lagi berupa kemampuan mengelaborasi. Untuk mengukur kemampuan-kemampuan tersebut, ia mengembangkan alat ukur yang disebut dengan tes berpikir divergen. Namun, ternyata tes tersebut dianggap hanya mengukur kemampuan subjek untuk kreatif, bukan mengukur kreativitasnya. Banyak ahli yang kemudian mengkritisi dan berusaha memperbaiki tes tersebut, diantaranya adalah Torrence (1981) yang berdasarkan keempat ciri tersebut kemudian mengembangkan test berpikir kreatif (Torrence Test of Creative Thinking) yang mampu mengungkap kelancaran, kefleksibelan, keaslian, dan elaborasi.
Selanjutnya, mengenai istilah sikap kreatif (creative attitude) telah digunakan oleh beberapa ahli seperti Germana (2007), Munandar (1997). Bahkan Schaefer (1971), telah menyusun instrumen pengukuran tentang sikap kreatif. Ada beberapa karakteristik sikap kreatif yang disebutkan oleh para ahli. Sternberg & Lubart (1995) menyebutkan ciri-cirinya sebagai berikut: 1) ketekunan dalam menghadapi tantangan; 2) keberanian untuk menanggung resiko; 3) keinginan untuk berkembang; 4) toleransi terhadap ketaksaan; 5) keterbukaan terhadap pengalaman baru; dan 6) keteguhan terhadap pendirian.
Pengertian kemampuan menulis kreatif merujuk pada pendapat Greene & Petty (1991) yang mendefinisikan kegiatan menulis kreatif sebagai suatu kegiatan mengarang yang sifatnya personal dan tidak selamanya mempunyai kegunaan praktis. Suatu karangan kreatif dicirikan dengan adanya tiga sifat yaitu orsinil (asli), spontan (langsung), dan imaginatif. Salah satu bentuk dari tulisan kreatif diantaranya adalah cerita pendek yang menurut Burroway (2003) mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1) memfokuskan pada satu peristiwa; 2) hanya mempunyai satu plot; 3) hanya mempunyai satu setting; 4) terbatas pada sejumlah karakter; dan 5) terbatas pada konteks waktu tertentu.
Hubungan antara kepribadian kreatif baik pada spek kognitif maupun non-kognitif telah dikemukakan oleh Rowe (2005) yang menyatakan bahwa banyak aspek yang mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat kreativitas seseorang, diantaranya adalah faktor kepribadian. Kepribadian kreatif diartikan sebagai karakteristik kepribadian seseorang baik berupa cara berpikir maupun cara bersikap yang menjadi ciri khusus orang-orang kreatif.

F. Metode Penelitian
1. Definisi Operasional. Dalam penelitian ini beberapa konsep perlu diberikan pengertian definisi operasionalnyanya yaitu:
• Kepribadian kreatif adalah karakteristik individu kreatif baik pada aspek kognitif maupun aspek non-kognitif. Pada penelitian ini aspek kognitif diartikan sebagai kemampuan berpikir kreatif yang diukur dengan menggunakan Torrence test of creative thinking, sedangkan aspek non-kognitif diartikan sebagai sikap kreatif yang diukur dengan skala sikap kreatif yang disusun penulis.
• Kemampuan menulis kreatif yang diukur dengan kemampuan membuat karangan berupa cerita pendek. Penilaian tes ini dilakukan berdasarkan expert judgment. Kriteria tulisan kreatif didasarkan pada tiga kategori produk kreatif yaitu kebaruan (novelty), pemecahan (resolution), dan bentuk (style).

2. Tempat dan Subjek Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di sekolah alam MTs Surya Buana yang merupakan salah satu sekolah lanjutan tingkat pertama di kota Malang. Pada awalnya subjek pada penelitian ini berjumlah sebanyak 50 siswa kelas (VII) tujuh yang terbagi pada dua kelas, namun 2 orang tidak disertakan dalam analisis karena datanya tidak lengkap sehingga jumlah subjek yang dianalisis hanya berjumlah 48 orang.

