My Family

Kamis, 28 Agustus 2008

Model pembelajaran Synectics

SYNECTICS:

MODEL PEMBELAJARAN ALTERNATIF DALAM

MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN BERFIKIR KREATIF


Oleh:

Rahmat Aziz, M.Si§


Dipublikasikan pada jurnal:

El-hikmah, Jurnal Pendidikan dan keagamaan,
5, 2, Januari-Juni, 2008

Abstract

This article discussed about synectics models of teaching as the alternative to develope creative thinking in the classroom. Synectics is a models of teaching using direct , personal, and compressed conplict analogy to develope imagination and creative problem solving.

Key word: Synectics, creative thinking

a. Pengantar

Kreativitas merupakan aspek yang sangat berharga dalam setiap usaha manusia, sebab melalui kreativitas akan dapat ditemukan dan dihasilkan berbagai pemikiran, teori, pendekatan, dan cara baru yang sangat bermanfaat bagi kehidupan. Tanpa adanya kreativitas, kehidupan akan lebih merupakan suatu yang bersifat pengulangan terhadap pola-pola yang sama[1].

Kreativitas dapat dipahami dengan pendekatan process, product, person, dan press[2], namun pengukuran yang banyak dilakukan para ahli hanya dapat dilakukan pada ketiga aspek,[3] sedangkan aspek terakhir lebih pada bagaimana usaha untuk menciptakan lingkungan yang mendukung pada pengembangan kreativitas baik di lingkungan masyarakat, keluarga, maupun sekolah[4]. Lingkungan sekolah merupakan aspek yang sangat strategis dalam mengembangkan kreativitas siswa karena dari pagi sampai siang siswa berada di sekolah, bahkan banyak sekolah-sekolah yang menyelenggarakan kegiatan pendidikannya sampai sore.

Kenyataan yang ada, pendidikan di Indonesia saat ini lebih berorientasi pada hasil yang bersifat pengulangan, penghapalan, dan pencarian satu jawaban yang benar terhadap soal-soal yang diberikan. Proses-proses pemikiran tingkat tinggi termasuk berfikir kreatif jarang sekali dilatihkan[5]. Selain itu, salah satu faktor yang diduga menjadi penyebabnya rendahnya tingkat kreativitas adalah proses pembelajaran yang kurang variatif. Pendapat serupa telah dikemukakan oleh Lie[6] yang menyatakan bahwa model pembelajaran di Indonesia lebih berorientasi pada pengajaran yang bersifat satu arah, verbalistik, monoton, dan hapalan.

Pendapat-pendapat di atas menggambarkan bahwa pendidikan saat ini kurang mengapresiasi kreativitas, padahal kreativitas dan kecerdasan intelektual mempunyai peranan yang sama dalam mencapai keberhasilan dalam belajar. Penelitian awal tentang kemampuan berfikir kreatif di Indonesia telah lama dilakukan Munandar terhadap siswa SD dan SMP yang menemukan bahwa kreativitas dan Inteligensi sama absahnya dalam memprediksi prestasi belajar. Jika efek inteligensi di eliminasi, pengaruh kreativitas tetap substansial, namun kombinasi kreativitas dan inteligensi lebih efektif sebagai prediktor bagi tinggi rendahnya prestasi belajar[7].

Saat ini kebutuhan akan pengembangan kreativitas dirasakan sudah sangat mendesak karena kreativitas sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan pribadi, dan sangat vital untuk pembangunan Indonesia, sehubungan dengan itu peranan orangtua, guru, dan masyarakat sangat menentukan bagi keberhasilan pembinaan dan pengembangan kreativitas siswa, karena kreativitas merupakan suatu potensi yang tidak akan berkembang bila siswa tidak berada dalam lingkungan yang kondusif.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengembangan kreativitas menjadi suatu keniscayaan untuk segera dilakukan dan pada konteks inilah pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis dalam pengembangan kreativitas siswa. Tujuan pendidikan pada hakekatnya adalah menyediakan lingkungan yang memungkinkan peserta didik untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya secara optimal sesuai dengan kebutuhan pribadi dan masyarakat sekitarnya, karena itu pendidikan bertanggung jawab untuk memandu dan mengembangkan kreativitas yang dimiliki siswa.

Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal seharusnya menjadi tempat bagi pengembangan kreativitas siswa. Faktanya, saat ini sekolah masih belum mampu menciptakan suasana yang mendukung pada kemungkinan bagi siswa untuk kreatif, imaginatif dan mandiri. Keadaan seperti ini menjadi keluhan bagi berbagai pihak. Dalam praktik pembelajaran di kelas, metode yang sering digunakan adalah metode ceramah yang oleh Joni[8] disinyalir tidak akan menghasilkan sumber daya manusia berkualitas yang pada gilirannya tidak akan mampu bersaing baik dalam skala lokal maupun global.

Berdasarkan uraian di atas, diperlukan suatu perbaikan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan yang berorientasi pada siswa (student oriented). Perbaikan yang dimaksud berupa cara guru menyampaikan pelajaran yang mampu memberikan perbaikan terhadap kualitas hasil pembelajaran. Bentuk perbaikan pembelajaran yang dimaksud harus mampu mengembangkan pengetahuan dan pemahaman yang dibentuk melalui berbagai bentuk kajian, ketrampilan intelektual, sosial, dan psikomotorik siswa yang diperoleh melalui aplikasi keahlian, dan sikap serta internalisasi nilai yang diperoleh melalui penghayatan secara integral yang pada gilirannya mampu meningkatkan kreativitas siswa, baik dalam bentuk kemampuan berfikir maupun menulis kreatif.

Pemilihan model pembelajaran harus dilandaskan pada pertimbangan menempatkan siswa sebagai subjek belajar yang tidak hanya menerima secara pasif apa yang disampaikan oleh guru. Guru harus menempatkan siswanya sebagai insan yang secara alami memiliki pengalaman, pengetahuan, keinginan, dan pikiran yang dapat dimanfaatkan untuk belajar, baik secara individual maupun berkelompok. Model pembelajaran yang dipilih dan dipergunakan oleh guru adalah model yang dapat membuat siswa aktif mampu mengembangkan kreativitas sesuai dengan potensi yang dimiliki siswa. Salah satu model pembelajaran yang dikategorikan sesuai dengan model tersebut adalah model synectics[9]. Tulisan ini berusaha untuk mengkaji tentang model pembelajaran synectics sebagai salah satu model pembelajaran dalam mengembangkan kemampuan berfikir kreatif.

b. Kemampuan berfikir kreatif

Guilford salah seorang ahli psikologi mantan ketua APA (American Psychological Association) menyatakan bahwa kemampuan seseorang dalam memecahkan masalah terbagi pada dua jenis yaitu dengan berfikir kritis (konvergen) yang cenderung menginginkan jawaban tunggal yang paling benar, atau dengan cara berfikir kreatif (divergen) yaitu suatu kemampuan untuk memberikan jawaban dengan berbagai alternatif.

Guilford[10] menyebutkan adanya tujuh karakteritik dari kreativitas yaitu kepekaan terhadap masalah, kelancaran, kefleksibelan, keaslian, kemampuan menganalisis, kemampuan melakukan sintesis, dan kemampuan untuk meredifinisi sesuatu. Namun, pada perkembangan selanjutnya, Guilford menyebutkan hanya ada tiga ciri penting yaitu kelancaran, kefleksibelan, dan keaslian. Baru pada tahun-tahun berikutnya, ia menambahkan adanya satu ciri lagi berupa kemampuan mengelaborasi. Untuk mengukur kemampuan-kemampuan tersebut, ia mengembangkan alat ukur yang disebut dengan tes berfikir divergen[11]. Namun, ternyata tes tersebut dianggap hanya mengukur kemampuan subjek untuk kreatif, bukan mengukur kreativitasnya.

