My Family

Jumat, 19 Desember 2008

Kematangan Moral

PERBEDAAN KEMATANGAN MORAL

PADA SISWA SEKOLAH BERBASIS AGAMA DAN UMUM

Artikel ini merupakan ringkasan skripsi pada Fakultas Psikologi UIN Malang karya Latifatul Masruruh, S.Psi yang dibimbing penulis dan telah dipresentasikan pada temu ilmiah nasional Psikologi Islami III di Yogyakarta pada tanggal 22 – 23 November 2008.

Latar Belakang Masalah

Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Lazimnya dianggap remaja apabila anak telah mencapai kematangan secara seksual dan berakhir saat ia mencapai usia matang secara hukum. Menurut Hurlock (2002) terdapat lima perubahan universal yang terjadi pada remaja. Pertama, meningginya emosi, intensitasnya bergantung kepada tingkat perubahan fisik dan psikologis yang terjadi. Kedua, perubahan tubuh. Ketiga, perubahan minat dan peran. Perubahan tubuh, minat dan peran ini dapat menimbulkan permasalahan tersendiri. Keempat, dengan berubahnya minat dan pola perilaku maka nilai-nilai juga berubah. Kelima, sebagian besar remaja bersikap ambivalen terhadap setiap perubahan. Mereka menginginkan dan menuntut kebebasan, akan tetapi mereka sering takut bertanggung jawab akan akibatnya serta ragu dengan kemampuan untuk mengatasi tanggung jawab tersebut.

Perubahan di atas membawa berbagai permasalahan yang kompleks bagi remaja. Seringkali masalah pada masa remaja sulit untuk diatasi, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Akibat ketidakmampuan mereka mengatasi masalah menurut cara yang mereka yakini, banyak remaja akhirnya menemukan penyelesaian yang tidak sesuai dengan harapan mereka. Anna Freud menyatakan bahwa kegagalan yang dialami remaja seringkali bersifat tragis, bukan karena ketidakmampuan individu akan tetapi karena kenyataan bahwa tuntutan yang diajukan kepadanya justru pada saat semua tenaganya telah dihabiskan untuk mencoba mengatasi masalah pokok yang disebabkan oleh pertumbuhan dan perkembangan seksual yang normal (Hurlock, 2002).

Ketidakmampuan remaja dalam menghadapi permasalahan menjadi sebuah kerisauan tersendiri bagi masyarakat umum. Mereka (remaja) seringkali menempuh cara penyelesaian yang membahayakan baik bagi diri mereka sendiri maupun orang lain. Di Amerika yang merupakan negara maju, dalam laporan Akademi Ilmu Kesehatan Anak Amerika menunjukkan bahwa Negara Amerika Serikat mencapai angka bunuh diri dan pembunuhan yang dilakukan remaja, tertinggi diantara 26 negara-negara makmur di dunia. Kemungkinan pembunuhan yang dilakukan remaja di Amerika bahkan sepuluh kali lebih besar dibanding Kanada (Borba, 2008).

Pada masa globalisasi ini, krisis moral pada remaja merupakan sebuah fenomena gunung es, kompleks dan tidak berdiri sendiri. Jika ditelusuri atau dikaji secara lebih mendalam, maka akan ditemui banyak persoalan yang terkait, melilit dan menyelimuti generasi muda. Menurut Mas’oed Abidin, Direktur Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau (PPIM) kesulitan terbesar generasi muda dewasa ini bukan karena kekurangan ilmu, akan tetapi lemahnya keyakinan (agama) (Kompas, Februari 2005). Terjadinya degradasi dan dekadensi akhlak dan moral di sebagian besar generasi muda selain karena dampak kemajuan ilmu pengetahuan di era globalisasi juga karena lemahnya keyakinan agama dan pengetahuan soal adat dan budaya. Tidak mungkin akhlak dan moralitas dibentuk tanpa agama.

Pendapat Mas’oed didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Josh McDowell dan Bob Hostetler yang terhimpun dalam bukunya berjudul “Right from Wrong”. Dalam buku ini dijelaskan secara komprehensif krisis moralitas remaja yang hampir tidak mampu membedakan atau menetapkan antara benar dan salah. Hasil dari penelitian ini menemukan bahwa prediktor utama menurunnya kualitas kecerdasan moral remaja disebabkan karena keyakinan dan agama semakin kehilangan spritualitas, pranata perkawinan dan keluarga yang semakin tidak sakral, makna cinta dan seks yang semakin hambar dan hampa, serta sikap atau gaya hidup yang berwatak hedonism.