3. Instrumen Pengumpulan Data. Ada tiga jenis data yang diukur dalam penelitian ini, karena itu pengumpulan data dilakukan dengan tiga cara yaitu:
• Kemampuan berpikir kreatif yang diukur dengan tes berpikir kreatif dari Torrence (1999). Ada dua bentuk tes yang dibuat oleh Torrence untuk mengukur kemampuan bepikir kreatif ini yaitu verbal dan figural. Pada penelitian ini bentuk tes yang digunakan adalah tes kreativitas verbal, yang isinya terdiri dari enam sub-tes. Masing-masing sub-tes mengukur aspek yang berbeda dari berpikir kreatif.
• Karakteristik sikap kreatif yang diukur dengan skala psikologis yang disusun penulis berdasarkan teori yang dikembangkan Sternberg dan Lubart (1995). Bentuk skala yang digunakan adalah skala pengukuran model Likert yang jawabannya terdiri dari lima alternatif jawaban. Uji Validitas instrumen dilakukan pada 159 siswa dan dari hasil pengujian terhadap 60 item ditemukan adanya 24 valid dan 26 gugur dengan nilai reliabilitas sebesar @ 0,8375.
• Kemampuan menulis kreatif yang diteliti dalam penelitian ini berupa tes menulis cerita pendek yang dinilai rater berdasarkan kriteria produk kreatif yang dikembangkan Bessemer (2005). Berdasarkan kriteria di atas, dibuat suatu pedoman penilaian tulisan kreatif yang dirating oleh 1) peneliti; 2) guru bahasa Indonesia 3) ahli psikologi dan 4) ahli bahasa. Selanjutnya, hasil pengujian reliabilitas rata-rata rating dari keempat orang rater menunjukkan angka = 0,877 dan estimasi rata-rata reliabilitas seorang rater menunjukkan angka = 0,641.

4. Analisis Data. Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara kepribadian kreatif dengan kemampuan menulis kreatif. Sebelum dilakukan analisis data, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas sebaran dan linearitas hubungan. Hasil analisis menyatakan bahwa sebaran datanya adalah normal dan hubungannya adalah linear. Selanjutnya dilakukan analisis data dengan teknik analisis regresi yang bertujuan untuk mencari koefisien korelasi antara variabel bebas dengan variabel terikat.

G. Hasil dan Pembahasan
Hasil analisis tentang hubungan antara kepribadian kreatif dengan kemampuan menulis kreatif menunjukkan nilai R=0,572 dengan koefisien determinan sebesar 0,327 namun setelah dilakukan penyesuaian koefisien korelasinya (R-adjusted) berubah menjadi 0,329. Hal ini berarti bahwa kepribadian kreatif mampu menjadi prediktor bagi tinggi rendahnya kemampuan menulis kreatif sebesar 32,9%.
Selanjutnya, hubungan antara kepribadian kreatif pada aspek berpikir kreatif dengan kemampuan menulis kreatif ditemukan sebesar r=0.558 dengan nilai p=0.000 sedangkan pada aspek sikap kreatif ditemukan hubungan sebesar r=318 dengan nilai p=0,014. Hal ini berarti bahwa pikiran kreatif lebih tinggi korelasinya dengan kemampuan menulis kreatif dibanding dengan sikap kreatif.
Hasil diatas sesuai dengan satu pertanyaan filosofis yang diajukan Forester (Bekurs & Santoli, 1999) berbunyi: bagaimana saya tahu apa yang engkau pikirkan sampai saya lihat apa yang engkau katakan? Jawaban terhadap pertanyaan ini tentu saja memperkuat hubungan antara berpikir dengan menulis, karena tulisan seseorang merupakan ekspresi dari apa yang dipikir dan dirasakannya, bukan merupakan ekspresi dari sikapnya.
Ungkapan yang hampir senada dalam hubungannya antara berpikir dan menulis telah dikemukakan Wingersky, et al (1992) yang menyatakan bahwa sesuatu yang ditulis adalah sesuatu yang dipikir, artinya ada hubungan yang tidak bisa dipisahkan antara berpikir dan menulis. Hasil penelitian Pierce (1992) pada 102 siswa sekolah dasar menemukan adanya hubungan yang signifikan antara kemampuan berpikir kreatif dengan kemampuan menulis kreatif sebesar 0,319. Ini berarti bahwa berpikir kreatif dapat dijadikan sebagai prediktor bagi tinggi rendahnya kemampuan seseorang dalam menulis kreatif sebesar 10%.
Penelitian Han & Marvin (2002) menemukan bahwa kemampuan berpikir kreatif memberikan sumbangan sebesar 13,6% terhadap performance kreatif yang diukur dengan kemampuan bercerita pada siswa sekolah dasar. Ada kesamaan antara kemampuan bercerita dengan kemampuan menulis kreatif yaitu keduanya sama-sama menggunakan imaginasi untuk mengekspresikannya dan dilakukan secara spontan, jika bercerita diekspresikan secara lisan sedangkan kalau menulis kreatif diungkapkan secara tertulis.
Penelitian lain dilakukan Lee (2004) yang menemukan adanya korelasi antara beberapa sub-tes berpikir kreatif dari Torrence dengan performance creative yang diukur dengan Realistic story telling problems. Menurut Okuda, et al (1991) tes ini dianggap mempunyai validitas prediktif yang tinggi dengan kemampuan menulis kreatif, artinya kalau seseorang mempunyai skor yang tinggi dalam tes Realistic story telling problems maka iapun akan mempunyai skor yang tinggi pula dalam kemampuan menulis kreatif.
Penelitian yang dilakukan dalam bidang organisasi dilakukan Williams (2004) yang menemukan bahwa kemampuan berpikir divergen berkorelasi dengan performance creative yang dinilai rater, khususnya pada aspek novelty. Ia menjelaskan bahwa kemampuan berpikir divergen merupakan aspek yang sangat menentukan dalam proses penciptaan karya kreatif, karena itu ia menyebut berpikir divergen dengan sebutan “kunci” dalam kreativitas.