Banyak ahli yang kemudian mengkritisi dan berusaha memperbaiki tes tersebut, diantaranya adalah Torrence[12] yang berdasarkan keempat ciri tersebut kemudian mengembangkan test berfikir kreatif (Torrence Test of Creative Thinking) yang mampu mengungkap kelancaran, kefleksibelan, keaslian, dan elaborasi, walaupun beberapa hasil temuan menunjukkan bahwa diantara keempat ciri tersebut ternyata aspek elaborasi tidak berkorelasi tinggi dengan ketiga ciri yang lain.

Selanjutnya, Baer[13] menjelaskan mengenai empat kriteria berfikir kreatif yaitu: 1) fluency yang diartikan sebagai kelancaran dalam kata, mengemukakan gagasan, menghubungkan sesuatu, dan berekspresi. Kelancaran ini merujuk pada kemampuan untuk mengemukakan banyaknya gagasan; 2) flexibility diartikan sebagai kemampuan untuk menghasilkan gagasan yang bervariasi; 3) originality diartikan sebagai kemampuan untuk menghasilkan gagasan yang tidak biasa, dan 4) elaboration diartikan sebagai kemampuan untuk mengembangkan gagasan dan merincinya secara detail.

c. Model Pembelajaran Synectics

Istilah synectics diambil dari bahasa Yunani, yang merupakan gabungan kata syn berarti menggabungkan dan ectics berarti unsur yang berbeda. Dalam dunia keilmuan, synectics biasanya berhubungan dengan kreativitas dan pemecahan masalah, selain itu juga berhubungan dengan dinamika kelompok dalam latihan berfikir. Pada awalnya, synectics dikembangkan dalam dunia Industri namun dalam perkembangannya ternyata sukses diterapkan dalam dunia pendidikan dan dikenal sebagai salah satu model pembelajaran yang efektif untuk mengembangkan kreativitas.

Synetics dikembangkan oleh William Gordon dan merupakan model pembelajaran yang menggunakan analogi untuk mengembangkan kemampuan berfikir dari berbagai sudut pandang. Analogi dianggap mampu mengembangkan kreativitas karena dalam analogi ada usaha untuk menghubungkan antara apa yang sudah diketahui dengan apa yang ingin dipahami.[14] Ada tiga jenis analogi yang digunakan dalam model pembelajaran synectics, yaitu:

1. Analogi langsung yaitu kegiatan perbandingan sederhana antara dua objek atau gagasan, dalam pembandingan ini dua objek yang dibandingkan tidak harus sama dalam semua aspek, karena tujuan sebanarnya adalah untuk mentranformasikan kondisi objek atau situasi masalah nyata pada situasi masalah lain sehingga terbentuk suatu cara pandang baru. Pada analogi ini siswa diminta untuk menemukan situasi masalah yang sejajar dengan situasi kehidupan nyata. Misalnya bagaimana cara untuk memindahkan perabot yang berat kedalam ruang kelas, bisa dianalogikan dengan bagaimana cara hewan membawa anak-anaknya. Untuk melihat efektifitas suatu analogi langsung dilihat dari jarak konseptualnya, semakin jauh jarak konseptualnya, maka semakin tinggi skor analoginya.

2. Analogi personal yaitu kegiatan untuk melakukan analogi antara objek analogi dengan dirinya sendiri. Pada analogi ini siswa diminta menempatkan dirinya sebagai objek itu sendiri. Untuk melihat efektivitas analogi personal bisa dilihat dari banyaknya ungkapan yang dikemukakan, semakin banyak ungkapan yang dikemukakan maka semakin tinggi skor analogi personalnya. Dalam kegiatan membuat analogi personal, siswa melibatkan dirinya sebagai objek atau gagasan yang dibandingkan. Misalnya siswa disuruh untuk membandingkan dirinya dengan sebuah mesin, kemudian ditanyakan bagaimana perasaannya seandainya itu terjadi? Apa yang dirasakan seandainya mesin itu dihidupkan? Dan kapan kira-kira akan berhenti? Tujuan kegiatan ini adalah untuk mengarahkan jarak konseptual terbentuk dengan baik, semakin besar jarak konseptual maka akan semakin besar kemungkinan diperoleh gagasan baru. Menurut Gordon[15] jarak konseptual bisa dilihat dari adanya keterlibatan dalam proses analogi. Selanjutnya dijelaskan adanya empat keterlibatan yang mungkin terjadi ketika melakukan analogi, yaitu:

a. Keterlibatan terhadap fakta yaitu proses analogi terhadap fakta yang dikenal tanpa menggunakan cara pandang baru dan tanpa keterlibatan empati, misalnya: seandainya saya menjadi mesin maka saya merasa panas.

b. Keterlibatan dengan emosi yaitu proses analogi dengan melibatkan unsur emosi, misalnya: seandainya saya menjadi mesin maka saya menjadi kuat.

c. Keterlibatan dengan empati pada benda-benda hidup yaitu proses analogi dengan melibatkan emosi dan kinestetik pada objek analogi, misalnya: seandainya saya menjadi mobil, saya merasa seperti sedang mengikuti lomba balapan, dan saya jadi tergesa-gesa.

d. Keterlibatan dengan empati pada benda-benda mati yaitu proses analogi dengan menempatkan diri subjek sebagai suatu objek anorganik dan mencoba memperluas masalah dari pandangan simpati, misalnya, seandainya saya menjadi mesin, saya tidak tahu kapan harus berjalan dan kapan harus berhenti. Seseorang akan bekerja untuk saya.

3. Analogi konflik yang ditekan yaitu kegiatan untuk mengkombinasikan titik pandang yang berbeda terhadap suatu objek sehingga terlihat dari dua kerangka acuan yang berbeda. Hasil kegiatan ini berupa deskripsi tentang suatu objek atau gagasan berdasarkan dua kata atau frase yang kontradiktif, mislnya: bagaimana komputer itu dianggap sebagai pemberani atau penakut? Bagaimanakah mesin mobil dapat tertawa atau marah? Tujuan kegiatan ini adalah untuk memperluas pemahaman tentang gagasan-gagasan baru dan untuk memaksimalkan unsur kejutan, karena itu maka kegiatan analogi ini dianggap sebagai kegiatan mental tingkat tinggi. Pada analogi ini siswa diminta diminta menyebutkan suatu objek secara berpasangan. Semakin banyak pasangan yang disebutkan, semakin tinggi skor yang diperoleh. Berdasarkan pasangan kata tersebut, siswa diharapkan mengemukakan objek sebanyak-banyaknya yang bersifat kontaradiktif, kemudian diminta menjelaskan mengapa benda tersebut bersifat kontradiktif.

d. Penerapan Synectics dalam Pembelajaran

Synectics sebagai salah satu model pembelajaran mempunyai beberapa keuntungan, diantaranya adalah 1) mampu meningkatkan kemampuan untuk hidup dalam suasana yang kompleks dan menghargai adanya perbedaan; 2) mampu merangsang kemampuan berfikir kreatif; 3) mampu mengaktifkan kedua belahan otak; 4) mampu memunculkan adanya pemikiran baru. Selain itu, kelebihan dari metode synectics yang lainnya adalah bisa dikombinasi dengan model yang lain.[16]

Pada proses yang terjadi dalam synectics, seseorang mampu mengatasi hambatan mental yang membelenggunya, selain itu kemampuan berfikir divergen dan kemampuan untuk memecahkan masalah akan terus berkembang[17]. Selanjutnya ia menjelaskan strategi yang harus dilalui ketika membuat sesuatu yang asing menjadi lazim atau membuat yang lazim menjadi asing yaitu: 1) Mendefinisikan atau menggambarkan situasi saat ini atau masalah yang sedang dihadapi; 2) menulis gagasan tentang analogi langsung; 3) menulis reaksi terhadap hasil analogi langsung; 4) mengeksplorasi sesuatu yang menjadi konfliks; 5) membuat analogi langsung yang baru; dan 6) mengujinya dalam situasi yang nyata.

