My Family

Kamis, 08 Januari 2009

Creative Personality and Creative Writing

HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK KEPRIBADIAN KREATIF
DENGAN KEMAMPUAN MENULIS KREATIF


Oleh:
Dr. Rahmat Aziz, M.Si
Retno Mangestuti, M.Si


The aim of research is to study the correlation between carracteristics of creative personality with the skill of creative writing to student of Islamic secondary school in Malang.
The subjects were 48 students. The instrument used were Torrence test of creative thinking, scale of creative attitude, and test of creative writing. The data were analyzed using analysis of regression.
The result show: there’s correlation between carracteristics of creative personality with the skill of creative writing.


A. Latar Belakang Masalah
Salah satu kemampuan yang harus dikuasai oleh siswa dalam bidang bahasa adalah kemampuan menulis. Gerard (1996) membagi kegiatan menulis kedalam dua jenis yaitu menulis akademis (academic writing) dan menulis kreatif (creative writing) yang diartikan sebagai kegiatan menulis untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan dalam bentuk imajinatif, spontan dan asli. Percy (1993) berpendapat bahwa menulis kreatif merupakan gagasan ekspresif yang mengalir dari pikiran seseorang ke dalam suatu tulisan.
Selanjutnya, Greene dan Petty (1991) membagi kegiatan menulis karangan pada dua jenis yaitu: pertama menulis praktis yaitu mengarang yang sifatnya faktual, fungsional dan ekspositori, dan kedua menulis kreatif yaitu mengarang yang sifatnya personal dan tidak selamanya mempunyai kegunaan praktis. Suatu karangan dianggap sebagai tulisan kreatif ketika mempunyai ciri orsinil, spontan, dan imaginatif.
Kegiatan menulis kreatif adalah salah satu kegiatan positif yang sangat penting dan bermanfaat bagi kehidupan. Pentingnya kegiatan menulis kreatif telah dibuktikan oleh beberapa hasil penelitian. Diantaranya penelitian Post (1994) yang menemukan bahwa para penulis cenderung lebih mampu bertahan dari masalah-masalah mental dibandingkan dengan orang yang tidak biasa menulis.
Temuan ini didukung pendapat Lowe (2006) yang menyatakan bahwa kegiatan menulis kreatif mempunyai unsur terapeutik. Artinya semakin sering seseorang menulis maka semakin sehatlah mental orang tersebut. Hal ini dapat dipahami karena ada proses katarsis yang terjadi pada proses menulis kreatif, sehingga semua beban psikologis baik berupa tekanan, harapan, gagasan dan lain sebagainya mampu terekspresikan dalam bentuk tulisan.
Pentingnya kemampuan menulis kreatif pada siswa ternyata kurang didukung oleh praktik pendidikan yang sekarang sedang berlangsung. Kajian terhadap beberapa penelitian tentang pembelajaran mengarang sebagai salah satu bentuk tulisan kreatif di sekolah telah dilakukan Kumara (2008) yang menyimpulkan bahwa 1) guru kurang kreatif dalam melakukan kontekstualisasi materi pelajaran dalam proses pembelajaran sehingga proses belajar menjadi tidak menarik; 2) guru jarang sekali memberikan kesempatan pada siswa untuk praktik mengarang; 3) minat membaca siswa rendah yang berakibat pada kurangnya wawasan dan sedikitnya perbendaharaan kata sehingga mereka kesulitan ketika harus menuangkan gagasan dalam bentuk tertulis.
Selain faktor pendidikan, karakteristik kepribadian mempengaruhi terhadap kemampuan menulis kreatif seseorang. Penelitian yang dilakukan Pierce (1992) pada 102 siswa menemukan adanya hubungan antara berpikir kreatif dengan kemampuan menulis kreatif. Hal ini didukung pendapat Wingersky, et al (1992) yang menyatakan bahwa sesuatu yang ditulis adalah sesuatu yang dipikir. Artinya ada hubungan yang tak terpisahkan antara kegiatan berpikir dan kegiatan menulis.
Beberapa penelitian tentang karakteristik sikap kreatif telah dilakukan Lopez (2003) yang menemukan bahwa kepercayaan diri sebagai salah satu ciri sikap kreatif berkorelasi dengan kemampuan menulis kreatif sebesar 0,560, demikian juga dengan temuan McCrae (1997) tentang keterbukaan terhadap pengalaman.
Hubungan antara berpikir dan menulis kreatif dapat digambarkan sebagai berikut: pada kegiatan menulis kreatif, siswa akan terlibat dengan penulisan kata, penggunaan tatabahasa, pengungkapan dan pengorganisasian pikiran dan perasaan yang selanjutnya dituangkan dalam bentuk tulisan. Bahkan dengan sangat tegas Bekurs & Santoli (1999) menyebutkan bahwa menulis kreatif adalah berpikir kreatif karena dalam kegiatan menulis pasti melibatkan pikiran. Bean (1996) menyebutkan bahwa sebelum memulai menulis pasti seseorang dimulai dengan memfokuskan pikirannya, karena itu ia menyebutkan bahwa menulis itu merupakan suatu proses yang melibatkan kegiatan berpikir.
Pada aspek sikap

B. Perumusan Masalah
Masalah yang dicari jawabannya dalam penelitian ini adalah bagaimana hubungan antara karakteristik kepribadian kreatif yang terdiri dari sikap dan pikiran kreatif dengan kemampuan menulis kreatif pada siswa?