Selain rumah, sekolah juga memberikan kontribusi yang sangat penting dalam membentuk kematangan Moral bagi remaja. Kurang lebih 8 jam waktu mereka dihabiskan di sekolah, berinteraksi dengan teman sebaya dan berbenturan dengan nilai-nilai dan peraturan dalam sekolah. Basis sekolah menjadi tolok ukur dalam menentukan visi dan kebijakan sekolah, dan hal tersebut mempengaruhi terhadap penerapan nilai-nilai pendidikan termasuk nilai-nilai moral.

Sekolah merupakan instansi yang tidak hanya berfungsi sebagai tempat transfer ilmu pengetahuan, akan tetapi juga merupakan tempat penanaman nilai-nilai pendidikan termasuk nilai-nilai moral. Lembaga pendidikan manapun mengharapkan peserta didiknya tidak hanya mampu mencapai prestasi yang bersifat akademik semata melainkan juga kematangan mental dan perilaku.

Pada prakteknya setiap sekolah memiliki kebijakan dan cara yang berbeda dalam mengimplementasikan cita-cita tertinggi. Sekolah Menengah Atas (SMA) merupakan sekolah berbasis umum yang berdiri dibawah naungan Diknas. SMA memiliki cita-cita agar out put (keluaran) dari SMA mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi serta mampu mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan social, budaya dan alam sekitarnya. Jika melihat cita-cita yang dimiliki oleh SMA, didalamnya terkandung cita-cita luhur yang tidak hanya menjunjung bidang keilmuan ( termaktub dalam kata-kata “mampu melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi”) akan tetapi juga menjunjung nilai-nilai kemanusiaan yang didalamnya tidak terlepas dari nilai-nilai moral (Mudyahardjo, 2001).

SMA untuk mewujudkan cita-citanya membuat kurikulum yang mengacu kepada cita-cita SMA. Dalam mewujudkan cita-cita di bidang keilmuan, SMA membuat kurikulum pendidikan khusus yaitu penjurusan. Penjurusan ini menjadi bekal dasar untuk melanjutkan pada tingkat pendidikan selanjutnya yaitu perguruan tinggi. Sedangkan untuk mewujudkan cita-cita yang kedua yakni skill dalam berhubungan dengan sekitar, SMA membuat kurikulum mata pelajaran umum yang memuat mengenai nilai-nilai kemanusiaan. Diantara mata pelajaran tersebut adalah pelajaran Agama, PPKN, pendidikan budi pekerti dan lainnya, dimana mata pelajaran umum ini mengandung nilai-nilai moral .

Madrasah Aliyah (MA) merupakan sekolah yang setara dengan SMA dengan peran dan fungsi yang sama, akan tetapi memiliki basis yang berbeda. Madrasah Aliyah merupakan sekolah berbasis Agama Islam dan berada dalam naungan Departemen Agama (Depag). MA memiliki cita-cita dapat menghasilkan lulusan yang beriman dan bertaqwa kepada Allah, berakhlaq mulia, mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi anggota masyarakat yang bertanggung jawab dan demokratis, menguasai dasar-dasar ilmu-ilmu pengetahuan dan teknologi (Masykur, 2006). Perbedaan cita-cita antara MA dan SMA cukup mencolok, cita-cita MA lebih menekankan kepada akhlak mulia dan keimanan kepada Allah sehingga bentuk kurikulum juga berbeda. Dalam implementasinya Kurikulum MA terbagi menjadi dua, yaitu pendidikan umum dan pendidikan agama. Pendidikan umum sama dengan kurikulum SMA, dengan memiliki program penjurusan yaitu program IPA, IPS, dan bahasa. Sedangkan pendidikan agama teraplikasi dalam mata pelajaran agama dengan lebih spesifik dan terbagi lagi menjadi beberapa mata pelajaran bahkan terdapat program khusus keagamaan yang didalamnya lebih banyak memuat mata pelajaran agama.

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan tingkat kematangan moral pada siswa yang berbeda latarbelakang pendidikannya, karena itu rumusan masalah yang dicari jawabannya pada penelitian ini adalah apakah ada perbedaan kematangan moral antara siswa yang berasal dari sekolah berbasis agama dan siswa yang berasal dari sekolah berbasis umum?