Selanjutnya, ia juga menjelaskan tentang strategi tersebut dalam praktek pembelajaran yang dalam prakteknya terbagi menjadi tujuh tahapan yaitu: 1) Masukan substansial yaitu guru mengemukakan permasalahan pada siswa untuk diselesaikan; 2) Pembuatan analogi langsung dengan cara guru menyuruh siswa untuk membuat analogi langsung dan siswa melakukannya; 3) Guru mengidentifikasi hasil analogi yang telah dibuat siswa; 4) Siswa menjelaskan kemiripan antara sesuatu yang asing dengan yang lazim; 5) Siswa menjelaskan perbedaan antara sesuatu yang asing dengan yang lazim; 6) Siswa mengeksplorasi topik yang bersifat original; dan 7) Siswa menghasilkan suatu produk melalui analogi langsung.

Penerapan synectics dalam pembelajaran menurut Joyce[18] seharusnya menganut tiga prinsip yaitu: 1) Prinsip reaksi mengacu pada respon guru terhadap siswanya. Diharapkan guru menerima semua respon siswa apapun bentuknya dan menjamin bahwa hal tersebut seolah-olah merupakan ungkapan kreatif siswa, akan tetapi melalui pertanyaan evokatif, guru dapat menstimulasi lebih lanjut kemampuan berfikir kreatifnya; 2) Sistem sosial mendeskripsikan peranan dan hubungan antara guru dan siswa serta mendeskripsikan jenis norma yang disarankan. Sistem sosial dalam synectics terstruktur secara moderat, yang dalam praktiknya berupa guru mengawali dan mengarahkan siswa untuk memecahkan masalah melalui analogi, mengembangkan kebebasan intelektual, dan memberikan reward yang nantinya akan menjadi kepuasan internal siswa yang diperoleh dari pengalaman belajar; dan 3) Sistem pendukung mengacu pada kebutuhan yang diperlukan untuk implementasi. Sistem pendukung dalam kegiatan synectics terdiri dari pengalaman guru tentang kegiatan synectics, lingkungan yang nyaman, laboratorium, atau sumber belajar lainnya.

e. Kesimpulan

Pendidikan pada dasarnya adalah suatu usaha untuk mengembangkan peserta didik selah sacara optimal sesuai dengan potensinya. Salah satu potensi yang mendesak untuk dikembangkan adalah kemampuan berfikir kreatif dan salah satu cara yang bisa dilakukan guru adalah dengan menggunakan synectics sebagai model dalam mengajar. Synectics adalah model pembelajaran yang menggunakan analogi langsung, analogi personal, dan analogi compressed konflik yang tujuannya adalah untuk mengembangkan imajinasi dan memperluas wawasan dalam melihat suatu masalah.

Terdapat beberapa temuan penelitian yang membuktikan bahwa synectics efektif dalam mengembangkan kemampuan berfikir kreatif siswa, karena itu penggunaan synectics dalam pembelajaran perlu dilakukan sebagai salah satu alternative dalam mengembangkan kemampuan berfikir kreatif siswa.


§ Penulis adalah dosen fakultas psikologi Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, kandidat Doktor dalam bidang Psikologi Pendidikan dari Universitas Negeri Malang.