C. Hipotesis Penelitian
Sesuai dengan masalah penelitian, hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah terdapat hubungan antara kepribadian kreatif dengan kemampuan menulis kreatif. Semakin tinggi karakteristik kepribadian kreatif subjek, semakin tinggi pula kemampuannya dalam menulis kreatif.

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan hubungan antara kepribadian kreatif yang terdiri dari aspek sikap dan pikiran kreatif dengan kemampuan menulis kreatif pada siswa sekolah menengah pertama. Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan teoritis dengan adanya penambahan khazanah keilmuan dalam bidang psikologi, khususnya tentang kreativitas.

E. Kajian Teori
Rhodes (1961) berdasarkan kajian terhadap 40 definisi tentang kreativitas menyimpulkan bahwa pada umumnya kreativitas didefinisikan sebagai pribadi (person), proses (process), produk (product), dan pendorong (press). Pemahaman di atas kemudian dikenal dengan “P Four’s Creativity. Selanjutnya dijelaskan bahwa sebagai process kreativitas berarti kemampuan berpikir untuk membuat kombinasi baru, sebagai product kreativitas diartikan sebagai suatu karya baru, berguna, dan dapat dipahami oleh masyarakat pada waktu tertentu, sebagai person kreativitas berarti ciri-ciri kepribadian non kognitif yang melekat pada orang kreatif, dan sebagai press artinya pengembangan kreativitas itu ditentukan oleh faktor lingkungan baik internal maupun eksternal.
Munandar (1999) menjelaskan keempat P tersebut saling berhubungan antara satu sama lain, pribadi kreatif yang melibat diri dalam proses kreatif, dan dengan dukungan dan dorongan dari lingkungan, akan menghasilkan produk kreatif. Selanjutnya Torrence (1988) menjelaskan hubungan keempat aspek tersebut sebagai berikut: dengan berfokus pada proses kreatif, dapat ditanyakan jenis pribadi bagaimanakah yang akan berhasil dalam proses tersebut? Lingkungan bagaimanakah yang akan memudahkan proses tersebut? dan produk bagaimanakah yang dihasilkan dari proses tersebut?
Salsedo (2006) menjelaskan bahwa pengukuran kreativitas sebagai produk berarti memfokuskan pada hasil kegiatan kreatif, sebagai proses berarti memfokuskan pada bagaimana individu dalam mengekspresikan kreativitasnya, dan sebagai kepribadian berarti memfokuskan pada sikap, minat, motivasi dan faktor-faktor kepribadian lain yang berhubungan dengan kegiatan kreatif.
Karakteristik berpikir kreatif telah dikemukakan Guilford (1967) yang menyebutkan adanya tiga ciri penting yaitu kelancaran, kefleksibelan, dan keaslian. Baru pada tahun-tahun berikutnya, ia menambahkan adanya satu ciri lagi berupa kemampuan mengelaborasi. Untuk mengukur kemampuan-kemampuan tersebut, ia mengembangkan alat ukur yang disebut dengan tes berpikir divergen. Namun, ternyata tes tersebut dianggap hanya mengukur kemampuan subjek untuk kreatif, bukan mengukur kreativitasnya. Banyak ahli yang kemudian mengkritisi dan berusaha memperbaiki tes tersebut, diantaranya adalah Torrence (1981) yang berdasarkan keempat ciri tersebut kemudian mengembangkan test berpikir kreatif (Torrence Test of Creative Thinking) yang mampu mengungkap kelancaran, kefleksibelan, keaslian, dan elaborasi.
Selanjutnya, mengenai istilah sikap kreatif (creative attitude) telah digunakan oleh beberapa ahli seperti Germana (2007), Munandar (1997). Bahkan Schaefer (1971), telah menyusun instrumen pengukuran tentang sikap kreatif. Ada beberapa karakteristik sikap kreatif yang disebutkan oleh para ahli. Sternberg & Lubart (1995) menyebutkan ciri-cirinya sebagai berikut: 1) ketekunan dalam menghadapi tantangan; 2) keberanian untuk menanggung resiko; 3) keinginan untuk berkembang; 4) toleransi terhadap ketaksaan; 5) keterbukaan terhadap pengalaman baru; dan 6) keteguhan terhadap pendirian.
Pengertian kemampuan menulis kreatif merujuk pada pendapat Greene & Petty (1991) yang mendefinisikan kegiatan menulis kreatif sebagai suatu kegiatan mengarang yang sifatnya personal dan tidak selamanya mempunyai kegunaan praktis. Suatu karangan kreatif dicirikan dengan adanya tiga sifat yaitu orsinil (asli), spontan (langsung), dan imaginatif. Salah satu bentuk dari tulisan kreatif diantaranya adalah cerita pendek yang menurut Burroway (2003) mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1) memfokuskan pada satu peristiwa; 2) hanya mempunyai satu plot; 3) hanya mempunyai satu setting; 4) terbatas pada sejumlah karakter; dan 5) terbatas pada konteks waktu tertentu.
Hubungan antara kepribadian kreatif baik pada spek kognitif maupun non-kognitif telah dikemukakan oleh Rowe (2005) yang menyatakan bahwa banyak aspek yang mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat kreativitas seseorang, diantaranya adalah faktor kepribadian. Kepribadian kreatif diartikan sebagai karakteristik kepribadian seseorang baik berupa cara berpikir maupun cara bersikap yang menjadi ciri khusus orang-orang kreatif.