Kajian Teori

Salah satu tugas perkembangan penting yang harus dikuasai remaja adalah perkembangan moral. Dalam hal ini remaja mulai mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompok masyarakat, dan kemudian mau membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapan sosial tanpa terus dibimbing, diawasi, dan diancam dengan hukuman seperti yang dialami pada masa anak-anak.

Para ahli perkembangan meneliti pada tiga domain terhadap perkembangan moral. Pertama, bagaimana remaja mempertimbangkan atau memikirkan peraturan-peraturan untuk melakukan tingkah laku etis. Kedua, bagaimana remaja berperilaku dalam situasi moral yang sebenarnya. Ketiga, bagaimana perasaan remaja mengenai masalah moral.

Piaget merupakan orang yang pertama kali menekuni bagaimana anak-anak dan remaja berfikir mengenai masalah moral. Piaget secara ekstensif mengobservasi dan mewawancarai anak-anak dari usia 4 sampai 12 tahun. Bermula dari gagasan Piaget ini, Kohlberg mengembangankannya dengan melakukan penelitian selama 20 tahun dengan cara melakukan wawancara unik pada anak-anak. Dalam wawancaranya Kohlberg memberikan serangkaian cerita dilema moral, yang dikenal dengan dilemma Heinz.

Hasil penelitian Kohlberg menemukan bahwa penalaran remaja lebih banyak berada pada tahap 3, dengan menunjukkan adanya ciri-ciri pada tahap 2 dan 4. Dengan demikian dapat dijabarkan bahwa tahap pemikiran moral mayoritas remaja berdasarkan pada kepercayaan, rasa sayang dan kesetiaan terhadap orang lain sebagai dasar untuk melakukan penilaian moral. Remaja juga terkadang menunjukkan ciri-ciri bahwa pemikiran moral didasarkan pada hadiah dan minat yang lebih tinggi. Namun terkadang juga remaja menunjukkan ciri-ciri kepada tahap yang lebih tinggi yakni tahap ke-4, penilaian moral berdasarkan pada pemahaman terhadap aturan, hukum, keadilan dan tugas sosial.

Perilaku moral dalam perkembangan moral terdiri dari dua teori, yaitu teori belajar sosial dan teori pembelajaran sosial kognitif.

· Teori belajar sosial memberikan penekanan pada tingkah laku moral remaja. Teori ini dalam memandang perkembangan Moral bermuara dari empirisme John Locke dan Behaviorisme John Watson dan B.F. Skinner (Rohmadi, 2002). Teori belajar sosial melihat pribadi manusia sebagai kertas putih tempat masyarakat menuliskan pengalaman setiap individu. Kekuatan sosial memberikan sumbangan pada tingkatan belajar individu, salah satu diantaranya adalah pendidikan moral, dimana individu mempelajari tentang apa yang seharusnya dilakukan dan tidak dilakukan dalam masyarakat. Dalam menjelaskan bagaimana dan mengapa remaja mempelajari beberapa tingkah laku moral tertentu teori pembelajaran sosial menggunakan Proses reinforcement (penguatan), hukuman, dan imitasi. Kesimpulan umum yang dapat diambil tidak berbeda dengan domain lain dari tingkah laku sosial. Ketika remaja dihadapkan pada model tingkah laku secara moral, para remaja cenderung meniru tingkah laku model tersebut. Demikian pula jika remaja dihukum karena tingkah laku yang tidak bermoral, maka tingkah laku amoral tersebut dapat dihilangkan akan tetapi sanksi yang berupa hukuman dapat menyebabkan efek samping emosional pada remaja.

· Teori pembelajaran Sosial Kognitif. Teori pembelajaran sosial kognitif yang diutarakan oleh Mischel lebih menekankan pada adanya perbedaan antara kompetensi moral remaja, kompetensi tersebut adalah apa yang dapat dilakukan remaja, apa yang mereka ketahui, keterampilan mereka, kesadaran remaja akan aturan dan peraturan moral serta kemampuan kognitif untuk membentuk tingkah laku. Perilaku moral remaja ditentukan oleh motivasi, reward dan insentif yang diperoleh bila melakukan suatu tindakan moral tertentu. Bandura juga mempercayai bahwa perkembangan moral paling baik dipahami dengan mempertimbangkan kombinasi faktor sosial dan kognitif, terutama yang melibatkan kontrol diri (Santrock,2003). Seseorang yang semakin tersosialisasikan tidak lagi bergantung kepada penghargaan dan penghukuman eksternal, melainkan semakin bisa mengatur tingkah lakunya sendiri. Artinya, mereka menciptakan standart-standart internalnya sendiri, lalu menghukum dan menghargai diri sendiri menurut standart-standart tersebut. Dengan demikian dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa perilaku moral remaja yang memiliki kematangan moral, lebih didasari atas motivasi internal dan kontrol diri. Perilaku moral remaja tidak lagi dikarenakan oleh adanya reward ataupun punistmen. Sedangkan kontrol diri berfungsi sebagai monitoring dalam berperilaku moral.