H. Kesimpulan
Kesimpulan hasil penelitian ini menyatakan bahwa terdapat hubungan antara karakteristik kepribadian kreatif dengan kemampuan menulis kreatif. Aspek kepribadian kreatif yang bersifat kognitif yang diukur dengan tes berpikir kreatif lebih berkorelasi dengan kemampuan menulis kreatif dibanding dengan aspek yang bersifat non-kognitif yang diukur dengan skala sikap kreatif.


DAFTAR PUSTAKA
Bean, J. (1998). Engaging Ideas, San Fransisco: Jossey-Bass Publisher
Bekurs, D., & Santoli, S. (1999). Writing is power: critical thinking, creative writing, and portofolio assessment, Bay Minette: Baldwin County High School
Besemer, S.P. (2005). Be creative!, using creative product analysis in gifted education, Creative Learning Today, 13, 4, 1-4
Burroway, J. (2003). Writing Fiction: a Guide to Narrative Craft, New York: Longman
Cramond, B. (1995). The Coincidence of Attention Deficit Hyperactivity Disorder and Creativity, Storrs, CT: The National Research Centre on the Gifted and Talented
Gerrard, P. (1996). Creative Non-fiction: Researching and Crafting, Stories from Real Life, Cincinnati: Story Press
Germana, J. (2007). Knowing and unknowing as cardinal virtues of the creative attitude, The Humanistics Psychologist, 35, 3, 247-251
Greene, H.A & Petty, W.T. (1991). Developing Language Skill In The Elementary School, Needham Heights: Allyn and Bacon, inc
Guilford, J.P. (1967). The Nature of Human Intelligence, New York: McGraw-Hill
Kumara, A. (2008). Dampak kemampuan verbal terhadap kualitas ekspresi tulis, Psikoislamika, 5, 1, 83-91
Lane, M.S., & Klenke, K. (2004). The ambiguity tolerance interface: a modified social cognitive model for leading under uncertainty, Journal of Leadership and Organizational Studies, 10, 3, 69-81
Lopez, N.R. (2003). An Interactional Approach to Investigating Individual Creative Performance, Thesis, The Faculty of Department of Psychology, San Jose State University
Lowe, G. (2006). Health-related Effects of creative and expressive writing, Health Education, 106, 1, 60-70
McCrae, R.R. (1997). Creativity, divergent thinking, and openness to experience. Journal of Personality and Social Psychology. 52, 6, 1258-1265
Munandar, S.C.U. (1999). Kreativitas dan Keberbakatan, Strategi Mewujudkan Potensi Kreatif dan Bakat, Jakarta: Gramedia
Munandar, S.C.U. (1977). Creativity and education, Jakarta: Dirjen Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan
Okuda, S.M, Runco, M.A, & Berger, D.E. (1991). creativity and the finding and solving of real-world problems, Journal of Psychoeducational Assessment, 9, 45-53
Pierce, C.L. (1992). The relationships of television viewing, reading, and the home environtment to children creativity, creative writing, and writing ability, Dissertation, Austin: The university of Texas
Post, F. (1994). Creativity and psychopathology: a study of 291 world-famous men, The British Journal of Psychiatry, 165, 22-34
Rhodes, M. (1961). An Analysis of Creativity, in: Isaken (editor), Frontiers of Creativity Research, Beyond The Basic, Buffalo, New York: Bearly, Ltd
Rowe, A.J. (2004). Creative Intelligence, Discovering The Innovative Potential in Ourselves and Others, New Jersey: Prentice Hall Inc
Salsedo, J. (2006). Using implicit and explicit theories of creativity to develop a personality measure for assessing creativity, Dissertation, New York: Department of Psychology at Fordham University
Schaefer, C.I. (1971). The Creative Attitude Survey, Jacksonville: Psychologist and Educators Inc
Sternberg, R.J., & Lubart, T.I. (1995). Defying The Crowd, Cultivating Creativity in a Cultural of Conformity, New York: A Division of Simon & Schuster Inc
Torrence, E.P. (1981). Thinking Creatively in Action and Movement, Benselville: Scholastics Testing Service
Torrence, E.P. (1988). The Nature of Creativity as Manifest in its Testing, dalam Sternberg (ed), The Nature of Creativity, New York: Cambridge University Press
Torrence, E.P. (1999). Torrence Test of Creative Thinking, Beaconville: Scholastics Testing Services
Williams, S.D. (2004). Personality, attitude, and leader influences on divergent thinking and creativity in organizations, European Journal of Innovation Management, 7, 3, 187-204