F. Metode Penelitian
1. Definisi Operasional. Dalam penelitian ini beberapa konsep perlu diberikan pengertian definisi operasionalnyanya yaitu:
• Kepribadian kreatif adalah karakteristik individu kreatif baik pada aspek kognitif maupun aspek non-kognitif. Pada penelitian ini aspek kognitif diartikan sebagai kemampuan berpikir kreatif yang diukur dengan menggunakan Torrence test of creative thinking, sedangkan aspek non-kognitif diartikan sebagai sikap kreatif yang diukur dengan skala sikap kreatif yang disusun penulis.
• Kemampuan menulis kreatif yang diukur dengan kemampuan membuat karangan berupa cerita pendek. Penilaian tes ini dilakukan berdasarkan expert judgment. Kriteria tulisan kreatif didasarkan pada tiga kategori produk kreatif yaitu kebaruan (novelty), pemecahan (resolution), dan bentuk (style).

2. Tempat dan Subjek Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di sekolah alam MTs Surya Buana yang merupakan salah satu sekolah lanjutan tingkat pertama di kota Malang. Pada awalnya subjek pada penelitian ini berjumlah sebanyak 50 siswa kelas (VII) tujuh yang terbagi pada dua kelas, namun 2 orang tidak disertakan dalam analisis karena datanya tidak lengkap sehingga jumlah subjek yang dianalisis hanya berjumlah 48 orang.

3. Instrumen Pengumpulan Data. Ada tiga jenis data yang diukur dalam penelitian ini, karena itu pengumpulan data dilakukan dengan tiga cara yaitu:
• Kemampuan berpikir kreatif yang diukur dengan tes berpikir kreatif dari Torrence (1999). Ada dua bentuk tes yang dibuat oleh Torrence untuk mengukur kemampuan bepikir kreatif ini yaitu verbal dan figural. Pada penelitian ini bentuk tes yang digunakan adalah tes kreativitas verbal, yang isinya terdiri dari enam sub-tes. Masing-masing sub-tes mengukur aspek yang berbeda dari berpikir kreatif.
• Karakteristik sikap kreatif yang diukur dengan skala psikologis yang disusun penulis berdasarkan teori yang dikembangkan Sternberg dan Lubart (1995). Bentuk skala yang digunakan adalah skala pengukuran model Likert yang jawabannya terdiri dari lima alternatif jawaban. Uji Validitas instrumen dilakukan pada 159 siswa dan dari hasil pengujian terhadap 60 item ditemukan adanya 24 valid dan 26 gugur dengan nilai reliabilitas sebesar @ 0,8375.
• Kemampuan menulis kreatif yang diteliti dalam penelitian ini berupa tes menulis cerita pendek yang dinilai rater berdasarkan kriteria produk kreatif yang dikembangkan Bessemer (2005). Berdasarkan kriteria di atas, dibuat suatu pedoman penilaian tulisan kreatif yang dirating oleh 1) peneliti; 2) guru bahasa Indonesia 3) ahli psikologi dan 4) ahli bahasa. Selanjutnya, hasil pengujian reliabilitas rata-rata rating dari keempat orang rater menunjukkan angka = 0,877 dan estimasi rata-rata reliabilitas seorang rater menunjukkan angka = 0,641.

4. Analisis Data. Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara kepribadian kreatif dengan kemampuan menulis kreatif. Sebelum dilakukan analisis data, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas sebaran dan linearitas hubungan. Hasil analisis menyatakan bahwa sebaran datanya adalah normal dan hubungannya adalah linear. Selanjutnya dilakukan analisis data dengan teknik analisis regresi yang bertujuan untuk mencari koefisien korelasi antara variabel bebas dengan variabel terikat.

G. Hasil dan Pembahasan
Hasil analisis tentang hubungan antara kepribadian kreatif dengan kemampuan menulis kreatif menunjukkan nilai R=0,572 dengan koefisien determinan sebesar 0,327 namun setelah dilakukan penyesuaian koefisien korelasinya (R-adjusted) berubah menjadi 0,329. Hal ini berarti bahwa kepribadian kreatif mampu menjadi prediktor bagi tinggi rendahnya kemampuan menulis kreatif sebesar 32,9%.
Selanjutnya, hubungan antara kepribadian kreatif pada aspek berpikir kreatif dengan kemampuan menulis kreatif ditemukan sebesar r=0.558 dengan nilai p=0.000 sedangkan pada aspek sikap kreatif ditemukan hubungan sebesar r=318 dengan nilai p=0,014. Hal ini berarti bahwa pikiran kreatif lebih tinggi korelasinya dengan kemampuan menulis kreatif dibanding dengan sikap kreatif.
Hasil diatas sesuai dengan satu pertanyaan filosofis yang diajukan Forester (Bekurs & Santoli, 1999) berbunyi: bagaimana saya tahu apa yang engkau pikirkan sampai saya lihat apa yang engkau katakan? Jawaban terhadap pertanyaan ini tentu saja memperkuat hubungan antara berpikir dengan menulis, karena tulisan seseorang merupakan ekspresi dari apa yang dipikir dan dirasakannya, bukan merupakan ekspresi dari sikapnya.
Ungkapan yang hampir senada dalam hubungannya antara berpikir dan menulis telah dikemukakan Wingersky, et al (1992) yang menyatakan bahwa sesuatu yang ditulis adalah sesuatu yang dipikir, artinya ada hubungan yang tidak bisa dipisahkan antara berpikir dan menulis. Hasil penelitian Pierce (1992) pada 102 siswa sekolah dasar menemukan adanya hubungan yang signifikan antara kemampuan berpikir kreatif dengan kemampuan menulis kreatif sebesar 0,319. Ini berarti bahwa berpikir kreatif dapat dijadikan sebagai prediktor bagi tinggi rendahnya kemampuan seseorang dalam menulis kreatif sebesar 10%.
Penelitian Han & Marvin (2002) menemukan bahwa kemampuan berpikir kreatif memberikan sumbangan sebesar 13,6% terhadap performance kreatif yang diukur dengan kemampuan bercerita pada siswa sekolah dasar. Ada kesamaan antara kemampuan bercerita dengan kemampuan menulis kreatif yaitu keduanya sama-sama menggunakan imaginasi untuk mengekspresikannya dan dilakukan secara spontan, jika bercerita diekspresikan secara lisan sedangkan kalau menulis kreatif diungkapkan secara tertulis.
Penelitian lain dilakukan Lee (2004) yang menemukan adanya korelasi antara beberapa sub-tes berpikir kreatif dari Torrence dengan performance creative yang diukur dengan Realistic story telling problems. Menurut Okuda, et al (1991) tes ini dianggap mempunyai validitas prediktif yang tinggi dengan kemampuan menulis kreatif, artinya kalau seseorang mempunyai skor yang tinggi dalam tes Realistic story telling problems maka iapun akan mempunyai skor yang tinggi pula dalam kemampuan menulis kreatif.
Penelitian yang dilakukan dalam bidang organisasi dilakukan Williams (2004) yang menemukan bahwa kemampuan berpikir divergen berkorelasi dengan performance creative yang dinilai rater, khususnya pada aspek novelty. Ia menjelaskan bahwa kemampuan berpikir divergen merupakan aspek yang sangat menentukan dalam proses penciptaan karya kreatif, karena itu ia menyebut berpikir divergen dengan sebutan “kunci” dalam kreativitas.