Hasil penelitian Kohlberg menemukan bahwa penalaran moral remaja berada pada tahap 3 dengan ciri-ciri pada tahap 2 dan 4. Proses berfikir pada remaja berada pada tahap berfikir abstrak, pada tahap ini remaja mulai bisa memberikan pertimbangan-pertimbangan terhadap suatu permasalahan. Melalui pemaparan ini penulis mengambil benang merah bahwa remaja yang memiliki kematangan dalam penalaran moral adalah remaja yang berada pada penalaran tahap tiga dengan ciri-ciri 4. Artinya, remaja berada pada tahap norma-norma interpersonal yang menghargai kebenaran, kepedulian dan kesetiaan pada orang lain sebagai landasan pertimbangan moral. Pertimbangan yang mereka lakukan berdasarkan atas pemahaman aturan social, hukum-hukum, keadilan dan kewajiban. Mereka tidak lagi berdasarkan reward ataupun kepentingan pribadi ketika mengambil sebuah pertimbangan moral.

Perilaku moral pada remaja berdasarkan pada penilaian Bandura bahwa Perilaku moral individu tidak lagi dikontrol secara eksternal (karena sanksi, peraturan atau reward) akan tetapi perilaku individu dikontrol oleh standart dan prinsip internal yang ada dalam diri individu. Sedangkan kematangan moral dari aspek perasaan moral dapat dilihat dengan berfungsinya peran kata hati dan ego ideal secara baik. Menurut Hurlock (1980) dari telaah yang diperoleh terhadap perkembangan moral ditekankan bahwa cara yang efektif bagi semua orang untuk mengawasi perilakunya sendiri adalah melalui pengembangan kata hati. Kata hati adalah kekuatan ke-dalam (bathiniah) yang tidak memerlukan pengendalian lahiriah.

Definisi Operasional

Kematangan moral Remaja adalah sebuah sikap yang dimiliki oleh remaja dalam menghadapi hukum yang berlaku secara global yang menyangkut tentang sikap etis dan tidak etis. Adapun sikap yang ditunjukkan oleh remaja yang memiliki kematangan moral dapat dilihat dari tiga aspek: 1) pemikiran moral remaja berada pada tahap moralitas sistem sosial (social system morality), pada tahap ini individu mematuhi hukum, aturan sosial, kewajiban dan keadilan berdasarkan atas kepentingan untuk mempertahankan fungsi masyarakat. Sehingga standart moral berpatokan kepada nilai kemanusiaan, sedangkan hukum dan nilai yang baik bersifat relatif demi mempertahankan fungsi masyarakat; 2) perilaku moral pada individu lebih didasarkan pada motivasi internal dan kontrol diri; dan 3) perasaan moral individu berdasarkan atas peran ego ideal dan kata hati dengan baik. Ego ideal akan memberikan reward dengan cara memunculkan perasaan bangga dan nilai pribadi apabila melakukan tindakan yang sesuai dengan standart moral. Sedangkan kata hati akan menghukum individu tersebut apabila melakukan tindakan yang tidak bermoral, dengan cara membuat dirinya merasa bersalah dan tidak berharga.

Populasi dan sampel

Populasi pada penelitian ini adalah siswa-siswi pada salah salah satu SMAN dan MAN di kota Malang. Pengambilan sampel menggunakan random bentuk sampling stratified, yaitu sampel secara acak pada setiap kelas (kelas X, XI, XII). Selain itu pengambilan sampel juga berdasarkan 3 jurusan pada dua sekolah tersebut yaitu jurusan IPA, IPS dan Bahasa. Alasan mengambil tiga jurusan adalah untuk menyesuaikan dengan kurikulum pada sekolah menengah keatas pada umumnya. Adapun subjek yang diambil pada SMAN adalah 211 siswa dan subjek pada MAN adalah 202 siswa.