End Note:

[1] Sternberg, R., 1992, Cognitive Approach to Intelligence, In B.B Wolman (Eds), Handbook of Intelligence: Theories, Measurement, And Application, New York: John Willey and Sons

[2] Torrence, E.P., 1995, Education and the Creative Potential, Minneapolis: University of Minnoseta Press

[3] Salsedo, J., 2006, Using implicit and explicit theories of creativity to develop a personality measure for assessing creativity, Dissertation, New York: Department of Psychology at Fordham University

[4] Vidal, R., 2005, Creativity For Operational Researchers, Investigacao Operacional, 25. 1-24

[5] Joni, R, 1992,. Memicu Perbaikan Pendidikan melalui Kurikulum. Basis, Nomor. 07-08

[6] Lie, A. 2004. Cooperative Learning, Memperaktikkan Cooperative Learning di Ruang-ruang Kelas. Jakarta: Gramedia

[7] Munandar, S.C.U., 1977, Creativity and education, Jakarta: Dirjen Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan

[8] Ibid 5

[9] Joyce, M., & Weil, J., 2000, Models of Teaching, Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc.,

[10] Guilford, J.P., 1959, Creativity, Its Measurement and development, In A Source Book For Creative Thinking, Edited by Parnes, New York: Charles Scribner`s Sons

[11] Guilford, J.P., 1967, The Nature of Human Intelligence, New York: McGraw-Hill

[12] Torrence, E.P., 1981, Thinking Creatively in Action and Movement, Benselville: Scholastics Testing Service

[13] Baer, J., 1993, Craetivity and Divergent Thinking, a Task-Specipic Approach, Hilsdale, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publishers

[14] Kleiner, C.S., 1991, The Effect of Synectics Training on Student s` Creatativity And Achievement in Science, Dissertation, San Diego: Graduate Faculty of The School of Education, United States International University

[15] Ibid 9

[16] Instructional Strategies Online, 2004, Synectics, Saskatoon Public School Division, http.www. synectics

[17] Hummel, L, 2006, Synectics for Creative Thinking in Technology Education, The Technology Teacher, 66, 3, 22-27

[18] Ibid 9

DAFTAR PUSTAKA

Guilford, J.P., 1959, Creativity, Its Measurement and development, In A Source Book For Creative Thinking, Edited by Parnes, New York: Charles Scribner`s Sons

Guilford, J.P., 1967, The Nature of Human Intelligence, New York: McGraw-Hill

Hummel, L, 2006, Synectics for Creative Thinking in Technology Education, The Technology Teacher, 66, 3, 22-27

Instructional Strategies Online, 2004, Synectics, Saskatoon Public School Division, http.www. synectics.

Joni, R, 1992,. Memicu Perbaikan Pendidikan melalui Kurikulum. Basis, Nomor. 07-08

Joyce, M., & Weil, J., 2000, Models of Teaching, Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc.,

Kleiner, C.S., 1991, The Effect of Synectics Training on Student s` Creatativity And Achievement in Science, Dissertation, San Diego: Graduate Faculty of The School of Education, United States International University

Lie, A. 2004. Cooperative Learning, Memperaktikkan Cooperative Learning di Ruang-ruang Kelas. Jakarta: Gramedia

Munandar, S.C.U, 1999, Kreativitas dan Keberbakatan, Strategi Mewujudkan Potensi Kreatif dan Bakat, Jakarta: Gramedia

Munandar, S.C.U., 1977, Creativity and education, Jakarta: Dirjen Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan

Salsedo, J., 2006, Using implicit and explicit theories of creativity to develop a personality measure for assessing creativity, Dissertation, New York: Department of Psychology at Fordham University

Sternberg, R., 1992, Cognitive Approach to Intelligence, In B.B Wolman (Eds), Handbook of Intelligence: Theories, Measurement, And Application, New York: John Willey and Sons

Sternberg, R.J., & Lubart, T.I., 1995, Defying The Crowd, Cultivating Creativity in a Cultural of Conformity, New York: A Division of Simon & Schuster Inc.

Torrence, E.P., 1981, Thinking Creatively in Action and Movement, Benselville: Scholastics Testing Service

Torrence, E.P., 1995, Education and the Creative Potential, Minneapolis: University of Minnoseta Press

Vidal, R., 2005, Creativity For Operational Researchers, Investigacao Operacional, 25. 1-24