H. Kesimpulan
Kesimpulan hasil penelitian ini menyatakan bahwa terdapat hubungan antara karakteristik kepribadian kreatif dengan kemampuan menulis kreatif. Aspek kepribadian kreatif yang bersifat kognitif yang diukur dengan tes berpikir kreatif lebih berkorelasi dengan kemampuan menulis kreatif dibanding dengan aspek yang bersifat non-kognitif yang diukur dengan skala sikap kreatif.


DAFTAR PUSTAKA
Bean, J. (1998). Engaging Ideas, San Fransisco: Jossey-Bass Publisher
Bekurs, D., & Santoli, S. (1999). Writing is power: critical thinking, creative writing, and portofolio assessment, Bay Minette: Baldwin County High School
Besemer, S.P. (2005). Be creative!, using creative product analysis in gifted education, Creative Learning Today, 13, 4, 1-4
Burroway, J. (2003). Writing Fiction: a Guide to Narrative Craft, New York: Longman
Cramond, B. (1995). The Coincidence of Attention Deficit Hyperactivity Disorder and Creativity, Storrs, CT: The National Research Centre on the Gifted and Talented
Gerrard, P. (1996). Creative Non-fiction: Researching and Crafting, Stories from Real Life, Cincinnati: Story Press
Germana, J. (2007). Knowing and unknowing as cardinal virtues of the creative attitude, The Humanistics Psychologist, 35, 3, 247-251
Greene, H.A & Petty, W.T. (1991). Developing Language Skill In The Elementary School, Needham Heights: Allyn and Bacon, inc
Guilford, J.P. (1967). The Nature of Human Intelligence, New York: McGraw-Hill
Kumara, A. (2008). Dampak kemampuan verbal terhadap kualitas ekspresi tulis, Psikoislamika, 5, 1, 83-91
Lane, M.S., & Klenke, K. (2004). The ambiguity tolerance interface: a modified social cognitive model for leading under uncertainty, Journal of Leadership and Organizational Studies, 10, 3, 69-81
Lopez, N.R. (2003). An Interactional Approach to Investigating Individual Creative Performance, Thesis, The Faculty of Department of Psychology, San Jose State University
Lowe, G. (2006). Health-related Effects of creative and expressive writing, Health Education, 106, 1, 60-70
McCrae, R.R. (1997). Creativity, divergent thinking, and openness to experience. Journal of Personality and Social Psychology. 52, 6, 1258-1265
Munandar, S.C.U. (1999). Kreativitas dan Keberbakatan, Strategi Mewujudkan Potensi Kreatif dan Bakat, Jakarta: Gramedia
Munandar, S.C.U. (1977). Creativity and education, Jakarta: Dirjen Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan
Okuda, S.M, Runco, M.A, & Berger, D.E. (1991). creativity and the finding and solving of real-world problems, Journal of Psychoeducational Assessment, 9, 45-53
Pierce, C.L. (1992). The relationships of television viewing, reading, and the home environtment to children creativity, creative writing, and writing ability, Dissertation, Austin: The university of Texas
Post, F. (1994). Creativity and psychopathology: a study of 291 world-famous men, The British Journal of Psychiatry, 165, 22-34
Rhodes, M. (1961). An Analysis of Creativity, in: Isaken (editor), Frontiers of Creativity Research, Beyond The Basic, Buffalo, New York: Bearly, Ltd
Rowe, A.J. (2004). Creative Intelligence, Discovering The Innovative Potential in Ourselves and Others, New Jersey: Prentice Hall Inc
Salsedo, J. (2006). Using implicit and explicit theories of creativity to develop a personality measure for assessing creativity, Dissertation, New York: Department of Psychology at Fordham University
Schaefer, C.I. (1971). The Creative Attitude Survey, Jacksonville: Psychologist and Educators Inc
Sternberg, R.J., & Lubart, T.I. (1995). Defying The Crowd, Cultivating Creativity in a Cultural of Conformity, New York: A Division of Simon & Schuster Inc
Torrence, E.P. (1981). Thinking Creatively in Action and Movement, Benselville: Scholastics Testing Service
Torrence, E.P. (1988). The Nature of Creativity as Manifest in its Testing, dalam Sternberg (ed), The Nature of Creativity, New York: Cambridge University Press
Torrence, E.P. (1999). Torrence Test of Creative Thinking, Beaconville: Scholastics Testing Services
Williams, S.D. (2004). Personality, attitude, and leader influences on divergent thinking and creativity in organizations, European Journal of Innovation Management, 7, 3, 187-204