Instrument Penelitian

Instrument pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah terdiri dari tiga jenis yaitu:

  • Skala kematangan moral. Skala kematangan Moral adalah alat untuk mengukur kematangan moral siswa SMA dan MA. penyusunan skala ini menggunakan pernyataan dengan format kasus hipotetik atau perandaian. Bahan cerita dalam skala ini sebagian diperoleh dari hasil wawancara terhadap beberapa siswa, guru BK, dan sebagian merupakan kasus-kasus fiktif yang bersifat dilema moral. Dalam skala ini siswa diperintahkan untuk memilih salah satu jawaban sebagai keputusan yang diambil oleh mereka. Landasan teoritik dalam pembuatan skala ini menggunakan tiga teori dalam setiap aspek. Pertama, aspek pemikiran moral menggunakan teori Kohlberg, dimana perkembangan moral remaja berada pada tahap Moralitas system sosial. Standart moral dalam pembuatan skala ini berdasarkan sudut pandang dimana tempat penelitian berada, yaitu disesuaikan dengan standart moral budaya timur khususnya Indonesia. Hal ini dikarenakan standart moral pada setiap masyarakat seringkali dipengaruhi oleh budaya yang mereka miliki. Kedua, aspek perilaku moral menggunakan teori Bandura (pembelajaran Sosial kognitif). Bandura menyatakan bahwa perilaku perkembangan moral tidak terlepas dari faktor sosial dan kognitif, terutama kontrol diri. Performa moral remaja ditentukan oleh motivasi mereka dan reward secara insentif yang diperoleh. Kematangan moral remaja dari aspek perilaku didasari oleh motivasi internal dan kontrol diri. Ketiga, aspek perasaan moral berdasarkan teori Freud yang menyatakan bahwa perasaan moral yang matang adalah didasari oleh berfungsinya ego ideal dan kata hati secara baik.
  • Wawancara. Wawancara dilakukan kepada guru BP, bagian Tatib dan Waka Kurikulum. Penggunaan wawancara pada penelitian ini berfungsi sebagai data sekunder yang bertujuan untuk: 1) Memperoleh informasi mengenai profil masing-masing sekolah. 2) Menemukan persamaan dan perbedaan kurikulum antara sekolah SMA dan MA. 3) Memperoleh infomasi mengenai perkembangan siswa SMA dan MA terutama perkembangan perilaku dan moral siswa. 4) Memperoleh informasi mengenai peraturan dan nilai-nilai yang diterapkan di SMA maupun di MA.

3) Observasi. Observasi juga berfungsi sebagai data sekunder dalam penelitian ini, yang bertujuan sebagai penguat dan penunjang terhadap hasil skala dan wawancara.

4) Dokumentasi. Sedangkan data sekunder yang berupa dokumentasi terdiri dari data siswa, tata Tertib sekolah MAN 3 Malang dan SMAN 8, serta struktur kurikulum pada kedua sekolah ini.

Analisis Data

Sebelum melakukan analisis data perlu dilakukan uji asumsi terhadap data primer untuk mengetahui kualitas data yang diperoleh. Uji asumsi ini terdiri dari dua yaitu uji normalitas dan uji homogenitas. Uji normalitas dengan teknik Kolmogorov Smirnov menunjukkan bahwa data kematangan moral memenuhi asumsi mengikuti distribusi normal dengan rerata (0,769). Sedangkan uji homogenitas menunjukkan rerata 1.00, hal ini terbukti data pada penelitian ini memenuhi asumsi homogenitas. Selanjutnya, untuk membandingkan perbedaan kematangan moral pada kedua kelompok digunakan teknik analisis uji-t.

Hasil dan Pembahasan

Dari hasil analisa deskriptif pada penelitian ini menunjukkan bahwa 62,37% siswa MAN memiliki kematangan moral pada kategori tinggi dan 31,19% berada pada ketegori sangat tinggi. Demikian pula siswa SMAN menunjukkan kematangan moral yang tinggi dengan prosentase 52,51%, dan kategori sangat tinggi 30,6%.

Dilihat dari perbedaan jenis kelamin pada siswa MAN menunjukkan bahwa perempuan lebih memiliki kemantangan moral dari pada laki-laki dengan mean (116,69) dan mean pada laki-laki (115,17). Dilihat dari hasil analisis varians ditemukan bahwa nilai F=1,954 dan P=0,164 menunjukkan bahwa perbedaan ini bukanlah perbedaan yang signifikan. Sedangkan pada siswa SMAN juga menunjukkan bahwa perempuan lebih matang dari pada laki-laki dengan mean (114,38) dan laki-laki 113,05. Hasil dari analisis varians menunjukkan bahwa nilai F=0.950 dan P=0,331 artinya tidak ada perbedaan secara signifikan antara kematangan Moral pada jenis kelamin laki-laki dan perempuan.