Jumat, 19 Desember 2008

Penelitian Psikologi Islami

MODEL PENELITIAN DALAM PSIKOLOGI ISLAMI


Oleh:

Rahmat Aziz, M.Si

Dipublikasikan pada jurnal:

Psikoislamika, Jurnal Psikologi dan Keislaman,

Vol 3, No 1, Januari 2006

Abstract

Human being is unique being and typical, therefore, when comprehending human being only by using scientific method, it will not be adequate enough, for that reason it has been raised a confidence method, ratiocination method, authority method, and intuition method as alternative method beside of scientific method. Furthermore, the existence of those alternative methods emerged four model of research that can be conducted in line to development of Islamic psychology.

Keywords: scientific method and Islamic psychology method

Psikologi Islami sebagai suatu aliran baru dalam bidang psikologi diharapkan mampu memberikan sumbangan yang signifikan dalam memajukan sekaligus mensejahterakan umat manusia, karena itu teori-teori yang lahir diharapkan mampu menjawab berbagai tantangan umat manusia dewasa ini. Suatu teori akan teruji keandalannya bila mampu mengenali dan memahami realitas dilapangan.[1] Untuk memahami realitas lapangan diperlukan suatu metode penelitian yang mampu melakukan peran seperti diatas. Berkaitan dengan metode penelitian tentang manusia sebagai kajian dari psikologi, sekurang-kurangnya ada dua pandangan yang berbeda yaitu:

Pertama, kelompok yang beranggapan bahwa seluruh ilmu pengetahuan yang mencoba memahami manusia, termasuk psikologi, haruslah menggunakan metode yang digunakan oleh ilmu pengetahuan modern, yaitu suatu ilmu pengetahuan yang tumbuh dan berkembang dengan menggunakan metode ilmiah (scientific method). Asumsi yang diajukan adalah kebenaran sangat bergantung pada metode yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, tanpa menggunakan metode ilmiah, pengetahuan yang diperoleh manusia tidak dapat disebut sebagai science (ilmu pengetahuan).

Para ahli yang sependapat dengan pandangan ini menganggap bahwa begitu penting fungsi dari metode ilmiah sehingga mereka menjadi kaku dalam menerapkannya, seakan-akan mereka menganut motto: Tak ada sains tanpa metode, yang lama kelamaan berubah menjadi: sains adalah metode. Sikap seperti ini mencerminkan bahwa mereka berlebihan dalam menilai metodologi khususnya metode ilmiah, tanpa menyadari bahwa semua hanyalah salah satu sarana dari sains untuk memahami suatu fenomena.

Kedua, kelompok yang menyadari sepenuhnya bahwa manusia adalah mahluk yang mempunyai ciri-ciri yang unik dan khas, maka dari itu untuk memahaminya diperlukan metode yang beragam. Metode ilmiah hanyalah salah satu metode yang bisa digunakan untuk memahami manusia, karena masih ada metode lain yang bisa dipergunakan seperti metode keyakinan, metode intuisi, metode otoritas, atau bahkan metode lain yang mungkin saja dapat dipergunakan dalam memahami manusia.

Dari dua pendapat diatas, nampaknya para peminat dan pengkaji psikologi islami bersepakat untuk memilih pendapat yang kedua, mereka beranggapan bahwa manusia adalah mahluk yang sangat unik dan khas sehingga bila memahami manusia hanya dengan menggunakan metode ilmiah seperti yang sering digunakan sekarang ini, maka hal itu tidak akan cukup memadai karena itulah dimungkinkan untuk digunakan metode lain. Dengan adanya penggunaan metode yang beragam, maka pemahaman terhadap objek kajiannya (manusia) akan menjadi semakin utuh dan memadai.

Metode ilmiah sebagai salah satu metode dalam psikologi diartikan sebagai suatu pendekatan dalam memahami suatu fenomena dengan menggunakan kaidah-kaidah keilmuan. Ukuran kebenaran dalam metode ilmiah dikembalikan pada ukuran objektif, rasional dan emfiris, karena itu pola pikir yang dirujuk adalah berfikir induktif yang dalam praktek penelitiannya dipakai dalam pendekatan kuantitatif, dan pola pikir deduktif yang dalam praktek penelitiannya dipakai dalam pendekatan kualitatif. Baik pendekatan kuantitatif maupun kualitatif, keduanya mengkaji fenomena atau fakta yang bersifat kasat-mata (observable).

Diantara jenis penelitian yang biasa dilaksanakan dalam penelitian psikologi dan dianggap sebagai sebagai bagian dari metode ilmiah adalah: Penelitian deskriptif, korelasional, komparatif, eksperimen, Quasi-eksperimen, studi kasus, etnografi dan lain sebagainya. Kesemua jenis penelitian tersebut menggunakan kaidah-kaidah ilmiah yang telah disepakati dan objek kajiannya menekankan pada sesuatu yang kasat-mata, padahal dalam kehidupan ini banyak sekali fenomena yang memerlukan penjelasan lebih dari sekedar ilmiah, karena memang fenomena tersebut tidak dalam wilayah observable, tapi ada pada wilayah conceivable atau bahkan ada dalam wilayah unconceivable. Disinilah terdapat keterbatasan metode ilmiah sehingga diperlukan metode yang lain.

Metode Penelitian dalam psikologi Islami

Berdasarkan hasil kajian para ahli dan peminat psikologi islami, maka diajukanlah beberapa metode yang bisa dijadikan alternatif dalam penelitian psikologi islami[2]. Diantara metode tersebut adalah:

1. Metode Keyakinan (method of tenacity)

Metode keyakinan adalah suatu metode yang penekanannya pada kemampuan seseorang untuk meyakini kebenaran sesuatu tanpa keraguan appun di dalamnya. Dalam metode ini, yang absah dijadikan sebagai sumber yang diyakini kebenarannya adalah wahyu ilahi (Al-Quran). Asumsi yang diajukan adalah manusia adalah mahluk ciptaan Allah, karena itu yang lebih mengetahui tentang manusia adalah Allah, karena itulah maka sumber kebenaran dan pengetahuan harus berangkat dari sumbernya yang utama.

Salah satu ciri utama ilmu pengetahuan islam, dalam hal ini adalah psikologi islami, adalah penempatan wahyu Tuhan diatas rasio. Wahyu memperoleh kedudukan yang paling tinggi sehingga dalam upaya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan islam khususnya dalam merumuskan konsep-konsep psikologi islami, haruslah merujuk pada sumber kebenaran mutlak. Pandangan seperti ini, dalam kenyataannya banyak sekali mendapat sanggahan baik dari kalangan ilmuwan non-muslim, maupun dari kalangan ilmuwan muslim itu sendiri, karena adanya anggapan bahwa wahyu dan ilmu itu adalah sesuatu yang berbeda penggunaannya dan tidak dapat dipersandingkan. Tapi akhir-akhir ini, banyak kalangan ilmuwan kontemporer yang menggunakan metode keyakinan sebagai salah satu metode dalam penelitiannya, mereka menggunakan ayat Al-Quran sebagai sumber pengetahuan.

2. Metode Rasiosinasi

Berbeda dengan sains yang mengagungkan rasio, maka ilmu pengetahuan islam, dalam hal ini psikologi islami berpandangan bahwa manusia harus mempergunakan rasionya sambil tetap menyadari adanya keterbatasnnya. Tapi walaupun demikian, Islam tetap menganjurkan pemeluknya untuk tetap menggunakan rasionya secara optimal. Hal ini banyak terungkap dari ayat-ayat Al-Quran atau hadits nabi Muhammad SAW.

Metode ini akan sangat baik ketika digabungkan dengan metode keyakinan, sehingga yang muncul kepermukaan adalah metode keyakinan dan rasiosinasi. Contohnya ketika seorang berusaha memahami suatu fenomena atau realitas, maka sebaiknya ia mempergunakan rasionya sambil tetap meyakini bahwa ada keterbatasan rasio dan adanya keyakinan bahwa wahyu Allah diatas segalanya. Dengan demikian ia tidak akan menjadi seorang rasionalis yang beranggapan bahwa rasiolah sumber dari kebenaran.

3. Metode Otoritas (method of authority)

Dalam metode otoritas (method of authority) seorang menyandarkan kepercayaan kepada orang-orang yang memiliki banyak pengalaman atau pengetahuan dalam suatu bidang tertentu, karena pengalaman dan pengetahuannya itulah dia mempunyai kewenangan (otoritas) di bidangnya. Dalam ilmu tafsir, metode semacam ini biasa digunakan, contohnya ketika menafsirkan suatu ayat maka akan dirujuk pada penjelasan sumber utamanya yaitu Rasulullah atau para sahabatnya yang dianggap mampu memahami ayat tersebut.

Dalam upaya merumuskan psikologi islami, sumber otoritas yang dapat dijadikan rujukan adalah Nabi Muhammad SAW melalui pemahaman terhadap hadits-hadits yang disabdakannya. Selain itu, otoritas lain yang bisa dirujuk adalah para alim ulama yaitu orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan dan sekaligus mengalami peristiwa-peristiwa penting dalam hidupnya dan dapat dijadikan sumber pengetahuan untuk mengetahui dan memahami realitas yang tidak tampak oleh indra. Dikalangan ulama sufi, banyak sekali pengalaman yang bisa dirujuk sebagai sumber pengetahuan untuk memperoleh kebenaran.

4. Metode Intuisi

Metode ini sangat tidak populer dikalangan para ahli psikologi modern, dan ahli-ahli sains modern lainnya, karena dianggap tidak ilmiah. Mereka beranggapan bahwa ilmiah selalu didasarkan kepada kebenaran rasio, padahal psikologi islami mengharapkan agar manusia mempergunakan qolbunya, intuisinya atau nuraninya. Cara untuk memahami dan mengetahui apa yang terjadi dalam diri manusia dengan menggunakan hati nurani inilah yang disebut dengan metode intuisi. Apabila metode ini yang dipakai maka akan terbukalah sesuatu yang menjadi penghalang (kasyful mahjub), yang tak telihat oleh mata. Dalam situasi semacam inilah maka seseorang akan mampu memahami fenomena atau realitas yang tak terjangkau oleh panca indera.

Contoh metode ini dilakukan ketika peristiwa Nabi Khidr yang mampu mengetahui seorang anak yang apabila dibiarkan hidup maka ia akan menjadi durhaka, karena itulah lalu ia membunuh anak tersebut. Walaupun peristiwa ini terjadi pada seorang nabi, tapi bagi orang yang beriman dan shaleh, bahkan dikalangan kaum sufi peristiwa semacam ini menjadi sesuatu yang sangat mungkin dilaksanakan.

Dengan banyaknya alternatif yang bisa dijadikan metode dalam psikologi islami, masalah selanjutnya adalah bagaimana model penelitian yang bisa dilakukan dalam upaya umtuk mengembangkan psikologi islami, karena itu diajukanlah empat model dalam penelitian psikologi islami.

Bagaimana Model Penelitian Psikologi Islami?

Berbicara tentang penelitian dalam psikologi islami, setidaknya ada dua hal penting yang harus diperhatikan, yaitu masalah teori dan masalah metode. Secara ideal, teori yang digunakan semestinya adalah teori yang didasarkan pada pandangan dunia islam, hal ini sejalan dengan pendapat sardar[3] yang menyatakan bahwa islamisasi harus berangkat dari pandangan dunia (world view) yang Islami dan paradigma keilmuannya karena itu teori yang dibangun harus sejalan dengan ajaran-ajaran islam. Pandangan dunia islam bisa diartikan sebagai pandangan islam secara menyeluruh tentang bekerjanya alam semesta dan kehidupan manusia dalam naungan sunnatullah yang tertulis dalam ayat kauniyah dan kauliyah.

Berkaitan dengan masalah metode yang digunakan dalam penelitian psikologi islami, diharapkan sesuai dengan objek kajian psikologi namun tetap dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Dalam kaitan ini Muhadjir[4] berpendapat bahwa teknik dan metodologi penelitian psikologi islami seharusnya dikembalikan pada objek dan karakteristik objek. Karena itu diperlukan banyak metode sesuai dengan objek kajiannya, selain dari metode ilmiah.

Dalam mensikapi dua persoalan tersebut, ada beberapa pertanyaan yang perlu diajukan sehubungan dengan masalah tersebut yaitu: Bagaimanakah wujud dari teori psikologi islami? Apakah bisa disebut psikologi islami jika teori yang digunakannya bersumber dari teori barat? Apakah suatu suatu penelitian yang menggunakan teori barat dengan menggunakan subjek muslim bisa disebut dengan penelitian psikologi islami? Apakah dengan menggunakan istilah-istilah yang diambil dari Al-Quran dan Al-Hadits baru bisa disebut penelitian psikologi islami?

Menurut Nashori[5] Suatu penelitian dapat disebut penelitian psikologi islami bila teorinya berangkat dari pandangan dunia islam atau setidaknya teori tersebut telah mengalami proses islamisasi yaitu suatu upaya untuk menghubungkan kembali antara teori-teori barat dengan ajaran-ajaran islam, karena keduanya adalah merupakan dari ayat-ayat Tuhan, karena itu suatu penelitian dengan menggunakan teori barat tidak dapat dipandang sebagai penelitian psikologi islami, sekalipun subjeknya adalah orang islam, bila sebelumnya teori tersebut tidak mengalami proses islamisasi.

Pemahaman proses islamisasi, sebagai suatu tahapan yang harus dilalui dalam melakukan penelitian psikologi islami, bisa merujuk pada pengertian islamisasi yang dikemukakan oleh Bastaman[6]. Menurut pendapatnya proses islamisasi setidaknya mengikuti salah satu dari enam proses berikut:

Similarisasi yaitu menyamakan begitu saja konsep-konsep psikologi barat dengan konsep-konsep dalam ajaran islam walaupun belum tentu sama. Contohnya adalah menyamakan konsep dorongan (nafsu) dari Sigmund Freud[7] dianggap sama dengan konsep nafsu dari Al-Ghazali.[8] Proses similarisasi ini dianggap sebagai proses yang paling dangkal dan diharapkan hanya sebagai langkah awal saja dalam melakukan proses islamisasi selanjutnya.

Paralelisasi yaitu menganggap paralel konsep-konsep psikologi barat dengan konsep-konsep dengan ajaran islam karena adanya kemiripan konotasinya. Contohnya adalah paralelisasi tentang teori keberagamaan dari Glock & Strak (keyakinan, ritual, penghayatan, pengamalan, pengetahuan) dengan dimensi-dimensi religiusitas dalam ajaran islam (akidah, ibadah, ihsan, ahlak, ilmu).[9]

Komplementasi yaitu menganggap antara sains dan ajaran islam adalah saling mengisi, saling memperkuat tapi tetap mempertahankan eksistensinya masing-masing.

Komparasi yaitu membandingkan antara konsep psikologi barat dengan konsep dalam ajaran islam mengenai suatu gejala-gejala yang sama untuk dicarikan titik temu antar keduanya.

Induktivikasi yaitu suatu uapaya untuk menterjemahkan temuan lapangan empirik menjadi teori-teori (pemikiran) metafisik, kemudian menghubungkannya dengan ajaran-ajaran islam.

Verifikasi yaitu mengungkapkan hasil-hasil penelitian ilmiah yang menunjang dan membuktikan kebenaran ajaran islam. Contohnya adalah penelitian yang menemukan bahwa shalat mampu membuat lebih sehat bagi para pelakunya.

Selanjutnya, dengan melihat uraian diatas, maka dikembangkanlah model penelitian psikologi islami yang yang terdiri dari empat model yang diharapkan mampu menjadi pedoman bagi para pengkaji dan peneliti yang berminat terhadap penelitian psikologi islami. Keempat model tersebut sebenarnya merupakan pengembangan dari pola-pola psikologi islami. Saat ini ada empat pola yang telah dan harus dilakukan oleh para pengkaji psikologi islami, yaitu pertama, menjelaskan masalah-masalah ajaran islam atau masalah umat islam dengan memanfaatkan konsep psikologi, kedua membandingkan konsep manusia dari ajaran islam dengan konsep psikologi modern, ketiga islam memberikan perspektif terhadap konsep-konsep psikologi, dan keempat mengembangkan pola pengetahuan (teori) yang bersumber dari ajaran islam.

Penjelasan dari masing-masing model tersebut bisa dilihat dari uraian dibawah ini:

Model Penelitian Pertama. Pada model ini, Metode yang digunakan dalam model ini adalah metode ilmiah, tapi variabel penelitian yang diambil harus terlebih dahulu mengalami proses islamisasi, baik berupa proses similarisasi, paralelisasi, komplementasi, komparasi, induktivikasi, ataupun verivikasi. Tanpa proses islamisasi, suatu teori belum dapat dianggap sebagai teori psikologi islami, karena itu langkah pertama untuk melakukan penelitian pada model ini, harus terlebih dahulu melakukan proses islamisasi teori. Dengan kata lain, suatu penelitian tidak bisa dianggap sebagai penelitian psikologi islami bila teori yang dipakai masih tetap menggunakan teori barat sekalipun menggunakan subjek orang islam.

Model Penelitian Kedua. Model ini merupakan model pengembangan dari model yang pertama, karena pada model ini penelitian dilakukan dengan metode ilmiah, dan teori yang dibangun selain dari teori-teori atau konsep-konsep psikologi barat, tapi juga dari teori dan konsep agama islam. Pada fase ini mulai ada upaya eksplorasi terhadap pandangan-pandangan agama islam yang dihubungkan dengan suatu fenomena psikologis tertentu.

Model Penelitian Ketiga. Pada model ini, penelitian dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah tapi teori-teori yang digunakan sepenuhnya diambil dari pandangan dunia islam. Teori-teori tersebut digali dan dirumuskan dari sumber formal islam (Al-Quran, Al-Hadits, dan Khazanah keilmuan islam yang lain). Pengembangan teori tersebut selanjutnya harus didukung oleh berbagai data temuan atau fenomena terakhir dalam kehidupan manusia.

Model Penelitian Keempat. Model ini merupakan kelanjutan dari model ketiga yang mengalami perubahan masalah topik dan juga masalah metode penelitaian yang digunakan. Pada model ini metode penelitian yang digunakan selain metode ilmiah adalah metode-metode lain seperti disebut diatas. Karena metode yang digunakannya semakin beragam, maka bidang kajiannyapun menjadi semakin luas. Fenomena atau realitas yang bisa selain realitas yang bersifat kasat-mata (observabele) maka bisa ditambah dengan realitas yang hanya mampu dipikirkan dan dirasakan (conceivable) atau bahkan realitas yang tidak terpikirkan atau tidak terasakan ((unconceivable area).

Penutup

Pada saat ini, banyak peneliti yang sudah melakukan sesuai dengan model-model penelitian diatas khususnya model pertama dan kedua, padahal kedua model diatas dianggap sebagai model penelitian semi psikologi islami, karena itu masih diperlukan keseriusan dari para pengkaji psikologi islami untuk menggunakan model ketiga dan keempat yang memang memerlukan usaha yang lebih serius sehingga penelitian psikologi islami yang dicita-citakan bisa terwujud.

Akhirnya, untuk membangun sebuah Psikologi Islami sebagai sebuah disiplin keilmuan tentu masih banyak yang harus dilakukan dan diperjuangkan, salah satu cara sederhana yang bisa dilakukan adalah dengan mulai mengadakan penelitian dengan menggunakan model penelitian seperti yang diajukan diatas sehingga psikologi islami yang dicita-citakan dapat terwujud yang pada gilirannya akan menjadi psikologi alternatif yang berfungsi sebagai rahamatan lil’alamin.



Catatan Akhir

[1] Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1991),

[2] Nashor, F, Agenda Psikologi Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002)

[3] Sardar, Z., Menjawab Tantangan Abad 21, terj. A.E Priyono & Ilham Yahya, (Bandung: Mizan, 1986), 11

[4] Muhadjir, N., Landasan Metodologi Psikologi Islami, Dialog Nasional Pakar Psikologi Islami, (Jombang: Fakultas Psikologi Islami),

[5] Ancok, D., & Nashori, F., Psikologi Islami, Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994)

[6] Bastaman, Integrasi Psikologi dan Islam, Menuju Psikologi Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995)

[7] Freud membagi struktur kepribadian kedalam tiga kelompok, yaitu 1) id yaitu dorongan yang bersifat isntingtif 2)ego 3) super-ego

[8] Ghazali, Ihya Al-Ghazali, I, terj. Ismail Yakub, (Jakarta, Faizan, 1984),

[9] Ibid , 5

DAFTAR PUSTAKA

Ancok, D., & Nashori, F., Psikologi Islami, Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994)

Bastaman, Integrasi Psikologi dan Islam, Menuju Psikologi Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995)

Ghazali, Ihya Ulum al-Din, I, terj. Ismail Yakub, (Jakarta, Faizan, 1984),

Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1991),

Muhadjir, N., Landasan Metodologi Psikologi Islami, Dialog Nasional Pakar Psikologi Islami, (Jombang: Fakultas Psikologi Islami),

Nashor, F, Agenda Psikologi Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002)

Sardar, Z., Menjawab Tantangan Abad 21, terj. A.E Priyono & Ilham Yahya, (Bandung: Mizan, 1986)