Dilihat dari jenjang perkelas pada MAN menunjukkan bahwa kelas X berada pada urutan pertama dengan mean 116,91, kelas XII dengan urutan kedua dengan mean 115,51dan kelas XI merupakan urutan ketiga dengan mean 115,16. dari hasil analisis varians perbedaan ini nilai F=1.045 dan P= 0.354, data tersebut menunjukkan bahwa perbedaan kematangan moral antar kelas tidak ada perbedaan secara signifikan. Sedangkan siswa pada SMAN menunjukkan bahwa kelas XII berada pada urutan pertama dengan mean 117,75 dan kelas X berada pada urutan kedua dengan mean 112,16 dan kelas XI berada pada urutan ketiga dengan nilai mean 111,71. Hasil analisis varians ditemukan bahwa nilai F=8,971 dan P= 0,000, data tersebut menunjukkan bahwa ada perbedaan kematangan moral secara signifikan antara kelas X, XI dan kelas XII. Data dari kedua sekolah menunjukkan bahwa kelas XI sama-sama berada pada urutan ketiga.

Secara teoritis tingginya tingkat kematangan moral pada MAN 3 Malang sangat didukung oleh basis yang mendasari sekolah. Madrasah Aliyah yang merupakan madrasah berbasis agama Islam mempunyai cita-cita tinggi untuk menghasilkan lulusan yang beriman dan bertaqwa kepada Allah serta berakhlak mulia. Sehingga untuk mewujudkan cita-cita mulia ini, perlu adanya implementasi dengan menerjemahkan kepada setiap sikap sehari-hari. Diantara bentuk implementasi dari cita-cita tersebut adalah melalui penegakan peraturan yang berlandaskan Islam dan bentuk pembiasaan (teladan) dari setiap elemen.

Dalam setiap agama termasuk agama Islam sangat menjunjung tinggi terhadap nilai-nilai moralitas. Agama Islam sendiri sangat mengagungkan nilai-nilai moralitas. Dalam hadist nabi dijelaskan bahwa tujuan nabi Muhammad diutus kedunia ini adalah untuk menyempurnakan akhlak (moral) umatnya. Demikian pula dalam setiap ibadah yang ada dalam Islam, baik yang berhubungan langsung dengan Tuhan maupun ibadah yang berhubungan dengan manusia tampak terlihat sangat memperhatikan etika.

Berdasarkan data sekunder (wawancara, observasi dan dokumentasi) peneliti mengambil sebuah kesimpulan mengenai faktor-faktor yang mendukung terhadap kematangan Moral siswa MAN 3 Malang:

a. Mempunyai kurikulum yang bermuatan agama seperti halnya Madrasah Aliyah yang lain, dimana mata pelajaran agama mengandung nilai-nilai moral yang tinggi. Kurikulum yang ada pada MAN tempat penelitian ini memiliki keistimewaan lebih disbanding MAN pada umumnya. Pertama, setiap kali akan memulai dan mengakhiri mata pelajaran kegiatan belajar mengajar para siswa dibiasakan membaca Al-Quran dan asmaul Husna secara bersamaan. Kedua, siswa ditekankan untuk melaksanakan shalat dhuha dan shalat Dzuhur secara berjamaah. Ketiga, pihak sekolah membuat kurikulum sendiri pada mata pelajaran agama bahkan keunggulan dari sekolah ini, pihak Depag Malang banyak mencontoh kurikulum pada madrasah ini.

b. Pembiasaan pada perilaku yang mengandung nilai-nilai moral, misalnya bersalaman ketika bertemu dengan guru. MAN yang dijadikan sampel pada penelitian ini terjalin hubungan yang erat antara guru dengan murid, pola penanaman nilai-nilai moral lebih ditekankan kepada sebuah keteladanan.

c. Kegiatan ektrakurikuler yang bergerak dibidang keislaman cukup menunjang terhadap kematangan berperilaku dan pemantapan beragama. Kegiatan keislaman cukup intens dilakukan oleh siswa, diantaranya pengajian rutin, seminar keagamaan, dan kegiatan sosial yang mengandung nilai-nilai moral, misalnya bakti soial dan penggalangan amal dan zakat.

d. Penerapan peraturan yang menjunjung tinggi terhadap nilai-nilai moral. Data dari dokumentasi diperoleh bahwa peraturan tata tertib disusun secara jelas dan diterapkan dengan tegas.

e. Sanksi tegas terhadap perilaku amoral. Sanksi-sanksi terhadap pelanggaran tertulis secara jelas dan tegas.

Pada SMAN dalam penelitian ini secara teoritis tingginya tingkat kematangan Moral siswa merupakan sebuah prestasi yang sangat membanggakan, mengingat latar belakang dan basis yang melandasi sekolah ini. Sekolah Menengah Atas merupakan sekolah yang berbasis umum, dimana tujuan utama dan cita-citanya adalah mencetak lulusan yang mampu melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi sesuai dengan minat yang dimiliki oleh setiap anak didik. Disamping itu latar belakang berdirinya Sekolah Menengah Atas secara umum bertujuan untuk meningkatkan kualitas masyarakat Indonesia (lihat sejarah pendidikan Indonesia) dan secara spesifik bertujuan agar peserta didik memperoleh skill dalam bidang tertentu (dilihat dari penjurusan yang diberikan). Tujuan inilah yang lebih diprioritaskan oleh pihak sekolah yang berbasis umum, sedangkan pendidikan moral dan agama merupakan pendidikan yang bersifat sekunder.

Selanjutnya, berdasarkan hasil wawancara, observasi dan dokumentasi peneliti mengambil sebuah kesimpulan mengenai faktor-faktor yang mendukung terhadap tingginya kematangan Moral siswa SMAN dalam penelitaian ini Malang:

  1. Mempunyai kurikulum pemantapan akidah Islam yang dikhususkan kepada siswa kelas X, secara kebetulan semua siswa pada SMAN ini beragama Islam. Kurikulum ini menjadi kurikulum wajib untuk kelas X selama satu tahun pelajaran.
  2. Pembiasaan pada perilaku yang mengandung nilai-nilai moral dan keagamaan. SMAN pada penelitian ini memiliki Motto 3S (senyum, sapa, salam) yang tidak hanya berlaku kepada sesama guru akan tetapi juga kepada siswa. Disamping itu, sekolah ini juga menerapkan pembiasaan kegiatan keagamaan diantaranya adalah shalat berjamaah dan anjuran melakukan shalat dhuha.
  3. Kerjasama dengan ekstrakurikuler Islam dengan mengadakan acara-acara penunjang kemantapan akidah dan moral. Acara-acara ini dilaksanakan pada moment-moment tertentu terutama pada peringatan hari besar Islam.
  4. Penerapan peraturan yang berpijak kepada moral. Peraturan yang diterapkan dalam sekolah tidak hanya peraturan yang bersifat penegakkan terhadap kedisiplinan akan tetapi juga peraturan yang menjunjung terhadap nilai-nilai etis.
  5. Sanksi jelas terhadap pelanggaran yang bersifat amoral. Seperti halnya pada MAN, SMAN dalam penelitian ini juga memiliki sanksi tegas terhadap pelanggaran yang bersifat amoral.

Faktor-faktor yang diduga menyebabkan adanya perbedaan kematangan moral pada kedua sekolah ini adalah:

a. Kedua sekolah memiliki basis yang berbeda. MAN Malang merupakan sekolah yang berbasis agama Islam, sedangkan SMAN merupakan sekolah yang berbasis umum. Perbedaan basis yang melandasi sekolah akan mempengaruhi terhadap penerapan kurikulum dan nilai-nilai yang dipegang.

b. Perbedaan kurikulum. MAN memiliki kurikulum tambahan yaitu kurikulum mata pelajaran agama yang lebih rigit dari pada mata pelajaran agama di sekolah umum. Dalam pembahasan di awal agama sangat menjunjung nilai-nilai moral, dengan demikian isi dalam mata pelajaran agama tidak akan terlepas dari penanaman nilai-nilai moral. Sedangkan pada SMAN, seperti halnya sekolah berbasis umum lainnya, muatan mata pelajaran agama menjadi satu mata pelajaran saja, sehingga isi dari materi cenderung disampaikan secara global.

c. Intensitas pembiasaan yang berbeda. Dalam pembahasan mengenai faktor pendukung pada madrasah Aliyah (MA), perbuatan yang bernilai moral dan ibadah dijadikan sebagai budaya atau pembiasaan yang lebih ditekankan. Sedangkan pada SMAN perbuatan yang bernilai moral dan ibadah cenderung dijadikan sebuah anjuran.

Hasil penelitian diatas membuktikan bahwa agama merupakan sebuah wadah yang sangat efektif untuk membangun masyarakat yang bermoral. Dalam hal ini tidak terkecuali kepada agama manapun, karena setiap agama menjunjung tinggi terhadap nilai-nilai moralitas. Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa faktor yang banyak mendukung terhadap kematangan moral remaja adalah penerapan terhadap nilai-nilai keagamaan. Penelitian ini memperkuat terhadap hasil penelitian yang dilakukan oleh McDowell dan Bob Hostetler (lihat pembahasan di awal) yang menyatakan bahwa salah satu penyebab terjadinya krisis moralitas pada remaja adalah karena keyakinan dan agama mulai kehilangan ruh spiritualitasnya.

Menjadi bahan evaluasi bersama bahwa penerapan pendidikan di sekolah tidak hanya mementingkan prestasi yang bersifat akademik semata akan tetapi juga perlu memperhatikan terhadap peningkatan kecerdasan moral pada peserta didik, karena sekolah merupakan rumah kedua bagi mereka. Dengan demikian perkataan Bertrand Russel dapat menjadi sebuah renungan bersama tentang arti pentingnya moralitas pada setiap manusia.

Masyarakat tanpa moral, bagaikan komunitas yang mati

Dan seseorang tanpa moral, Ia hidup tanpa nilai. (Bertrand Russel)

Daftar Pustaka

Roziqin, Moh Zainur. 2007. Moral Pendidikan di Era Global, Pergeseran Pola Interaksi Guru-Guru di Era Global. Malang : Averrous

Zuriah, Dra Nurul. 2007. Pendidikan Moral dan Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan. Jakarta : Bumi Aksara

Zulkarnain. 2007. Transformasi Nilai-Nilai Pendidikan Islam Manajemen Berorientasi Link dan Match. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Borb, Michele. 2008. Membangun Kecerdasan Moral. Jakarta : Gramedia

Ali M & Asrori M. 2006. Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik. Jakarta : Bumi Aksara

Darmadi Hamid. 2007. Dasar Konsep Pendidikan Moral. Bandung : Alfabeta

Hurlock, Elizabeth. 1980. Psikologi Perkembangan. Penerjemah : Astiwijayati. Jakarta : Erlangga

Santrock. J.W.1995. Live Span development. Diterjemahkan oleh Juda Damanik. Jakarta:Erlanga

Bee Hellen and Boyd Denise, 2007.The Developing Child. America: Perason

Santrock. J.W. 2004. Child Development. American:Higher Education

Santrock. J.W.1995. Adolescence (Perkembangan Remaja). Diterjemahkan oleh Shinto B. Adelar & Sherly Saragih. Jakarta : Erlanga

Crain, William. 2007. Teori Perkembangan Konsep dan Aplikasi. Diterjemahkan oleh Yudi Santoso. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Rochmadi, Nur Wahyu.2002.Dasar dan Konsep Pendidikan Moral. Malang:Wineka Media

Saleh Abdur Rahman&Wahab Muhbib Abdul. 2004. Psikologi Suatu Pengantar Dalam Perspektif Islam. Jakarta : Kencana

Syah muhibbin. 2004. Psikologi Pendidikan dengan pendekatan Baru. Bandung : Rosda Karya

Mudyahardjo, Redja. 2001. Pengantar Pendidikan (Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-Dasar Pendidikan Pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia). Jakarta : Rajawali Pers

Knoers, M & Haditomo, Siti Rahayu. 2004. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press

Qomar, Prof.Dr Mujamil. 2002. Pesantren dari Transformasi Metodelogi Menuju Demokratisasi Institusi. Jakarta : Erlangga

Steenbrink, Karel A.1986. Pesantren Madrasah Sekolah. Jakarta : LP3ES.

Masykur. 2006. Makalah Kurikulum Satuan Penidikan Madrasah Aliyah (MA). Makalah Program Studi pengembangan kurikulum (S3) Sekolah Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Makalah tidak diterbitkan.

Aswandi. Generasi Berselimut Kondom. www.PontianakPost.com. 21 Januari 2008. Akses, 29 Mei 2007

Hadi Ghofar. Membangun Moralitas Bangsa. www.STIT Hidayatullah.com. 28 Januari 2007, akses 27 Mei 2008


Tidak ada komentar: